ULAMA diciptakan untuk waktu dan tempat yang tepat.
Begitulah ungkapan yang kerap muncul untuk mendefinisikan peran ulama di
Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Di Bumi Barakat ini, ulama
memegang posisi penting untuk membina dan menuntun umatnya. Deretan nama ulama
besar menghiasi lembaran sejarah sesuai situasi dan waktu yang berkembang.
Sebagai gudangnya aulia, tradisi keulamaan di Martapura
tetap lestari kendati berpacu dengan maraknya era globalisasi. Ia seakan tidak
lapuk oleh hujan dan tak lekang lantaran panas. Kebesaran sang ulama terkenal
karena kealiman, kezuhudan, kewibawaan dan ketokohannya dalam bidang dakwah dan
syiar Islam.
Sebutlah nama Maulana Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al
Banjari, yang makamnya di Desa Kelampayan, Kecamatan Astambul, diziarahi ribuan
orang setiap hari. Ada pula nama KH Muhammad Samman Mulia (Guru Padang), KH
Muhammad Syarwani Abdan (Guru Bangil), KH Abdurrahman Siddiq (Indragiri,
Tembilahan, Riau), KH Kasyful Anwar Ismail, KH Anang Sya’rani Arif, Tuan Guru
KH Zainal Ilmi, KH Muhammad Husin Qodri, KH Asnawi Syihabuddin, KH Muhammad
Salman Jalil, KH Badruddin, KH Muhammad Ramli, KH Muhdar, KH Muhammad Rosyad,
dan seterusnya yang walau sudah almarhum tapi namanya tetap harum dan
melegenda. Ini belum lagi deretan tokoh ulama besar sejak dulu, yang turut
menghiasi dokumen historis Martapura.
Kini, fenomena dan keberadaan ulama berbeda relatif jauh
dari kehidupan ulama tempo dulu. Demikian pula karakteristik masyarakatnya yang
terus mengalami pergeseran sepanjang waktu. Cuma satu yang mungkin tidak banyak
berubah, ketaatan dan kecintaan mereka pada para aulia. Apalagi, jika ulama itu
sudah menjadi idola di masyarakat.
Dalam kondisi kekinian, citra Martapura masyhur hingga
menembus batas regional dengan sosok sang legenda: KH Muhammad Zaini AbdulGhani. Ulama yang populer disapa Guru Sekumpul itu bisa diibaratkan sebagai
maestro Bumi Serambi Mekkah Martapura. Setiap digelar pengajian di Kompleks Ar
Raudhah, Sekumpul, ribuan jamaah hadir dari pelbagai pelosok.
Beliau dikenal sebagai tokoh yang kerap dikunjungi pejabat
dan orang penting negeri ini. Bila ada pejabat tinggi di Kalimantan,
wabilkhusus Kalsel, yang baru terpilih atau dilantik, hampir dipastikan akan
bersilaturrahim ke Sekumpul. Mulai dari komandan kodim (dandim), kapolres,
bupati, gubernur, komandan korem (danrem), panglima daerah militer (pangdam),
hingga presiden dan wakil presiden, datang ke Martapura hanya untuk bertemu
Guru Sekumpul.
Secara geografis, Sekumpul berlokasi di Kelurahan Jawa,
Kecamatan Martapura. (sekarang Sekumpul menjadi kelurahan tersendiri) Dari
pertigaan Jalan Ahmad Yani Km 38 samping Masjid Syi’aarush Shaalihiin, masuk
sekitar 800 meter, lantas belok kanan, di sanalah Mushalla Ar Raudhah berdiri
megah.
Berbentuk kotak-kotak paduan semen dan keramik kombinasi
hitam, putih, hijau dan biru, menjadikan kubah serta menara mushalla ini
sebagai model bangunan pertama di Kalsel. Sepintas, menara dan kubah mushalla
mirip masjid terbesar di Jawa Timur, Masjid Agung Al Akbar, Surabaya.
Di samping mushalla, terdapat kediaman Guru Sekumpul yang
diapit dua rumah berarsitektur sejenis yang ditempati ibu, saudara dan
keponakan. Belakangan, rumah di samping kiri Guru direnovasi total.
Pada Agustus 2004, rampunglah rumah megah berlantai dua
bergaya Spanyol dengan aksen Mediterania. Sungguh membuat kagum dan nyaman mata
memandang. Rumah itu kini menjadi kediaman dua putera Guru, Muhammad Amin
Badali dan Ahmad Hafi Badali.
Angka 17 menjadi hitungan tersendiri dalam Kompleks Ar
Raudhah atau biasa disebut dalam regol. Di samping mushalla berderet tujuh
rumah dan di seberangnya juga tujuh unit rumah. Ditambah rumah Guru Sekumpul
dan dua yang mengapit, jumlahnya klop dengan angka keramat: 17. Menariknya,
rumah itu memiliki ciri khas yang relatif tidak berubah sampai detik ini;
beratap genteng hijau tua dan teras ukuran persegi panjang dengan atap cor
beton bercat putih.
Di sekeliling kompleks mushalla, nyaris tidak ada lahan
kosong. Ratusan rumah menyemut hingga menjadikan Kompleks Sekumpul perkampungan
perkotaan yang elit, mewah namun memancarkan kedamaian.
Ini sangat berbeda jauh dengan kondisi pada tahun 1980-an.
Kawasan itu ibarat hutan belantara yang penuh semak belukar pohon karamunting.
Hanya satu-dua rumah yang tampak. Barangkali tidak seorang pun menyangka
kondisi itu berubah 180 derajat.
Sekitar tahun 1987, di sekitar kawasan tersebut, hanya ada
satu-dua rumah yang berdiri. Sedang sisanya cuma hutan belantara dan lahan
melompong bertebaran tanah merah. “Tak lama lagi, di sana akan dibangun
kompleks Guru Izai,” kata H Muhammad Jazuli Halidi, warga setempat, kala itu
sambil menunjuk hamparan lahan kosong.
Pada dekade 1980-an, pengajian masih digelar di Mushalla
Darul Aman, Jalan Sasaran, Kelurahan Keraton, Martapura. Baru pada awal 1989,
pengajian pindah ke lokasi baru sekaligus menandai era baru dunia syiar Islam
di Martapura.
Perubahan terjadi dalam penyebutan kawasan itu. Semula,
sekitar hutan karamunting masyhur dengan sebutan Sungai Kacang. Ketika
pengajian hijrah, KH Muhammad Zaini Abdul Ghani mempopulerkan nama baru:
Sekumpul.
Memang, sejak pertengahan 1970-an, kawasan itu sebagian ada
yang menamakan Sekumpul. Namun, panggilan tersebut tidak populer dan banyak
orang yang justru tidak kenal serta masih menyebutnya Sungai Kacang. Lebih dari
itu, hingga 1980-an, di ujung jalan yang bermuara di Jalan A Yani, terpampang
plang nama Jalan Sungai Kacang. Ketika Guru pindah, terminologi Sekumpul mulai
dikenal orang.
Perubahan nama juga menjadi awal dari pergantian sapaan
akrab ulama kelahiran 11 Februari 1942/27 Muharram1361 H ini. Di tempat lama,
panggilan sang kiai cenderung beragam. Ada yang menyapa Guru Zaini, Guru Izai,
hingga Guru Keraton. Ketika hijrah ke Sungai Kacang itulah dia populer dengan
nama baru: Guru Sekumpul.
Cuma, tak semua warga memberi sapaan senada. Ada yang masih
memanggil dengan sebutan lama. Tapi, bagi sebagian warga Martapura, terutama
warga asli, sapaan Guru Izai terasa agak “kasar”. Karenanya, mereka relatif
memakai sapaan Guru Sekumpul atau Abah Guru. Konon, tinggallah kini warga bukan
asli Martapura yang masih menggunakan sapaan semisal Guru Izai.
Penyebutan nama Guru Sekumpul ikut menghiasi pemberitaan
koran lokal. Sebelumnya, jika tema Sekumpul dimuat di koran, nama yang ditulis
pasti Guru Izai atau Guru Zaini. Tapi, sejak akhir 1999, ketika memuat berita
di Kalimantan Post, saya selalu menulis sebutan Guru Sekumpul.
Alhasil, sejak saat itu setiap pemberitaan di Kalimantan
Post, selalu ditulis sebutan Guru Sekumpul. Tidak lagi Guru Zaini apalagi Guru
Izai. Koran lain pun sebagian besar mulai menulis sapaan itu. Ini semua demi
penghormatan, meski Guru sendiri tidak mempersoalkan. Setidaknya, Kalimantan
Post ikut andil mempopulerkan penulisan nama baru tadi dan berupaya menyamakan
penyeragaman sebutan untuk pemberitaan media massa lokal lainnya.
Perkembangan kawasan Sekumpul juga diiringi meroketnya harga
tanah. Dahulu, harga per meter persegi hanya berkisar puluhan ribu rupiah. Tapi
sekarang, puluhan juta per meter, itu pun lahannya nyaris tidak ada lagi. Harga
tertinggi dipegang lahan sekitar Kompleks Ar Raudhah, dekat kediaman Guru.
Banyak orang kaya mendadak dari bisnis jual beli tanah di sekitar Sekumpul.
Lahan kosong yang semula untuk tempat parkir di sekitar
Kompleks, banyak yang berganti hutan beton. Kalau terus dibiarkan dan ditata
seadanya, tidak mustahil rimbunnya hutan karamunting hanya tinggal kenangan.
Rimbunnya belantara beton setidaknya turut menguatkan argumen bahwa Sekumpul
mencatat inflasi tertinggi di Kabupaten Banjar.
Populernya nama Sekumpul membawa berkah pula bagi pencari
merek dagang. Tak heran banyak warung, toko, restoran atau kedai kaki lima
bernama Sekumpul. Bahkan, PT Mandrapurna Aditama, menjadikan Sekumpul sebagai
merek dagang untuk produk air mineral dalam kemasan. Konon, kejayaan air merek
Sekumpul berhasil mengalahkan pesaingnya, semisal Aqua, Club ataupun Prof,
setidaknya untuk kawasan Martapura dan sekitarnya.
Banyak pula yang salah kira dan menganggap air mineral tadi
sebagai air “berkah” dari Sekumpul. Padahal, ia cuma sekadar merek dagang yang
menggandol kemasyhuran Sekumpul. Tapi, produsen air ini tak cuma ikut nebeng.
Sang pemilik, H. Ismail, warga Madura pindahan dari Kalimantan Tengah, kerap
membagikan air dalam bentuk botol atau gelas plastik secara gratis kepada
ribuan jamaah dalam acara khusus, semisal haulan. Hubungan saling menguntungkan
berlaku untuk bisnis ini.
Soal air mineral bisa menjadi cerita tersendiri jika
dikaitkan fenomena kecintaan jamaah terhadap Guru. Pada pengajian atau kegiatan
peribadatan semisal pembacaan Maulid Al Habsyi, Dalaailul Khairaat dan Shalawat
Burdah, banyak jamaah membawa air putih dalam botol dan membuka tutupnya.
Konon, ini dipercaya sebagai sarana untuk “mentransfer” berkah. Benarkah? Ini
kembali kepada keyakinan masing-masing. Tidak ada paksaan untuk semua itu.
Maka, berderetlah botol-botol air di sekitar pagar, tembok
atau kusen jendela mushalla ketika acara berlangsung. Meski bertumpuk, belum
terdengar ada yang airnya tertukar ketika mau diambil. Sebagian lagi banyak
yang meletakkan botol di dekat sajadah masing-masing. Setidaknya ini untuk
minta berkah sekaligus bisa diminum jika haus. Tapi, justru karena cara ini,
tidak sedikit yang airnya malah habis seiring berakhirnya peribadatan. Padahal,
banyak jamaah yang percaya air itu berkhasiat dan karenanya perlu dibawa
pulang.
Keunikan lain Sekumpul adalah faktor karisma sang ulama.
Satu yang perlu dicatat adalah soal foto Guru. Cobalah Anda lihat, mayoritas
rumah di Martapura memajang foto Guru dalam berbagai pose dan beraneka ukuran.
Tak cuma di rumah, potret itu menempel di dinding kantor, masjid, mushalla,
sekolah, toko, warung dan restoran. Jika di tempat lain lumrah dipajang foto
presiden dan wakil presiden, di sini figur ulama yang lebih diidolakan.
Ukuran foto akan lebih diperbesar atau malah diletakkan di
ruang tamu rumah (orang Banjar menyebutnya tawing halat) jika foto menampilkan
Guru bersama si empunya. Ada cerita menarik, seorang tetangga memajang foto
dirinya bersama Guru. Tapi lihatlah foto itu: si empunya tampak berdesakan
mendekat Guru dan kamera menangkap pemandangan demikian. Meski tidak berpotret
bersama secara khusus, toh dia bangga luar biasa dengan memamerkan fotonya.
Cerita lain, seorang bapak di kawasan Jalan Menteri Empat,
Martapura, menggunting foto dirinya lalu ditempelkan di samping foto Guru.
Setelah direkayasa sana-sini, dipajanglah foto itu seolah-olah yang
bersangkutan duduk di sisi Guru. Ada-ada saja.
Fenomena memajang foto tidak hanya di Martapura dan kota
tetangga, tapi menembus batas daerah. Di luar Kalsel seperti Balikpapan,
Samarinda, Tenggarong, Palangka Raya, bahkan luar Kalimantan, banyak rumah
dihiasi foto sang ulama.
Sebuah rumah mewah berlantai dua di Jalan Pisang Kipas Nomor
3, kawasan Jalan Soekarno Hatta, Malang, Jawa Timur, memajang foto Guru di
ruang tamu dan ruang tengah. Lantas, rumah toko Wisma Banjar (yang jadi warung
dan penginapan), Jalan Nyamplungan, Surabaya, juga menempelkan foto Guru ukuran
besar. Hal ini menjadi pertanda si pemilik rumah adalah warga asal Kalsel.
Soal isyarat tentang foto ini pernah saya alami. September
2002, saya nyaris tersesat mencari famili di Samarinda. Alamat sudah ketemu,
tapi lokasinya tidak tahu pasti dan sarana telekomunikasi belum ada. Sambil
berjalan saya mencuri pandang ke dalam rumah yang dilewati. Pada sebuah
bangunan, tampak foto Guru Sekumpul terpampang di dalamnya. Inilah rumah yang
dicari, dan ternyata benar. Foto Guru rupanya sudah menjadi identitas dan ciri
khas.
Kalaulah kemudian ada warga Martapura yang rumahnya tidak
memampangkan foto sang kiai, juga tidak apa-apa. Yang menarik, pernah ada
pendapat lumayan ekstrem. Katanya, bila ada rumah yang tidak punya foto Guru
Sekumpul, pemiliknya pasti bukan murid Guru dan tidak beraliran ahlussunnah
waljama’ah. Mereka ini juga dianggap orang “modern” dan bukan termasuk “kaum
tua” (istilah lain untuk komunitas Nahdlatul ulama) Benarkah? Wallaahu A’lam.
Pendapat ini setidaknya ada benarnya. Dalam sebuah kitab
diceritakan, kecintaan murid direfleksikan dengan memandang wajah atau
diasumsikan foto gurunya. Ia bisa menjadi sugesti agar si murid bisa seperti
sang aulia. Argumen ini bisa diterima jika kita melihat tradisi masyarakat di
luar Kalsel. Banyak rumah di pulau Jawa memajang foto atau lukisan ulama
semacam Wali Songo atawa KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym).
Karena itu, sangatlah tidak relevan jika soal memajang foto
ulama menjadi polemik. Biarkan orang pada keyakinannya. Mengapa ketika foto kiai
dipajang justru ribut, tapi foto artis dipajang besar-besar malah diam saja.
Ikhwal pajang-memajang foto Guru juga dilakukan warga luar
daerah.
Sebagai contoh, artis Chrisye memajang fotonya bersama Guru
Sekumpul di atas lemari kecil dekat ruang tamu. Ketika penyanyi yang jadi anak
angkat Guru ini diwawancarai wartawan Cek dan Ricek, kamera sempat menyorot
foto tersebut. Dari layar RCTI terlihat Chrisye sedang wawancara berlatar
belakang potretnya bersama Guru.
Ketua Umum PBNU, KH Ahmad Hasyim Muzadi juga
segendang-sepenarian. Pada Mei 2004, rumahnya di Jakarta didatangi Ketua Umum
Partai Golkar Akbar Tandjung bersama pengurus teras partai beringin lainnya
untuk meminta kesediaan Hasyim menjadi calon wakil presiden dari Golkar.
Kunjungan itu mendapat liputan luas dan disorot puluhan
kamera wartawan. Di atas bufet dalam ruang tamu, tepat di belakang sofa
Hasyim, terpampang foto dirinya bersama Guru dalam figura berpenyangga. Tak
pelak, kamera secara tersirat menyorot foto tersebut ketika meng-close up
Hasyim. Pemandangan ini disaksikan terang-benderang oleh jutaan mata pemirsa di
Tanah Air.
Jamaah yang datang ke Sekumpul memang ribuan, dengan
beraneka ragam jabatan, profesi dan strata sosial. Menurut sejumlah wartawan
yang sudah berkeliling Indonesia, pengajian Sekumpul merupakan majelis taklim
terbesar di Indonesia dalam jumlah jamaah yang hadir.
Pada Ahad pagi, 25 Juli 2004 saya bertandang ke Majelis
Taklim Habib Abdurrahman Al Habsyi di Kwitang, kawasan Senen, Jakarta Pusat.
Konon, inilah majelis taklim terbesar di Jakarta. Ternyata, meski berdesakan,
jumlah umat yang hadir biasa saja. Apalagi, kala itu jamaah wanita dan pria
bercampur-aduk. Menariknya, persis di depan mimbar pengajian yang merupakan
halaman Masjid Ar Riyadh, terdapat kantor DPW Partai Amanat Nasional DKI
Jakarta.
Sekarang, lihatlah di Sekumpul. Ribuan umat menyemut tiap
digelar pengajian. Rumah-rumah di sekitar Kompleks Sekumpul dibuka untuk
menampung jamaah yang tidak kebagian tempat. Bandingkan di tempat lain; rumah
di sekitar majelis banyak yang ditutup rapat dan pemiliknya seolah tidak
terlalu peduli.
Ribuan jamaah dari pelbagai penjuru membanjiri Sekumpul jika
diadakan acara semacam haul Syekh Samman Al Madani atau malam peribadatan
Nishfu Sya’ban. Untuk acara terakhir ini, Sekumpul merupakan titik berkumpulnya
ratusan ribu jamaah. Tidak sedikit yang sengaja menginap di rumah-rumah di
sekitar Sekumpul agar dapat tempat. Saking penuh sesaknya jamaah yang hadir
pada tiap 15 Sya’ban itu, lahan kosong di dekat kolong rumah dijadikan tempat
shalat.
Popularitas Sekumpul bergaung hingga ke delapan penjuru mata
angin. Para ulama, kiai, dan habib dari pulau Jawa serta habib dari Hadramaut,
Yaman, banyak yang bertandang. Sebuah tempat lumayan mewah disiapkan untuk
menampung tamu tertentu. Bangunan bertingkat itu terletak di samping Mushalla
Ar Raudhah, dan di bawahnya merupakan tempat wudhu.
Tidak sedikit warga luar Kalimantan mengira Sekumpul adalah
sebuah pesantren. Seorang warga Pasuruan, Jawa Timur, sempat kaget ketika
diberitahu bahwa Sekumpul adalah majelis taklim. Kata dia, warga di tempatnya
mengira Kiai Zaini (demikian ia menyebut) adalah pemimpin pesantren, seperti
yang lumrah di Jawa.
Sejumlah warga Jogjakarta juga heran majelis taklim Sekumpul
dihadiri ribuan orang. Kata dia, di Jawa acara keagamaan kerap dihadiri ribuan
umat, tapi itu kegiatan insidental macam doa bersama atau istigotsah. Sedang di
Sekumpul, ribuan jamaah rutin datang untuk mengaji dan beribadah, tanpa tahu
istilah istigotsah dan lainnya.
Perkiraan bahwa Sekumpul adalah pesantren barangkali sudah
berkurang dengan kerap terangkatnya majelis taklim ini lewat publikasi media
massa. Sejumlah media nasional beberapa kali menyiarkan tentang Sekumpul,
terutama ketika mereka meliput pejabat setingkat presiden atau wapres yang
bertandang ke Sekumpul.
Sekadar mengingatkan, wartawan RCTI yang tewas ditembak GAM
di Aceh, Sori Ersa Siregar, adalah jurnalis televisi pertama yang meliput dan
menyiarkan tentang ribuan jamaah pengajian Sekumpul. Bersama seorang kameramen,
suatu malam di tahun 1995, ia berada di Sekumpul meliput suasana majelis
taklim. “Ersa Siregar, RCTI, melaporkan dari Sekumpul, Martapura, Kalimantan
Selatan,” kata almarhum di depan Mushalla Ar Raudhah, mengakhiri liputannya
pada pemirsa kala itu.
Kutipan dari buku "Bertamu KeSekumpul"
Di Bab : Ada Apa dengan Sekumpul
Webnya bagus..
BalasHapusArtikelnya pun bagus, berperan membantu secara edukatif kepada pengunjung blog ini akan ritme keagamaan dan budaya.
Semoga sukses selalu
Subhanallah.. Semoga bermanfaat.
BalasHapussalam kenal dangsanak
gambar kedua dari bawah itu artis kh
BalasHapusBang Ian : Hehe iya sama sama terimakasih atas kunjungan di blog yg sederhana ini... Maaf cuma otodidak saja buat blognya.. hehe
BalasHapusBang Fakhrial : Salam kenal jua and badingsanakan aja... kula urang Banua jua ley hehe
Bang Fakhruzzaman : Iya betul.. photo kedua terakhir itu, kunjungan artis pelawak dari Jakarta yang sowan ke BELIAU..
Sebenarnya photo yang di upload ini bagian dari buku : "Bertamu Ke Sekumpul" yang disusun adikku ... (Mantan wartawan kalimantan Post)
Nice posting Om..
BalasHapusMas Suradi : Terimakasih... hehe
BalasHapusalhamdulillah
BalasHapusSUBHANALLAH ulun baru baca seperempat buku BERTAMU KE SEKUMPUL mantap sudah kena ulun baca sampai habis Om :D
BalasHapusTrimakasih lah :D
Ulun dari samarinda :D
Sama sama terimakasih kembali atas kunjungan sahabat : Tarunajaya Utama Putra di blog yang sederhana ini...... mohon doanya selalu..!!
Hapus