Syekh Nawawi al-Bantani, tentu bukan sekedar sebuah nama.
Ulama besar, enlighter yang dilahirkan di desa Tanara, Banten pada tahun 1230
H, itu memang sosok cerdas manusia Banten yang sejak memang kecil memiliki
bakat intelektual. Pada masa kanak-kanaknya, beliau bersama dua saudara
kandungnya, Tamim dan Ahmad, telah memperoleh pengetahuan dasar dalam Bahasa
Arab, yakni Fiqh dan Tafsir, langsung dari ayahnya, Umar Ibnu Arabi.
Proses pendidikan lebih intensif diperolehnya dari Kyai
Sahal (juga di Banten), kemudian Kyai Yusuf di Purwakarta, yang terkenal banyak
menarik santri-santri dari Jawa. Terutama Jawa Barat dan Banten. Ketika usianya
15 tahun, Syekh Nawawi menunaikan ibadah haji, kemudian menetap selama tiga
tahun di sana. Selama menetap di sana, beliau terpikat oleh dinamika kehidupan
intelektual. Hal itu mengusik beliau untuk kembali lagi ke Mekkah, kemudian
menetap di sana, sampai wafat.
Kecerdasan, kearifan dan bakat beliau dalam berkarya dan
mengembangkan potensi dirinya sebagai ulama, membuat Syaikh Nawawi mampu
mendorong produktivitasnya. Antara tahun 1830 sampai 1860, dibawah bimbingan
Syaikh Khatib Sambas, Abdulgani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Nahrawi dan Abdulhamid
Daghestani, Syaikh Nawawi muda berhasil menunjukkan potensinya karena antara
tahun 1860-1870 selain mengisi waktu senggangnya untuk mengajar di Masjid
al-Haram, beliau mulai menunjukkan produktivitas nya dalam menulis buku, meski
baru pada fase kemudian (setelah tahun 1870) beliau sungguh intens menulis.
Mulai dari karya-karyanya yang pendek yang berisi tentang pedoman-pedoman
ibadah sampai tafsir Al-Qur’an, yang kemudian diterbitkan di Mesir pada tahun
1887.
Setidaknya 38 karya Syaikh Nawawi tercatat sebagai
karya-karya penting yang menjadi refrensi studi Islam internasional (Y.A
Sarkis, 1928). Agak berbeda dengan ulama-ulama yang lain, Syaikh Nawawi lebih
banyak membuat memiliki spesifikasi menyempurnakan dan memperdalam, serta
memperluas pemahaman atas karya-karya yang sudah ada sebelumnya, selain
karya-karya orisinil beliau. Tinjauan yang kritis terhadap berbagai karya ulama
pendahulunya, sangat terkenal. Paling tidak, sepuluh tinjauan kritis beliau
kini menjadi rujukan. Antara lain:
Syarah al-Jurumiyah, berkaitan bengan tatabahasa Arab (1881)
Lubab al-Bayan (1884), Dhariyat al-Yaqin yang berkaitan dengan doktrin-doktrin
Islam, yang sebelumnya sudah dikupas oleh Syaikh Sanusi (1886), Fathul Mujib,
yang merupakan tinjauan kritis dari Adurr al Farid yang merupakan buah pikiran
dari Syaikh Nahrawi, gurunya; Syarah Isra’ Mi’raj karya al-Barzanji, Syarah
tentang syair Al-Asmaul Husnah, Syarah Manasik Haji buah pikiran Syarbini,
Syarah tentang Suluk al-Jiddah (1883) & Syarah Sullam al-Munajah (1884)
karya Syaikh Hadrami, Tafsir Murah Labib (Al Munir) dan Syarah
tentang syair maulid karya al-Barzanji yang sangat populer karena kerap dibaca
setiap peringatan maulid nabi Muhammad SAW.
Tafsir Murah Labib, misalnya, terbilang karya beliau yang
sangat mashur, karena dinilai sebagai karya yang berkualitas dan memuat
hasil-hasil muzakarah (diskusi) terhadap berbagai persoalan penting, yang
dilakukannya dengan ulama-ulama Al-Azhar. Itulah sebabnya beliau dijuluki
Sayyid ulama al-Hijaz, atau pemimpin ulama Hijaz. Julukan itu disandang beliau,
terutama karena kearifannya. Meski bilau sangat kuat dan tegas menegakkan
tauhid dan akidah Islamiyah, beliau tidak menolak praktek-praktek tarekat,
selama tarekat itu tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran
agama Islam.
Melihat keseluruhan proses interaksi keilmuan dan dinamika
intelektual yang melatari kajian-kajian Islam di pesantren, boleh jadi Syaikh
Nawawi merupakan sumbu penting yang menjadi mediasi intelectual flow, kepada
Kyai Mahfudz (1918) dan Kyai Khalil- Bangkalan (1923), yang kemudian mengalir
dan berporos pada Hashim Ashari (1871 -1947) yang terkenal dengan Hadratus
Syaikh pendiri Nahdlatul Ulama.
Dari Syaikh Nawawi, yang mengalir sepenuhnya hal-hal yang
menyangkut aqidah islamiyah, yang tidak bersentuhan dengan masalah-masalah
tarekat. Para pemimpin tarekat Qadariyah & Naqsabandiyah, dilihat dari
genealogi intelektual, mengalir melalui Syaikh Abdul Karim yang juga berguru
kepada Khatib Sambas. Syaikh Abdul karim merupakan resouces penting aliran
tarekat atas Kyai Khalil Peterongan Jombang dan Kyai Mubarraq, yang juga
memperoleh pendalaman aqidah islamiyah (ilmu tauhid) dari Syaikh Nawawi,
melalui Kyai Khalil bangkalan Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar