Pengertian Tabarruk berasal dari kata al-Barakah. Arti al-Barakah
adalah tambahan dan perkembangan dalam kebaikan (az-Ziyadah Wa an-Nama’ Fi
al-Khair). Barakah (kebaikan) dalam harta adalah ketika bertambah banyak dan
digunakan dalam ketaatan kepada Allah. Barakah dalam keluarga adalah ketika
anggotanya berjumlah banyak dan berakhlak mulia. Barakah dalam waktu adalah
lamanya masa dan terselesaikan semua urusan dalam masa yang ada. Barakah dalam
kesehatan adalah kesempurnaan dalam kesehatan itu sendiri. Barakah dalam umur
adalah panjang usia dan banyak beramal baik dalam rentang usia yang panjang
tersebut. Barakah dalam ilmu adalah ketika ilmu itu semakin bertambah banyak
dan diamalkan serta bermanfaat untuk orang banyak. Dengan demikian barakah itu
adalah laksana pundi-pundi kebaikan (Jawami’ al-Khair) dan berlimpahnya nikmat
yang diperoleh dari Allah.
Dari penjelasan ini dipahami bahwa makna Tabarruk adalah:
“Thalab Ziyadah al-Khair Min Allah”. Artinya, meminta tambahan kebaikan dari
Allah.
Di antara sekian banyak hal yang Allah jadikan sebab bagi
seseorang untuk memperoleh barakah dari-Nya adalah bertabarruk dengan para
Nabi, para wali, dan dengan para ulama yang mengamalkan ilmu-ilmunya (al-‘Ulama
al-Amilin), serta dengan orang-orang saleh. Allah berfirman mengenai ucapan
nabi Yusuf:
اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ
بَصِيرًا (يوسف:
“Pergilah kalian dengan membawa gamisku ini, lalu
letakkanlah ke wajah ayahku, maka ia akan dapat melihat kembali”. (QS. Yusuf:
93)
Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa Nabi Ya'qub
bertabarruk dengan gamis Nabi yusuf. Nabi Ya’qub mencium dan menyentuhkan gamis
tersebut ke matanya, sehingga beliau bisa melihat kembali.
Dalil-Dalil Tabarruk
Para sahabat Rasulullah telah mempraktekkan tabarruk
(mencari berkah) dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah, baik di masa hidup
Rasulullah maupun setelah beliau meninggal. Dari semenjak itu semua ummat Islam
hingga kini masih tetap melakukan tradisi baik yang merupakan ajaran syari’at
ini. Kebolehan perkara ini diketahui dari dalil-dalil yang sangat banyak, di
antaranya sebagai berikut:
1. Perbuatan Rasulullah yang telah membagi-bagikan potongan
rambut dan potongan kuku-kukunya.
A. Rasulullah membagi-bagikan rambutnya, ketika beliau
bercukur di saat haji Wada’, haji terakhir yang beliau lakukan. Beliau juga
membagi-bagikan potongan kukunya.
Pembagian rambut ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari
dan al-Imam Muslim dari hadits sahabat Anas ibn Malik. Dalam lafazh riwayat
Imam Muslim, Anas berkata:
لمَاّ رَمَى صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ الجمرَةَ وَنَحَرَ نُسُكَهُ
وَحَلَقَ نَاوَلَ الحَالِقَ شِقَّهُ الأيْمَنَ فَحَلَقَ، ثمَّ دعَا أبَا طَلْحَةَ
الأنْصَارِيَّ فأعْطاهُ ثمّ نَاوَلَهُ الشِّقَ الأيْسَرَ فقَال
"احْلِق"، فحَلَق، فأعْطَاهُ أبَا طَلحَةَ فقَال: اقْسِمْهُ بَيْنَ
النّاس. وَفِي روَاية: فَبَدَأ بالشِّق الأيْمَنِ فَوَزَّعهُ الشّعْرَةَ
وَالشّعْرَتَين بَيْنَ النّاس ثمّ قاَل: بالأيْسَر، فَصَنَعَ مثلَ ذَلكَ ثمّ قَال:
ههُنَا أبُو طَلحَة، فَدَفَعهُ إلَى أبيْ طَلحَة. وَفي روَاية أنّه عَليهِ
الصّلاَةُ وَالسّلامُ قَالَ للحَلاّق: هَا، وأشَارَ بيَدهِ إلَى الجَانِب الأيْمَن
فَقَسَمَ شَعْرَهُ بَيْنَ مَنْ يَليْهِ، ثمّ أشَارَ إلَى الحَلاّق إلَى الجَانِبِ
الأيْسَر فَحَلقَهُ فَأعْطَاهُ أمَّ سُلَيم (رَواهُ مُسْلم)
“Setelah selesai melempar Jumrah dan memotong kurbannya,
Rasulullah kemudian bercukur. Beliau mengulurkan bagian kanan rambutnya kepada
tukang cukur untuk memotongnya. Kemudian Rasulullah memanggil Abu Thalhah
al-Anshari dan memberikan kepadanya potongan rambut tersebut. Lalu Rasulullah
mengulurkan bagian kiri rambutnya kepada tukang cukur tersebut, sambil berkata:
“Potonglah..!”. Lalu potongan rambut tersebut diberikan kembali kepada Abu
Thalhah, seraya berkata: “Bagikanlah di antara manusia”.
Dalam riwayat lain, -disebutkan-: “Maka mulai -dipotong
rambut- dari bagian kanan kepala Rasulullah dan beliau membagikan sehelai, dua
helai rambut di antara manusia. Kemudian dari bagian kiri, juga dibagi-bagikan.
Rasulullah berkata kepada Abu Thalhah: “Abu Thalhah kemarilah...!”, kemudian
Rasulullah memberikan Potongan rambutnya kepadanya.
Dalam riwayat, -sebagai berikut-: “Rasulullah berkata kepada
tukang cukur: “(Cukurlah) Bagian sini...!”, sambil beliau memberi isyarat ke
bagian kanannya. Kemudian Rasulullah membagikannya kepada orang-orang yang
berada di dekatnya. Lalu memberi isyarat kembali kepada tukang cukur ke bagian
kirinya, setelah dicukur kemudian potongannya diberikan kepada Umu Sulaim”.
(HR. Muslim)
Dalam hadits-hadits ini kita melihat bahwa Rasulullah
sendiri yang membagi-bagikan sebagian rambutnya di antara orang-orang yang ada
di dekatnya, sebagian lainnya diberikan kepada Abu Thalhah untuk dibagikan
kepada semua orang, dan sebagian lainnya beliau berikan kepada Ummu Sulaim.
B. Rasulullah membagikan potongan kuku-kukunya. Diriwayatkan
oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya bahwa Rasulullah memotong
kuku-kukunya dan membagi-bagikannya di antara manusia.
Faedah Hadits
Dalam hadits-hadits di atas terdapat penjelasan dan
dalil-dalil kuat tentang tabarruk dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah.
Rasulullah sendiri yang membagi-bagikan potongan rambutnya di antara para
sahabatnya, agar mereka bertabarruk dengannya. Juga agar mereka menjadikannya
sebagai wasilah dalam berdoa kepada Allah, serta menjadikan rambut-rambut yang
mulia tersebut sebagai jalan untuk bertaqarrub kepada-Nya. Rasulullah
membagi-bagikan rambut-rambutnya agar menjadi berkah yang terus menerus ada dan
sebagai kenangan bagi para sahabatnya, juga bagi orang-orang yang datang
sesudah mereka. Dari sinilah kemudian orang-orang yang dimuliakan Allah dalam
kehidupan mereka mengikuti apa yang dilakukan para sahabat dalam mencari berkah
dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah. Dimana hal ini kemudian menjadi tradisi
yang diwarisi kaum Khalaf dari kaum Salaf. Sudah barang tentu Rasulullah
membagi-bagikan potongan rambut dan potongan kuku-nya bukan untuk dimakan oleh
para sahabat tersebut, melainkan agar mereka bertabarruk dengan rambut dan
potongan kuku tersebut.
2. Para sahabat juga bertabarruk dengan jubah Rasulullah,
sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya. Sebagai
berikut:
عَنْ مَوْلَى أسْمَاءَ بِنْتِ أبِي بَكْر، قَالَ: أخْرَجَتْ إليْنَا
جُبّةً طَيَالِسَةً كَسْرَوَانِيّةً لَهَا لَبِنَةُ دِيْبَاجٍ وَفَرْجَاهَا
مَكْفُوْفَانِ، وَقَالَتْ: هذِهِ جُبّةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ
وَسَلّمَ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ، فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا، وَكَانَ
النّبيّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ يَلبِسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى
نَسْتَشْفِيْ بِهَا، وَفي روَاية: نَغْسِلُهَا للمَرِيْضِ مِنَّا (رَواه مُسْلم)
“Dari hamba sahaya Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq, bahwa
ia berkata: “Asma’ binti Abi Bakar mengeluarkan jubah --dengan motif--
thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua
lobangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah. Semula ia
berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu
jubah ini dipakai Rasulullah, oleh karenanya kita mencucinya agar diambil
berkahnya sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita
mencuci (mencelupkan)-nya di air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang
sakit di antara kita”.
3. Para sahabat Rasulullah dan kaum Tabi'in melakukan
tabarruk dengan bekas tempat telapak tangan Rasulullah. Dalam sebuah hadits
diriwayatkan sebagai berikut:
عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ حَذْيَمٍ قَالَ: وَفَدْتُ مَعَ جَدّيْ حَذْيَمٍ
إلَى رَسُولِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ، فَقَال: يَا رَسُولَ اللهِ إنّ
لِيْ بَنِيْنَ ذَوِيْ لِحًى وَغَيْرَهُمْ وَهَذَا أصْغَرُهُمْ، فَأدْنَانِي
رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَمَسَحَ رَأسِي، وَقَال: بَارَك اللهُ
فِيْكَ، قَالَ الذّيالُ: فَلَقَدْ رَأيْتُ حَنْظَلَةَ يُؤْتَى بالرّجُلِ الوَارِمِ
وَجْهُهُ أوِ الشّاةِ الوَارِمِ ضَرْعُهَا، فَيَقُوْلُ: بسْمِ اللهِ عَلَى
مَوْضِعِ كَفّ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ فَيَمْسَحُهُ
فُيَذْهَبُ الوَرمُ (روَاه الطّبَرانيّ في الأوْسَط وَالكَبيْر بنَحْوِه، وأحمَدُ
فِي حَديثٍ طَوِيْلٍ وَرِجَالُ أحْمَدَ ثِقَاتٌ)
“Dari sahabat Hanzhalah ibn Hadzyam, bahwa ia berkata: “Aku
mengikuti rombongan bersama kakekku; Hadzyam menuju Rasulullah. Kakekku berkata
kepada Rasulullah: “Wahai Rasulallah, aku memiliki beberapa anak laki-laki yang
sudah besar dan ini yang paling kecil di antara mereka". Kemudian
Rasulullah mendekatkan diriku ke dekatnya, lalu ia mengusap kepalaku seraya
berkata: “Barakallah Fik” (Semoga Allah memberikan berkah kepadamu).
Adz-Dzayyal berkata: “Aku melihat Hanzhalah didatangi orang
yang bengkak wajahnya atau orang yang membawa kambing yang bengkak susunya,
kemudian Hanzhalah mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ عَلَى مَوْضِعِ كَفِّ رَسُوْلِ اللهِ
“Dengan nama Allah atas tempat usapan telapak tangan
Rasulullah”, kemudian ia mengusap orang tersebut hingga hilanglah bengkaknya.
(Diriwayatkan al-Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath dan al-Mu’jam
al-Kabir, juga diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam hadits yang panjang yang
semua para perawinya tsiqat (terpercaya).
4. Para Tabi’in melakukan tabarruk dengan kemuliaan mata
sahabat Rasulullah yang pernah melihat Rasulullah, dan bertabarruk dengan
tangan yang telah menyentuh Rasulullah di masa hidupnya. Perlakuan kaum Tabi’in
ini sedikitpun tidak diingkari oleh para sahabat Nabi, sebaliknya mereka
menyetujui perlakuan tersebut. Dalam sebuah hadits diriwayatkan sebagai
berikut:
عَنْ ثَابِتٍ قَالَ: كُنْتُ إذَا أَتَيْتُ أنَسًا يُخْبرُ بِمَكَانِي
فَأدْخُلُ عَلَيْهِ فَآخُذُ بيَدَيْهِ فَأُقَبِّلُهُمَا وَأقُوْلُ: بَأبِي
هَاتَانِ اليَداَنِ اللَّتاَنِ مَسّتَا رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلّمَ، وَأُقَبّلُ عَيْنَيْهِ وَأقُوْلُ: بِأبِي هَاتَانِ العَيْنَانِ
اللّتَانِ رَأتَا رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ (رَوَاهُ أبُو يَعْلَى
وَرِجَالهُ رجَالُ الصّحِيْحِ غَيْرُ عَبْدِ اللهِ بنِ أبِي بَكْر المَقْدميّ
وَهُوَ ثِقَةٌ)
“Dari Tsabit al-Bunani -Salah seorang dari Tabi'in ternama,
murid Anas ibn Malik- berkata: “Apabila aku mendatangi Anas ibn Malik, ia
(Anas) --selalu-- diberitahu tentang kedatanganku, maka aku menemuinya dan
meraih kedua tangannya untuk aku cium. Aku berkata: “Sungguh, kedua tangan
inilah yang telah menyentuh jasad Rasulullah”, kemudian juga aku cium kedua
matanya, aku berkata: “Sungguh, kedua mata inilah yang telah melihat
Rasulullah”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan para perawinya adalah
para perawi Shahih selain ‘Abdullah ibn Abu Bakar al-Maqdimi dan dia adalah
perawi yang terpercaya (Tsiqah).
5. Para Sahabat melakukan tabarruk dengan tanah kuburan
Rasulullah. al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnad, al-Imam ath-Thabarani
dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir dan kitab al-Mu’jam al-Awsath, dan al-Imam
al-Hakim dalam kitab Mustadrak-nya meriwayatkan bahwa pada suatu ketika Marwan
ibn al-Hakam, -salah seorang Khalifah Bani Umayyah di masanya-, datang melewati
makam Rasulullah. Dia mendapati seseorang meletakkan wajahnya di atas makam
tersebut karena menumpahkan kerinduan dan ingin memperoleh berkah dari
Rasulullah. Marwan menghardik orang tersebut: “Sadarkah engkau dengan apa yang
sedang engkau perbuat?!”. Orang dimaksud menoleh, dan ternyata dia adalah
sahabat Abu Ayyub al-Anshari, salah seorang sahabat Rasulullah terkemuka.
Kemudian sahabat Abu Ayyub berkata: “Iya (aku sadar), aku mendatangi Rasulullah
dan aku tidak mendatangi sebongkah batu. Aku mendengar Rasulullah bersabda:
لاَ تَبْكُوْا عَلَى الدِّيْنِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ، وَلكِنْ
ابْكُوْا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ
“Jangan tangisi agama ini jika dikendalikan oleh ahlinya,
tetapi tangisilah agama ini apabila ia dikendalikan oleh orang yang bukan
ahlinya”. (Maksud sahabat Abu Ayyub: “Engkau, wahai Marwan tidak layak menjadi
seorang Khalifah”).
Dalam kitab Wafa’ al-Wafa, as-Samhudi meriwayatkan dengan
sanad yang jayyid (kuat) bahwa sahabat Bilal bin Rabah ketika pindah ke Syam
dan tinggal di sana, kemudian beliau berziarah ke makam Rasulullah di Madinah.
Setelah sampai di makam Rasulullah, ia meneteskan air mata dan
membolak-balikkan wajahnya di atas tanah makam Rasulullah”.
As-Samhudi juga menukil dari Kitab Tuhfah Ibn ‘Asakir bahwa
ketika Rasulullah telah dimakamkan, as-Sayyidah Fatimah datang kemudian berdiri
di samping makam lalu mengambil segenggam tanah dari makam Rasulullah tersebut
dan ia letakkan tanah itu ke matanya kemudian ia menangis...”.
6. al-Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak, dan al-Hafizh
al-Baihaqi dalam kitab Dala-il an-Nubuwwah, dan lainnya meriwayatkan dengan
sanad-nya dari sahabat Khalid ibn al-Walid, bahwa di perang Yarmuk beliau
kehilangan pecinya. Khalid berkata -kepada prajuritnya-: “Carilah peci saya!”.
Mereka mencari-cari namun mereka tidak menemukannya. Setelah dicari-cari
kembali akhirnya mereka menemukannya dan ternyata peci tersebut adalah peci
yang sudah sangat lusuh. Khalid berkata:
اعْتَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَحَلَقَ
رَأسَهُ فَابْتَدَرَ النّاسُ جَوَانِبَ شَعْرِهِ فَسَبَقْتُهُمْ إلَى نَاصِيَتهِ
فَجَعَلْتُهَا فِي هذِهِ القَلَنْسُوَةِ فَلَمْ أشْهَدْ قِتَالاً وَهِيَ مَعِيْ
إلاّ رُزِقْتُ النَّصْرَ
“Ketika Rasulullah melakukan umrah (Ji’ranah) dan memotong
rambutnya, banyak orang memburu bagian pinggir rambutnya. Namun aku berhasil
mendahului mereka meraih rambut dari ubun-ubunnya dan aku letakan di peci ini,
hingga tidak ada satu peperanganpun yang aku ikuti dan rambut itu bersama-ku
kecuali aku diberi kemenangan”.
Kisah ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih. Al-Muhaddits
Habib ar-Rahman al-A’zhami dalam Ta’liq-nya terhadap al-Mathalib al-‘Aliyah
karya al-Hafizh Ibn Hajar menuliskan: “al-Hafizh al-Bushiri mengatakan: Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad yang shahih. Al-Hafizh al-Haytsami
mengatakan: Ath-Thabarani dan Abu Ya’la meriwayatkan riwayat serupa, dan para
perawi keduanya adalah para perawi yang shahih” .
7. Para sahabat melakukan tabarruk dengan air wudlu
Rasulullah. al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari ‘Aun
ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: “Aku mendatangi Rasulullah
dan aku melihat Bilal mengambilkan air wudlu-nya, dan aku melihat orang-orang
merebutkan -bekas- air wudlu Rasulullah tersebut. Orang yang dapat mengambilnya
lalu ia mengusapkannya ke tubuhnya, dan orang yang tidak memperoleh bagian,
maka ia mengambil dari tangan temannya yang masih basah”.
8. Para sahabat bertabarruk dengan bagian mimbar Rasulullah.
Ibn Abi Syaibah dalam kitab Mushannaf-nya meriwayatkan dari Abu Maududah
berkata: “Telah mengkhabarkan kepadaku Yazid ibn Abd al-Malik bin Qasith, bahwa
ia berkata: “Aku menyaksikan banyak dari para sahabat Rasulullah jika masjid
telah sepi mereka berdiri menuju bagian mimbar yang biasa dipegang oleh tangan
Nabi lalu mereka mengusapnya dan berdoa”. Abu Mawdudah berkata: “Saya juga
melihat Yazid melakukan hal itu”.
9. Dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal,
-putera al-Imam Ahmad ibn Hanbal-, bahwa ia (‘Abdullah) berkata: “Aku bertanya
kepada ayahku (Ahmad ibn Hanbal), tentang seseorang yang menyentuh dan mengusap
bagian mimbar yang biasa dipegang oleh tangan Rasulullah untuk bermaksud
bertabarruk dengannya, demikian juga aku tanyakan tentang orang yang mengusap
kuburan Rasulullah -untuk tujuan itu-”. Ayahku menjawab: “Tidak apa-apa
(boleh)”.
Dalam Kitab al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal disebutkan: “Aku
(‘Abdullah) bertanya kepada ayahku (Ahmad ibn Hanbal) tentang orang yang
menyentuh mimbar Rasulullah dan bertabarruk dengan menyentuh dan menciumnya,
dan melakukan hal itu terhadap kuburan Rasulullah atau semacamnya, ia dengan
itu bermaksud untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Ia (Ahmad ibn
Hanbal) menjawab: “Tidak apa-apa (boleh)” .
Dengan demikian, apa yang hendak dikatakan oleh kalangan
anti tabarruk dari orang-orang Wahhabiyyah tentang Imam Ahmad ibn Hanbal yang
mereka banggakan sebagai panutan mereka?! Apakah mereka akan mengatakan Ahmad
ibn Hanbal mengajarkan perbuatan syirik, karena beliau membolehkan dan bahkan
mencontohkan tabarruk?! Hendak “kabur” ke mana mereka dari bukti-bukti ini?!
Kerancuan Kalangan Anti Tabarruk
Kalangan yang anti tabarruk, tawassul, dan semacamnya
seringkali ketika mereka terbentur dengan hadits-hadits atau amaliah para ulama
salaf dan khalaf yang bertentangan dengan pendapat mereka, mereka mengatakan:
A. Hadits-hadits tentang tabarruk dan tawassul ini khusus
berlaku kepada Rasulullah!.
B. Mereka, para ulama tersebut melakukan perbuatan yang
tidak ada dalilnya, dengan demikian harus ditolak, siapa-pun orang tersebut!.
Jawab:
A. Kita katakan kepada mereka: Adakah dalil yang
mengkhususkan tabarruk, tawassul dan istighotsah hanya kepada Rasulullah saja?!
Mana dalil kekhususan (Khushushiyyah) tersebut?! Apakah setiap ada hadits yang
bertentangan dengan pendapat kalian, kemudian kalian katakan bahwa khusus
berlaku kepada Rasulullah saja?! Mari kita lihat berikut ini pemahaman para
ulama kita tentang hadits-hadits tabarruk dan semacamnya, bahwa mereka
memahaminya tidak hanya khusus kepada Rasulullah saja.
Al-Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya menuliskan sebagai
berikut:
بَابُ ذِكْرِ إِبَاحَةِ التَّـبَرُّكِ بِوَضُوْءِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ
أَهْلِ العِلْمِ إِذَا كَانُوْا مُتَّبِعِيْنَ لِسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ
عَليْه وَسَلّمَ، عَنْ ابْنِ أَبِيْ جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ فِيْ قُبَّةٍ حَمْرَاءَ وَرَأَيْتُ
بِلاَلاً أَخْرَجَ وَضُوْءَهُ فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُوْنَ وَضُوْءَهُ
يَتَمَسَّحُوْنَ.
“Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu
orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang
mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Dari Ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa
ia berkata: Aku melihat Rasulullah di Qubbah Hamra’, dan aku melihat Bilal
mengeluarkan air wudlu Rasulullah, kemudian aku melihat banyak orang memburu
bekas air wudlu tersebut, mereka semua mengusap-usap dengannya” .
Dalam teks di atas sangat jelas bahwa Ibn Hibban memahami
tabarruk sebagai hal yang tidak khusus kepada Rasulullah saja, tetapi juga
berlaku kepada al-Ulama al-‘Amilin. Karena itu beliau mencantumkan hadits
tentang tabarruk dengan air bekas wudlu Rasulullah di bawah sebuah bab yang
beliau namakan: “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu
orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang
mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”.
Syekh Mar’i al-Hanbali dalam Ghayah al-Muntaha menuliskan:
وَلاَ بَأْسَ بِلَمْسِ قَبْرٍ بِيَدٍ لاَ سِيَّمَا مَنْ تُرْجَى
بَرَكَتُهُ
“Dan tidak mengapa menyentuh kuburan dengan tangan, apalagi
kuburan orang yang diharapkan berkahnya” .
Bahkan dalam kitab al-Hikayat al-Mantsurah karya al-Hafizh
adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, disebutkan bahwa beliau (adl-Dliya’
al-Maqdisi) mendengar al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali mengatakan
bahwa suatu ketika di lengannya muncul penyakit seperti bisul, dia sudah
berobat ke mana-mana dan tidak mendapatkan kesembuhan. Akhirnya ia mendatangi
kuburan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Kemudian ia mengusapkan lengannya ke makam
tersebut, lalu penyakit itu sembuh dan tidak pernah kambuh kembali.
As-Samhudi dalam Wafa’ al-Wafa mengutip dari al-Imam
al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, bahwa beliau berkata:
اِسْتَنْبَطَ بَعْضُهُمْ مِنْ مَشْرُوْعِيَّةِ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ
الأَسْوَدِ جَوَازَ تَقْبِيْلِ كُلِّ مَنْ يَسْتَحِقُّ التَّعْظِيْمَ مِنْ
ءَادَمِيٍّ وَغَيْرِهِ، فَأَمَّا تَقْبِيْلُ يَدِ الآدَمِيِّ فَسَبَقَ فِيْ
الأَدَبِ، وَأَمَّا غَيْرُهُ فَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ
تَقْبِيْلِ مِنْبَرِ النَّبِيِّ وَقَبْرِهِ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا،
وَاسْتَبْعَدَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ صِحَّتَهُ عَنْهُ وَنُقِلَ عَنْ ابْنِ أَبِيْ
الصَّيْفِ اليَمَانِيِّ أَحَدِ عُلَمَاءِ مَكَّةَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ جَوَازُ
تَقْبِيْلِ الْمُصْحَفِ وَأَجْزَاءِ الْحَدِيْثِ وَقُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ،
وَنَقَلَ الطَّيِّبُِ النَّاشِرِيُّ عَنْ الْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ
يَجُوْزُ تَقْبِيْلُ الْقَبْرِ وَمسُّهُ قَالَ: وَعَلَيْهِ عَمَلُ العُلَمَاءِ
الصَّالِحِيْنَ.
“-Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan- bahwa sebagian ulama
mengambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad, kebolehan mencium
setiap yang berhak untuk diagungkan; baik manusia atau lainnya, -dalil- tentang
mencium tangan manusia telah dibahas dalam bab Adab, sedangkan tentang mencium
selain manusia, telah dinukil dari Ahmad ibn Hanbal bahwa beliau ditanya
tentang mencium mimbar Rasulullah dan kuburan Rasulullah, lalu beliau
membolehkannya, walaupun sebagian pengikutnya meragukan kebenaran nukilan dari
Ahmad ini. Dinukil pula dari Ibn Abi ash-Shaif al-Yamani, -salah seorang ulama
madzhab Syafi'i di Makkah-, tentang kebolehan mencium Mushaf, buku-buku hadits
dan makam orang saleh. Kemudian pula Ath-Thayyib an-Nasyiri menukil dari
al-Muhibb ath-Thabari bahwa boleh mencium kuburan dan menyentuhnya, dan dia
berkata: Ini adalah amaliah para ulama saleh” .
Tentang keraguan dari sebagian orang yang mengaku sebagai
pengikut Ahmad ibn Hanbal yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di atas
jelas tidak beralasan sama sekali. Karena pernyataan Ahmad ibn Hanbal tersebut
telah kita kutipkan langsung dari buku-buku putera beliau sendiri, yatiu
‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dan
al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal seperti telah kita sebutkan di atas.
Al-Badr al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari mengutip dari
al-Muhibb ath-Thabari bahwa ia berkata sebagai berikut:
وَيُمْكِنُ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنْ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ وَاسْتِلاَمِ
الأَرْكَانِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ مَا فِيْ تَقْبِيْلِهِ تَعْظِيْمُ اللهِ تَعَالَى
فَإِنَّهُ إِنْ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ خَبَرٌ بِالنَّدْبِ لَمْ يَرِدْ بِالكَرَاهَةِ،
قَالَ: وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ بَعْضِ تَعَالِيْقِ جَدِّيْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ
بَكْرٍ عَنْ الإِمَامِ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ أَنَّ
بَعْضَهُمْ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَصَاحِفَ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى أَجْزَاءَ
الْحَدِيْثِ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ قَبَّلَهَا، قَالَ:
وَلاَ يَبْعُدُ هذَا وَاللهُ أَعْلَمُ فِيْ كُلِّ مَا فِيْهِ تَعْظِيْمٌ للهِ
تَعَالَى.
“Dapat diambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar
aswad dan melambaikan tangan terhadap sudut-sudut Ka’bah tentang kebolehan
mencium setiap sesuatu yang jika dicium maka itu mengandung pengagungan kepada
Allah. Karena meskipun tidak ada dalil yang menjadikannya sebagai sesuatu yang
sunnah, tetapi juga tidak ada yang memakruhkan. Al-Muhibb ath-Thabari
melanjutkan: Aku juga telah melihat dalam sebagian catatan kakek-ku; Muhammad
ibn Abi Bakar dari al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Abu ash-Shaif, bahwa
sebagian ulama dan orang-orang saleh ketika melihat mushaf mereka menciumnya.
Lalu ketika melihat buku-buku hadits mereka menciumnya, dan ketika melihat
kuburan orang-orang saleh mereka juga menciumnya. ath-Thabari mengatakan: Ini
bukan sesuatu yang aneh dan bukan sesuatu yang jauh dari dalilnya, bahwa
termasuk di dalamnya segala sesuatu yang mengandung unsur Ta'zhim (pengagungan)
kepada Allah. Wa Allahu A’lam” .
Dari teks-teks ini kita dapat melihat dengan jelas bahwa
para ahli hadits, seperti al-Imam Ibn Hibban, al-Muhibb ath-Thabari, al-Hafizh
adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi
al-Hanbali, dan para ulama penulis Syarh Shahih al-Bukhari, seperti al-Hafizh
Ibn Hajar al-‘Asqalani dengan Fath al-Bari’, al-Badr al-'Aini dengan ‘Umdah
al-Qari’, juga para ahli Fikih madzhab Hanbali seperti Syekh Mar’i al-Hanbali
dan lainnya, semuanya memiliki pemahaman bahwa kebolehan tabarruk tidak khusus
berlaku kepada Rasulullah saja.
Dari sini, kita katakan kapada orang-orang anti tabarruk:
Apa sikap kalian terhadap teks-teks para ulama ini?! Apakah kalian akan akan
mengatakan bahwa para ulama tersebut berada di dalam kesesatan, dan hanya
kalian yang benar dengan ajaran baru kalian?!
B. Jika dalil-dalil yang telah kita sebutkan itu bukan
dalil, lalu apa yang mereka maksud dengan dalil? Apakah yang disebut dalil
hanya jika disebutkan oleh panutan-panutan mereka saja?! Siapakah yang lebih
tahu dalil dan memahami agama ini, apakah mereka yang anti tabarruk ataukah
al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan para ulama ahli hadits dan ahli fikih?! Benar,
orang yang tidak memiliki alasan kuat akan mengatakan apapun, termasuk sesuatu
yang tidak rasional, bahkan terkadang oleh dia sendiri tidak dipahami.
Dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar