الردة وهي قطع الإسلام، وتنقسم إلى ثلاثة أقسام: أفعال وأقوالٌ واعتقادات كما اتَّفقَ على ذلك أهل المذاهب الأربعة وغيرهم، كالنووي (ت٦٧٨ هـ) وغيره من الشافعية، وابن عابدين ( ت ١٢٥٢هـ ) وغيره من الحنفية، ومحمد عليش ( ١٢٥٢ ـ ) وغيره من المالكية، والبهوتي ( ت ١٠٥١ هـ) وغيره من الحنابلة.
Riddah
Riddah adalah memutuskan
Islam. Riddah terbagi kepada tiga macam; riddah (keluar dari Islam) karena
perbuatan, karena perkataan dan karena keyakinan. Pembagian ini telah
disepakati oleh para ulama dari empat madzhab dan lainnya; seperti, al-Imam
an-Nawawi (w 676 H) dan lainnya dari ulama madzhab Syafi’i, al-Imam Ibn Abidin
(w 1252 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanafi, Syekh Muhammad Illaisy (w
1299 H) dan lainnya dari ulama madzhab Maliki, dan al-Imam al-Buhuti (w 1051 H)
dan lainnya dari ulama madzhab Hanbali.
وكلٌّ من
الثلاثة كفرٌ بمفردِهِ فالكفرُ القوليُّ كفرٌ ولو لم يقترن به اعتقادٌ أو فعلٌ،
والكفرُ الفِعْلِيُّ كفرٌ ولو لم يقترن به قول أو اعتقادٌ أو انشراحُ الصَّدْر به،
والكفرُ الاعتقادي كفرٌ ولو لم يقترن به قولٌ أو فعلٌ، وسواء حصول هذا من جاهل بالحكم
أو هازل أو غضبان.
قال الله
تعالى: وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ
وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لا
تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ التوبة ٦٦-٦٥
Setiap satu dari tiga
macam kufur di atas dengan sendirinya merupakan kekufuran (artinya mengeluarkan
seseorang dari Islam). Kufur Qawli misalkan, (kufur karena ucapan) dengan
sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkan seseorang dari Islam sekalipun tidak
dibarengi dengan kufur I’tiqadi dan atau kufur Fi’li. Demikian pula kufur Fi’li
(kufur karena perbuatan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkna
seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur Qawli, atau kufur
I’tiqadi, dan juga walaupun tidak dibarengi dengan tujuan dalam hati untuk
keluar dari Islam itu sendiri.
Dan demikian pula dengan
kufur I’tiqadi dengan sendirinya ia merupakan kekufuran walaupun tidak
dibarengi dengan kufur Qawli dan atau kufur Fi’li. Dengan demikian setiap satu
dari tiga macam kufur ini bila terjadi masing-masing maka dengan sendirinya
mengeluarkan seseorang dari Islam, sama halnya bila itu terjadi dari seorang
yang tidak mengetahui hukumnya, atau orang yang dalam keadaan bercanda, dan
atau orang yang dalam keadaan marah.
Allah berfirman:
قال الله
تعالى: وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ
وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لا
تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ التوبة ٦٦-٦٥
“Dan bila engkau (Wahai
Muhammad) benar-benar bertanya kepada mereka (orang-orang murtad); maka mereka
sungguh akan berkata: “Sesungguhnya kami hanya terjerumus dan hanya
bermain-main (bercanda)”, katakan (wahai Muhammad); “Adakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-olok? Janganlah kalian mencari
alasan, sungguh kalian telah menjadi kafir setelah kalian beriman”. (QS.
At-Taubah; 65-66).
وقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم :" إنَّ الرَّجلَ لَيَتَكلَّمُ بالكلمةِ لا
يَرى بها بأسًا يهوِي بِها سبعينَ خريفًا في النَّارِ " رواه الترمذي وحسنه،
وفي معناه حديث رواه البخاري ومسلم.
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia
tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia
akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya --yang jarak permukaan dengan
dasarnya- adalah selama 70 tahun”. (HR. at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini
hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih masing-masing).
وقال
الإمام المجتهد محمد بن جرير الطبري ( ت ٣١٠ ـ ) في كتابه " تهذيب
الآثار ": إن من المسلمين من يخرج من الإسلام من غير أن يقصد الخروج منه اهـ.
Salah seorang Imam
Mujtahid terkemuka; yaitu Imam Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H) dalam
kitab karyanya berjudul Tahdzib al-Atsar, berkata: “Sesungguhnya ada di antara
orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya (menjadi kafir) walaupun ia tidak bermaksud
untuk keluar darinya”.
وقال
الحافظ الكبير أبو عوانة (ت ٣١٦ ـ) الذي عمل مستخرجا على مسلم، فيما
نقله عنه الحافظ ابن حجر في فتح الباري ج ٣٠٢-٣٠١ :" وفيه أن من المسلمين من يخرج من الدين من غير أن يقصد الخروج منه ومن
غير أن يختار دينا على دين الإسلام" اهـ.
Ahli hadits terkemuka
yang telah membuat kitab al-Mustakhraj Ala Shahih Muslim, yaitu al-Hafizh Abu
Uwanah (w 316 H), berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang
keluar dari Islamnya walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya, dan atau
walaupun ia tidak bertujuan memilih agama lain selain agama Islam”. (Dikutip
oleh al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqlani dalam Fath al-Bari, j. 12, h.
301-302).
وقال
الشيخ عبد الله بن الحسين بن طاهر الحضرمي (ت ١٢٧٢ ـ) في كتابه سلم
التوفيق إلى محبة الله على التحقيق:" يجب على كل مسلم حفظُ إسلامه وصونُهُ
عمَّا يفسده ويبطلُهُ ويقطعُهُ وهو الرّدةُ والعياذ بالله تعالى وقد كثُرَ في هذا
الزمان التساهلُ في الكلام حتى إنَّهُ يخرج من بعضهم ألفاظٌ تُخرجهم عن الإسلام
ولا يَرَوْنَ ذلك ذنبًا فضلاً عن كونه كفرًا"اهـ
Syekh Abdullah ibn
al-Husain ibn Thahir al-Hadlrami (w 1272 H) dalam kitab Sullam at-Taufiq Ila
Mahabbah Allah ‘Ala at-Tahqiq, berkata: “Wajib atas setiap orang muslim menjaga
Islamnya, dan memeliharanya dari segala perkara yang dapat merusaknya, membatalkannya,
dan memutuskannya; yaitu riddah --semoga kita dilindungi oleh Allah darinya--.
Dan sungguh di zaman
sekarang ini telah banyak orang yang menganggap remeh dalam berkata-kata hingga
telah keluar dari sebagian mereka kata-kata yang telah mengeluarkan mereka dari
Islam. Ironisnya, mereka tidak menganggap hal itu sebagai dosa, terlebih
menganggapnya sebagai kekufuran”.
قال
مختصره الإمام المحدث الشيخ عبد الله بن الهرري (ت 1429 هـ) ص/14: " وذلك
مصداقُ قوله صلى الله عليه وسلم :" إن العبد ليتكلم بالكلمة لا يرى بها بأسًا
يهوي بها في النار سبعين خريفًا" أي مسافة سبعين عامًا في النـزول وذلك منتهى
جهنم وهو خاصٌ بالكفار. والحديث رواه الترمذي وحسَّنَه. وفي معناه حديث رواه
البخاري ومسلم، وهذا الحديث دليل على أنه لا يشترط في الوقوع في الكفر معرفة الحكم
ولا انشراح الصدر ولا اعتقاد معنى اللفظ."اهـ
Al-Imam al-Hafizh
Abdullah ibn Muhammad al-Harari (w 1429 H), dalam kitab Mukhtashar Sullam
at-Taufiq, h. 14, berkata: “--bahwa menganggap remeh kata-kata kufur dapat
mengeluarkan seseorang dari Islamnya-- hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia
tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia
akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya --yang jarak permukaan dengan
dasarnya- adalah selama 70 tahun”. Artinya, ia akan masuk ke dalam neraka
hingga ke dasarnya yang jarak hingga dasarnya tersebut adalah 70 tahun, dan
dasar neraka adalah khusus sebagai tempat bagi orang-orang kafir. Hadits ini
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang
semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
Hadits ini merupakan
dalil bahwa terjatuh dalam kufur tidak disyaratkan harus mengetahui hukumnya,
juga tidak disyaratkan bahwa hatinya benar-benar bertujuan keluar dari Islam,
serta juga tidak disyaratkan bahwa ia harus meyakini bahwa kata-kata tersebut
dapat mengeluarkan dirinya dari Islam”. (Artinya, secara mutlak dengan hanya
berkata-kata kufur; seseorang menjadi kafir/keluar dari Islam).
وقال
السيد البكري الدمياطي (ت 1310هـ) في إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين(
م2/ج4/133): "واعلم أنه يجري على ألسنة العامة جملة من أنواع الكفر من غير أن
يعلموا أنها كذلك فيجب على أهل العلم أن يبينوا لهم ذلك لعلهم يجتنبونه إذا علموه
لئلا تحبط أعمالهم ويخلدون في أعظم العذاب، وأشد العقاب، ومعرفة ذلك أمر مهمّ
جدًا، وذلك لأن من لم يعرف الشرّ يقع فيه وهو لا يدري، وكل شرّ سببه الجهل، وكل
خير سببه العلم، فهو النور المبين، والجهل بئس القرين"اهـ
As-Sayyid al-Bakri
ad-Dimyathi (w 1310 H) dalam kitab I’anah ath-Thalibin ‘Ala Hall Alfazh Fath
al-Mu’in, vol. 2, j. 4, h. 133, berkata: “Ketahuilah bahwa banyak orang-orang
awam yang dengan lidahnya telah berkata-kata kufur tanpa mereka ketahui bahwa
sebenarnya hal itu merupakan kekufuran (dan menjatuhkan mereka di dalamnya).
Maka wajib atas seorang yang memiliki ilmu untuk menjelaskan bagi mereka
perkara-perkara kufur tersebut supaya bila mereka mengetahinya maka mereka akan
menghindarinya, dan dengan demikian maka amalan mereka tidak menjadi sia-sia,
serta mereka tidak dikekalkan di dalam neraka (bersama orang-orang kafir) dalam
siksaan besar dan adzab yang sangat pedih.
Sesungguhnya mengenal
masalah-masalah kufur itu adalah perkara yang sangat penting, karena seorang
yang tidak mengetahui keburukan maka sadar atau tidak ia pasti akan terjatuh di
dalamnya. Dan sungguh setiap keburukan itu pangkalnya (sebab utamnya) adalah kebodohan
(tidak memiliki ilmu), dan setiap kebaikan itu pangkalnya adalah ilmu, maka
ilmu adalah petunjuk yang sangat nyata terhadap segala kebaikan, dan kebodohan
adalah seburuk-buruknya teman (untuk kita hindari)”.
ويقول
الحافظ الفقيه محمد بن محمد الحسيني الزبيدي الشهير بمرتضى (ت 1205هـ) في كتابه
اتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين،ج5/333، ما نصه: "وقد ألف فيها(
الردة) غير واحد من الأئمة من المذاهب الأربعة رسائل وأكثروا في أحكامها"اهـ
Al-Imam al-Hafizh
al-Faqih Muhammad ibn Muhammad al-Husaini az-Zabidi yang lebih dikenal dengan
sebutan Mutadla az-Zabidi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi
Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 5, h. 333, menuliskan: “Sangat banyak sekali para
Imam terkemuka dari ulama empat madzhab yang telah menuliskan berbagai
risalah/kitab dalam menjelaskan masalah riddah dan hukum-hukumnya”.
الحنفية
قال
الفقيه الحنفي محمد أمين الشهير بابن عابدين (ت1252هـ) في كتاب رد المحتار على
الدر المختار شرح تنوير الأبصار، ج6/354، باب المرتد: شرعا الراجع عن دين الإسلام،
وركنها إجراء كلمة الكفر على اللسان بعد الإيمان. هذا بالنسبة إلى الظاهر الذي
يحكم به الحاكم، وإلا فقد تكون بدونه كما لو عرض له اعتقاد باطل أو نوى أن يكفر
بعد حين "اهـ.
Penjelasan Para Ulama
Madzhab Hanafi
Salah seorang ahli fiqih
terkemuka dalam madzhab Hanafi; yaitu al-Imam Muhmammad Amin yang lebih dikenal
dengan nama Ibn Abidin (w 1252 H) dalam kitab karyanya berjudul Radd al-Muhtar
‘Ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, j. 6, h. 354, berkata: “Bab
menjelaskan seorang yang murtad. Dalam tinjauan syari’at orang yang murtad
adalah orang yang memutuskan/keluar Islam. Sebab utamanya adalah karena
kata-kata kufur yang diucapkan dengan lidahnya. Inilah penyebab utama yang
nampak secara zahir; di mana seorang hakim harus menetapkan hukum kafir
terhadap orang yang mengucapkan kata-kata kufur tersebut. Selain dengan
kata-kata kufur kekufuran ini dapat terjadi karena sebab lainnya, seperti orang
yang berkeyakinan rusak, atau seorang yang berniat (dalam hati) untuk menjadi
kafir di masa mendatang; maka ia menjadi kafir saat itu pula (artinya saat ia
meletakan niat untuk menjadi kafir)”.
وقال
البدر الرشيد الحنفي (ت 768هـ) في رسالة له في بيان الألفاظ الكفرية ص/19:"
من كفر بلسانه طائعا وقلبه على الإيمان إنه كافر ولا ينفعه ما في قلبه ولا يكون
عند الله مؤمنا لأن الكافر إنما يعرف من المؤمن بما ينطق به فإن نطق بالكفر كان
كافرا عندنا وعند الله "اهـ
.
Al-Imam Badr ar-Rasyid
al-Hanafi (w 768 H) dalam karyanya berjudul Risalah Fi Bayan al-Alfazh
al-Kufriyyah, h. 19, berkata: “Barangsiapa mengucapkan kata-kata kufur dengan
lidahnya dan tanpa ada yang memaksanya (artinya bukan dibawah ancaman bunuh),
walaupun hatinya merasa tetap dalam iman; maka sesungguhnya orang ini adalah
seorang kafir. Dan apa yang ada dalam hatinya tidak dapat memberikan manfaat
apapun bagi dirinya. Orang semacam ini bagi Allah adalah seorang yang kafir,
oleh karena sesungguhnya seorang mukmin itu diketahui bahwa ia seorang mukmin
adalah dari apa yang diucapkannya, dengan demikian apa bila ia berkata-kata
kufur maka sungguh ia telah menjadi kafir; menurut kita dan menurut Allah”.
وقال
الشيخ ملا علي القاري الحنفي (ت1014 هـ) في شرح كتاب الفقه الأكبر للإمام أبي
حنيفة النعمان بن ثابت الكوفي، ص/274:" ثم اعلم أنه إذا تكلم بكلمة الكفر
عالما بمعناها ولا يعتقد معناها لكن صدرت عنه من غير إكراه بل مع طواعية في تأديته
فإنه يحكم عليه بالكفر"اهـ.
Syekh Mulla Ali al-Qari’
al-Hanafi (w 1014 H) dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar (al-Fiqh al-Akbar
adalah karya al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi, w 150 H), pada
h. 274, berkata: “Ketahuilah, bila seseorang berkata-kata kufur, ia mengetahui
makna kata-kata kufur tersebut; --walaupun ia tidak meyakininya sebagai
kekufuran--, lalu kata-kata kufur ini terjadi dari dirinya bukan karena paksaan
tetapi terjadi dengan keinginannya sendiri (artinya dalam keadaan normal tanpa
paksaan dengan ancaman bunuh) maka orang ini dihukumi sebagai orang kafir”.
وجاء في
كتاب الفتاوى الهندية في مذهب الإمام أبي حنيفة، (قام بتأليفها جماعة من علماء
الهند برئاسة الشيخ نظام الدين البلخي بأمر من سلطان الهند أبي المظفر محيى الدين
محمد أورنك زيب) ج2/259 و261 ما نصه:"يكفر بإثبات المكان لله تعالى"،
"وكذا إذا قيل لرجل: ألا تخشى الله تعالى، فقال في حالة الغضب: لا، يصير
كافرا،كذا في فتاوى قاضيخان"اهـ
Dalam kitab al-Fatawa
al-Hindiyyah, kitab fiqih dalam madzhab Hanafi ditulis oleh kumpulan ulama
India yang diketuai oleh Syekh Nizhamuddin al-Balkhi dengan intruksi langsung
dari penguasa India pada masanya; yaitu Abu al-Muzhaffar Muhyiddin Muhammad
Urnakzib, pada j. 2, h. 259-261, tertulis sebagai berikut: “Orang yang
menetapkan tempat bagi Allah telah menjadi kafir. Demikian pula jika ada
seorang yang berkata kepadanya: “Tidakkah engkau merasa takut kepada Allah?
Lalu dalam keadaan marah orang ini menjawab: “Tidak”, maka ia telah menjadi
kafir. Seperti inilah pula yang telah dituliskan dalam kitab Fatawa Qadlikhan”.
وقال
الإمام محمد بن أحمد السرخسي الحنفي (ت 483 هـ )في كتابه المبسوط، في المجلد
الثالث ج5/49، ما نصه:"باب نكاح المرتد: وإذا ارتد المسلم بانت منه امرأته
مسلمة كانت أو كتابية دخل بها أو لم يدخل بها عندنا" اهـ
Al-Imam Muhammad ibn
Ahmad as-Sarakhsi al-Hanafi (w 483 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Mabsuth,
vol. 3, j. 5, h. 49, menuliskan: “Bab tentang nikah seorang yang murtad.
Seorang muslim apa bila ia murtad/keluar dari Islam maka menurut kami (ulama
madzhab Hanafi) istrinya menjadi terpisah darinya (artinya; rusak tali
pernikahannya), baik istrinya tersebut seorang muslimah atau seorang
kitabiyyah, serta sama halnya istrinya tersebut telah disetubuhi atau belum”.
وقال
الإمام عبد الله بن أحمد النسفي (ت 701 هـ) في كنـز الدقائق،كتاب السير :"
أَجْمَعَ أَصْحَابُنَا عَلَى أَنَّ الرِدة تُبْطِلُ عِصْمَةَ النِّكَاحِ وَتَقَعُ
الْفُرْقَةُ بَيْنَهُمَا بِنَفْسِ الرِّدةِ" اهـ
Al-Imam Abdullah ibn
Ahmad an-Nasafi (w 701 H) dalam kitab Kanz ad-Daqa’iq dalam pembahasan Kitab
as-Siyar, berkata: “Seluruh sahabat kami (ulama madzhab Hanafi) telah sepakat
bahwa ridah/kufur (keluar dari Islam) dapat merusak tali pernikahan, dan dengan
hanya riddah itu sendiri maka dua orang suami istri menjadi terpisah”.
وقال
الشيخ عبد الغني الغنيمي الدمشقي الميداني الحنفي (ت 1298هـ) في اللباب في
Syekh Abdul Ghani
al-Ghunaimi ad-Damasyqi al-Maidani al-Hanafi (w 1298 H) dalam kita al-Lubab Fi
Syarh al-Kitab, j. 3, h. 28, berkata: “Jika salah seorang dari suami istri
menjadi murad/keluar dari Islam maka --secara otomatis terjadi perpisahan
antara keduanya-- yang bukan karena talaq/cerai”.
وقال
الشيخ عبد الغني النابلسي الحنفي (1143هـ) في كتاب الفتح الرباني والفيض الرحماني
ص/124، ما نصه :" وأما أقسام الكفر فهي بحسب الشرع ثلاثة أقسام ترجع جميع
أنواع الكفر إليها، وهي: التشبيه، والتعطيل، والتكذيب... وأما التشبيه: فهو
الاعتقاد بأن الله تعالى يشبه شيئًا من خلقه، كالذين يعتقدون أن الله تعالى جسمٌ
فوق العرش، أو يعتقدون أن له يدَين بمعنى الجارحتين، وأن له الصورة الفلانية أو
على الكيفية الفلانية، أو أنه نور يتصوره العقل، أو أنه في السماء، أو في جهة من
الجهات الست، أو أنه في مكان من الأماكن، أو في جميع الأماكن، أو أنه ملأ السموات
والأرض، أو أنَّ له الحلول في شىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أنه متحد
بشىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أن الأشياء منحلَّةٌ منه، أو شيئًا منها.
وجميع ذلك كفر صريح والعياذ بالله تعالى، وسببه الجهل بمعرفة الأمر على ما هو
عليه" اهـ.
Syekh Abdul Ghani
an-Nabulsi al-Hanafi (w 1143 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Fath
ar-Rabbani Wa al-Faidl ar-Rahmani, h. 124, berkata: “Adapun pembagian kufur
dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian, di mana setiap macam dan
bentuk kufur kembali kepada tiga bagian ini; yaitu Tasybih, Ta’thil dan
takdzib. Tasybih (yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seperti
berkeyakinan bahwa Allah menyerupai sesuatu dari makhluk-Nya seperti mereka
yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy, atau
berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam makna anggota badan, atau
bahwa Allah seperti bentuk si fulan, atau memiliki sifat seperti sifat si
fulan, atau berkeyakinan bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan oleh
akal, atau berkeyakinan bahwa Allah berada di langit, atau bahwa Allah berada
pada arah di antara arah yang enam (atas, bawah, depan belakang, samping kanan
dan samping kiri), atau berkeyakinan bahwa Allah bertempat di antara beberapa
tempat, atau berada di seluruh tempat, atau berkeyakinan bahwa Allah memenuhi
seluruh lapisan langit dan bumi, atau berkeyakinan bahwa Allah
bertempat/menetap di dalam sesuatu di antara makhluk-makhluk-Nya, atau menetap
di dalam segala sesuatu, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan sebagian
makhluk-Nya, atau menyetu dengan seluruh makhluk-Nya, atau berkeyakinan bahwa
ada sesuatu atau segala sesuatu dari makhluk Allah menyatu dengan-Nya; maka
semua ini adalah jelas sebagai kekufuran, --semoga kita terlindung darinya--.
Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap perkara-perkara pokok aqidah
yang sebenarnya wajib ia ketahui”.
المالكية
قال
القاضي عياض اليحصبي المالكي (ت 544 هـ) في كتابه الشفا ج2/214 الباب الأول في
بيان ما هو في حقه صلى الله عليه وسلم سبٌ أو نقص ٌ من تعرض أو نصٍ: من سب النبي
صلى الله عليه وسلم أو عابه أو ألحق به نقصا في نفسه أو نسبه أو دينه أو خصلة من
خصاله أو عرَّضَ به أو شبهه بشىء على طريق السب له أو الإزراء عليه أو التصغير
لشأنه أو الغض منه والعيب له فهو ساب له... قال محمد بن سنحون أجمع العلماء أن شاتم
النبي صلى الله عليه وسلم المنتقص له كافر والوعيد جار عليه بعذاب الله له ... ومن
شك في كفره وعذابه كفر."اهـ
Penjelasan Para Ulama
Madzhab Maliki
Al-Imam al-Qadli Iyadl
al-Maliki (w 544 H) dalam kitab karyanya berjudul asy-Sifa’ Bi Ta’rif Huquq
al-Musthafa, j. 2, h. 214, menuliskan: “Bab pertama; Penjelasan tentang
mencaci-maki atau merendahkan Rasulullah (baik dalam bentuk kata-kata atau
tulisan). Barangsiapa mencaci-maki Rasulullah, mencelanya, menyandarkan
kerendahan/kekurangan/aib kepadanya; baik pada diri beliau sendiri, atau
agamanya/ajarannya/akhlaknya, atau pada sifat dari sifat-sifatnya, atau
merendahkan kehormatannya, atau menyerupakannnya dengan sesuatu untuk tujuan
menghinakannya, merendahkannya, mengecilkan keutamaannya, atau untuk tujuan
berpaling darinya dan membuat aib baginya; maka orang semacam ini adalah orang
yang mencaci Rasulullah, dan Ibn Syahnun berkata: Para ulama telah sepakat
(ijma’) bahwa orang yang mencaci-maki Rasulullah dan menghinakannya maka ia
telah kafir, dan orang semacam ini layak mendapatkan ancaman Allah untuk
disiksa. Dan barangsiapa meragukan bahwa orang tersebut telah menjadi kafir dan
berhak untuk mendapat siksa; maka orang ini juga telah menjadi kafir”.
وقال
الشيخ أبو عبد الله محمد أحمد عليش المالكي مفتي الديار المصرية الأسبق (ت 1299هـ)
في منح الجليل على مختصر العلامة خليل ج9/205 ما نصه: "وسواء كفر بقول صريح
في الكفر كقوله كفر بالله أو برسول الله أو بالقرءان أو إلاله اثنان أو ثلاثة أو
المسيح ابن الله أو العزير ابن الله أو بلفظ يقتضيه أي يستلزم اللفظ للكفر
استلزاما بينا كجحد مشروعية شىء مجمع عليه معلوم من الدين بالضرورة، فإنه يستلزم
تكذيب القرءان أو الرسول، وكاعتقاد جسمية الله وتحيزه..أو بفعل يتضمنه أي يستلزم
الفعل الكفر استلزاما بينا كإلقاء أي رمي مصحف بشىء قذر"اهـ .
Syekh Abu Abdillah
Muhammad Ahmad Illaisy al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka mantan Mufti
negara Mesir (w 1299 H) dalam kitab Minah al-Jalil ‘Ala Mukhtashar al-‘Allamah
al-Khalil, j. 9, h. 205, berkata: “Sama halnya kufur tersebut terjadi dengan
kata-kata yang jelas (sharih/jelas sebagai kata-kata kufur), seperti bila ia
berkata “Saya kafir kafir kepada Allah”, atau “saya kafir kepada Rasulullah”,
atau “saya kafir kepada al-Qur’an”, atau ia berkata: “Tuhan ada dua”, atau
berkata: “al-Masih (Nabi Isa) adalah anak Allah”, atau berkata “Uzair adalah
anak Allah”, atau berkata-kata dengan ucapan yang secara nyata menunjukan dan
mejadikannya jatuh dalam kufur, seperti bila ia mengingkari sesuatu yang secara
syari’at telah disepakati (ijma’) yang hukumnya telah pasti diketahui oleh
setiap orang Islam (Ma’lum min ad-din bi adlarurah; seperti kewajiban shalat
lima waktu, haram zina, haram mencuri dan lainnya), karena dengan demikian ia
telah mendustakan al-Qur’an dan mendustakan Rasulullah.
Termasuk contoh kufur
dalam hal ini berkeyakinan bahwa Allah adalah benda, dan atau bahwa Dia
memiliki tempat dan arah. Termasuk juga berbuat dengan perbuatan yang secara
nyata menunjukan dan mejadikannya jatuh dalam kufur, seperti bila ia
melempar/membuang al-Qur’an (atau bagian dari al-Qur’an) di tempat yang
menjijikan”.
وقال
أيضا في فتح العلي المالك في الفتوى على مذهب الإمام مالك، ج2/348: س: ما قولكم في
رجل جرى على لسانه سب الدين ( أي دين الإسلام ) من غير قصد ( أي من غير قصد الخروج
من الدين) هل يكفر ؟ فأجبت بما نصه : الحمد لله والصلاة والسلام على سيدنا محمد
رسول الله، نعم ارتد، وفي المجموع ولا يعذر بجهل.اهـ
Syekh Muhammad Illaisy
dalam kitab Fath al-‘Aliy al-Malik Fi al-Fatwa ‘Ala Madzhab al-Imam Malik, j.
2, h. 348, juga berkata: “Soal: Apa pendapat tuan tentang seseorang yang dengan
lidahnya mengucapkan kata-kata cacian terhadap agama (agama Islam) tanpa ia
bertujuan untuk keluar dari Islam itu sendiri, apakah karenanya ia menjadi
kafir? Aku Jawab; --Segala puji bagi Allah, shalawat dalam semoga selalu
tercurah atas tuan kita; Muhammad Rasulullah--, Benar, orang itu tersebut telah
menjadi kafir. Dan dalam kitab al-Majmu’ disebutkan bahwa seseorang tidak
dimaafkan walaupun ia bodoh --dalam msalah ini--”.
الشافعية
قال
الإمام يحيى بن شرف النووي الشافعي (ت 676 هـ ) في كتاب منهاج الطالبين وعمدة
المفتين، ص/293، ما نصه:" كتاب الردة: هي قطع الإسلام بنية أو قول كفر أو فعل
سواء قاله استهزاء أو عنادًا أو اعتقادًا " اهـ
Penjelasan Para Ulama
Madzhab Syafi'i
Al-Imam Yahya ibn Syaraf
an-Nawawi asy-Syafi’i (w 676 H) dalam kitab Minhaj ath-Thalibin Wa ‘Umdah
al-Muftin, h. 293, berkata: “Kitab tentang riddah/kufur. Ridah adalah
memutuskan Islam, baik karena niat, karena perbuatan, atau karena perkataan,
dan sama halnya ia mengatakannya untuk tujuan menghinakan, atau karena
mengingkari, dan atau karena meyakini (kata-kata kufur tersebut”.
وقال
أيضا في الروضة ج10/52 :" وقال أي الشافعي في موضع إذا أتى بالشهادتين صار
مسلما"اهـ وقال في كتاب الكفارات ج8/282:" المذهب الذي قطع به الجمهور
أن كلمتي الشهادتين لا بد منهما ولا يحصل الإسلام إلا بهما "اهـ
Dalam kitab Raudlah
ath-Thalibin, j. 10, h. 52, al-Imam an-Nawawi berkata: “Di suatu bagian
(tulisannya); Imam Syafi’i berkata bahwa orang murtad ini bila
mendatangkan/mengucapkan dua kalimat syahadat maka ia menjadi muslim”.
Dalam kitab al-Kaffarat,
j. 8, h. 282, al-Imam an-Nawawi berkata: “Pandapat yang telah ditetapkan oleh
para ulama bahwa dua kalimat syahadat wajib didatangkan/diucapkan oleh seorang
yang murtad, dan bahwa ia tidak menjadi muslim kembali kecuali dengan dua
kalimat syahadat ini”.
وقال
الشيخ تقي الدين أبو بكر بن محمد الحصني الشافعي من أهل القرن التاسع الهجري في
"كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار" ص/200، ما نصه: فصل في الردة: وفي
الشرع الرجوع عن الإسلام إلى الكفر وقطع الإسلام، ويحصل تارة بالقول وتارة بالفعل
وتارة بالاعتقاد، وكل واحد من هذه الأنواع الثلاثة فيه مسائل لا تكاد تحصر، فنذكر
من كل نبذة ما يعرف بها غيره: أما القول: ولو سب نبيا من الأنبياء أو استخف به،
فإنه يكفر بالإجماع. ولو قال لمسلم يا كافر بلا تأويل كفر، لأنه سمى الإسلام كفرا.
وأما الكفر بالفعل فكالسجود للصنم والشمس والقمر وإلقاء المصحف في القاذورات
والسحر الذي فيه عبادة الشمس. ولو فعل فعلا أجمع المسلمون على أنه لا يصدر إلا من
كافر، وإن كان مصرحا بالإسلام مع فعله. وأما الكفر بالاعتقاد فكثير جدا فمن اعتقد
قدم العالم أو حدوث الصانع أو اعتقد نفي ما هو ثابت لله تعالى بالإجماع أو أثبت ما
هو منفى عنه بالإجماع كالألوان والاتصال والانفصال كان كافرا، أو استحل ما هو حرام
بالإجماع، أو حرم حلالا بالإجماع أو اعتقد وجوب ما ليس بواجب كفر أو نفى وجوب شىء
مجمع عليه علم من الدين بالضرورة كفر ..النووي جزم في صفة الصلاة من شرح المهذب
بتكفير المجسمة، قلت: وهو الصواب الذي لا محيد عنه إذ فيه مخالفة صريح
القرءان"اهـ.
Syekh Taqiyyuddin Abu
Bakr ibn Muhammad al-Hushni asy-Syafi’i, salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab
Syafi’i yang hidup di abad sembilan (9) hijriyah, dalam kitab Kifayah al-Akhyar
Fi Hall Ghayah al-Ikhtishar, h. 200, berkata: “Pasal; Tentang riddah. Riddah
dalam pengertian syari’at adalah kembali dari Islam kepada kufur, dan
memutuskan Islam tersebut. Riddah ini kadang terjadi karena ucapan, kadang
karena perbuatan, dan kadang karena kayakinan. Setiap satu bagian dari tiga
macam kufur ini memiliki cabang/contoh yang sangat banyak sekali tidak
terhingga, berikut ini kita sebutkan beberapa contoh supaya kita bisa
mengetahui contoh-contoh lainnya yang serupa dengannya yang tidak kita sebutkan
di sini. Kufur perkataan contohnya seorang yang mencaci-maki salah seorang Nabi
dari para Nabi Allah (yang telah disepakati kenabiannya), dan atau
merendahkannya; maka orang ini telah kafir dengan kesepakan ulama (ijma’).
Contoh lainnya bila seseorang berkata kepada sesama muslim tanpa memiliki
takwil (tanpa alasan yang dapat dibenarkan dalam syari’at); “Wahai orang
kafir!!”, maka yang memanggil tersebut menjadi kafir, karena dengan demikian ia
telah menamkan ke-Islam-an seseorang sebagai kekufuran. Kufur fi’li (kufur
karena perbuatan) contohnya seperti sujud kepada berhala, matahari, bulan, atau
melemparkan/membuang al-Qur’an di tempat yang menjijikan, dan praktek sihir
dengan jalan menyembah matahari.
Contoh lainnya bila ia
berbuat suatu perbutan kufur yang nyata-nyata hanya dilakukan oleh orang-orang
kafir; maka ia menjadi kafir, sekalipun saat melakukannya ia merasa bahwa diri
seorang muslim”. Adapun kufur I’tiqadi (kufur karena keyakinan rusak) contohnya
sangat banyak sekali, di antaranya seperti orang yang berkeyakinan bahwa alam
ini (segala sesuatu selain Allah) tidak memiliki permulaan, atau
menafikan/mengingkari sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati bagi Allah
(seperti sifat wujud [Allah maha ada], qidam [tanpa permulaan], baqa’ [tanpa
penghabisan], sama’ (bahwa Allah maha mendengar], dan lainnya), atau sebaliknya
menetapka sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati ketiadaannya dari Allah;
seperti warna, menempel, berpisah (dan berbagai sifat benda lainnya); maka
orang ini telah menjadi kafir.
Contoh lainnya bila ia
menghalalkan sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati keharamannya (seperti
zina, membunuh tanpa hak, mencuri, dan lainnya), atau sebaliknya mengharamkan
sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati kehalalannya (seperti nikah, jual
beli, dan lainnya), atau berkeyakinan wajib terhadap sesuatu yang secara ijma’
telah disepakati bukan sebagai perkara wajib; maka orang ini telah menjadi
kafir. Contoh lainnya bila seseorang mengingkari sesuatu yang secara ijma’
telah disepakati kewajibannya serta telah diketahui kewajiban tersebut oleh
seluruh orang Islam (seperti shalat lima waktu); maka ia telah menjadi kafir.
Kemudian Imam an-Nawawi dalam kitab Syarah al-Muhadz-dzab dalam menjelasan
tatacara shalat bahwa kaum Mujassimah (kaum yang mengatakan bahwa Allah adalah
benda; memiliki bentuk dan ukuran) adalah orang-orang yang harus dikafirkan.
Aku (Abu Bakr al-Hushni) katakan; Inilah kebenaran yang tidak dapat
diganggugugat (artinya bahwa kaum Mujassimah adalah orang-orang kafir), oleh
karena keyakinan demikian sama saja dengan menyalahi al-Qur’an (yang telah
jelas menetapkan bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari
makhluk-Nya)”.
وقال
الإمام الشافعي (ت204هـ) في كتابه الأم ج6/160، في باب حال المرتد وزوجة
المرتد:" وإذا ارتد الرجل عن الإسلام وله زوجة، أو أمراة عن الإسلام ولها
زوج... لا تقع الفرقة بينهما حتى تمضي عدة الزوجة قبل يتوب ويرجع إلى الإسلام فإذا
انقضت عدتها قبل يتوب فقد بانت منه ولا سبيل له عليها وبينونتها منه فسخ بلا
طلاق"اهـ
Al-Imam Muhammad ibn
Idris asy-Syafi’i (w 204 H), Imam perintis madzhab Syafi’i, dalam kitab al-Umm,
j. 6, h. 160, dalam menjelaskan keadaan/hukum seorang yang murtad dan istri
seorang yang murtad, berkata: “Jika seseorang menjadi murtad/keluar dari Islam dan
ia memiliki istri, atau jika seorang perempuan keluar dari Islam dan ia
memiliki seorang suami; maka pasangan ini menjadi terpisahkan (artinya secara
otomatis manjadi rusak tali pernikahannya).
Dan bila yang murtad ini
kembali masuk Islam sebelum habis masa iddah --istrinya-- (yaitu 3 kali suci)
maka keduanya kembali menjadi pasangan suami istri (tanpa harus membuat akad
nikah yang baru). Namun bila salah satunya belum masuk Islam kembali hingga habis
masa iddah --si istri-- (yaitu 3 kali suci); maka terpisahlah antara pasangan
suami istri ini, dan pisah di sini karena rusak (tali pernikahannya) bukan
karena talaq/cerai”. (Penjelasan; Bila salah satunya masuk Islam kembali
setelah habis masa iddah lalu hendak membangun rumah tangga kembali maka harus
membuat akad nikah yang baru).
وقال تاج
الدين السبكي (ت771 هـ) في طبقاته ج1/91 ما نصه:" ولا خلاف عند الأشعري
وأصحابه بل وسائر المسلمين أن من تلفظ بالكفر أو فعل أفعال الكفر أنه كافر بالله
العظيم مخلد في النار وإن عرف قلبه " اهـ.
Al-Imam Tajuddin Abdul
Wahhab ibn Ali as-Subki (w 771 H) dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah
al-Kubra, j. 1, h. 91, berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat antara Imam
al-Asy’ari dan para ulama pengikutnya, bahkan tidak ada perbedaan pendapat di
antara segenap orang Islam bahwa seorang yang berkata-kata kufur atau berbuat
perbuatan kufur; maka ia telah kafir kepada Allah yang Maha Agung, ia akan
dikekalkan di dalam neraka, sekalipun hatinya mengingkari itu (artinya; sekali hatinya
tidak berniat keluar dari Islam)”.
وقال
الشيخ محمد بن عمر نووي الجاوي البنتني (ت 1316 هـ) في كتاب مراح لبيد:
"{وَمَن يَكْفُرْ بِٱلإيمَـٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ} أي ومن يكفر بشرائع
الله وبتكاليفه فقد بطل ثواب عمله الصالح سواء عاد إلى الإسلام أولاً "اهـ.
Syekh Muhammad ibn Umar
Nawawi al-Jawi al-Bantani (w 1316 H) dalam kitab tafsir yang dikenal dengan
at-Tafsir al-Munir atau dikenal dengan Tafsir Marah Labid, menuliskan: “Firman
Allah:
وَمَن
يَكْفُرْ بِٱلإيمَـٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ (المائدة: 5)
“Barangsiapa kufur dengan
keimanan maka menjadi sia-sialah amalannya” (QS. Al-Ma’idah: 5). Artinya, bahwa
seorang yang kafir kepada syari’at-syari’at Allah dan kafir kepada
ajaran-ajaran-Nya (hukum-hukum-Nya) maka manjadi sia-sia seluruh amal salehnya,
sama halnya setelah itu ia kembali kepada Islam atau tidak”.
الحنابلة
قال موفق
الدين عبد الله بن أحمد ابن قدامة المقدسي الحنبلي (ت 620 هـ) في كتاب المقنع،
صحيفة 307، ما نصه:"باب حكم المرتد: وهو الذي يكفر بعد إسلامه . فمن أشرك
بالله أو جحد ربوبيته أو وحدانيته أو صفة من صفاته او اتخذ لله صاحبة أو ولدا أو
جحد نبيا أو كتابا من كتب الله تعالى أو شيئا منه أو سب الله تعالى أو رسوله كفر.
ومن جحد وجوب العبادات الخمس أو شيئا منها أو أحل الزنا أو الخمر أو شيئا من
المحرمات الظاهرة المجمع عليها لجهل عرّف ذلك، وإن كان ممن لا يجهل ذلك كفر .
Penjelasan Para Ulama
Madzhab Hanbali
Syekh Muwaffaquddin
Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (w 620 H), dalam kitab
al-Mughni, h. 307, berkata: “Bab hukum orang murtad. Orang murtad ialah orang
yang menjadi kafir setelah Islam. Maka barangsiapa menyekutukan Allah, atau
mengingkari ketuhanan-Nya, atau keesaan-Nya (artinya bahwa Allah tidak
menyerupai segala apapun dari makhluk-Nya), atau mengingkari salah satu
sifat-dari sifat-sifat-Nya, atau menjadikan bagi-Nya seorang istri, atua
seorang anak, atau mengingkari seorang Nabi (yang telah disepakati
kenabiannya), atau mengingkari salah satu kitab dari kitab-kitab Allah (yang
diturunkan kepada sebagian Nabi-Nya), atau mengingkari sesuatu yang (nyata)
sebagai bagian dari kitab-Nya tersebut, atau mencaci-maki Allah, atau
mencai-maki Rasul-Nya; maka orang tersebut telah menjadi kafir.
Dan barangsiapa
mengingkari kewajiban shalat lima waktu, atau sesuatu yang jelas merupakan
bagian dari shalat lima waktu tersebut, atau menghalalkan perbuatan zina, atau
khamar, atau menghalalkan beberapa perkara yang nyata sebagai perkara-perkara
haram dan telah disepakati tentang keharamannya; maka jika karena (benar-benar)
bodoh maka harus diajarkan kepadanya, namun jika ia telah tahu maka ia menjadi
kafir”.
وقال
الفقيه الحنبلي منصور بن إدريس البهوتي (ت 1051 هـ) في كتاب شرح منتهى الإرادات،
ج3/386 ، ما نصه:" باب حكم المرتد، وهو لغة الراجع ،..وشرعا من كفر ولو مميزا
بنطق أو اعتقاد أو فعل أو شك طوعا ولو كان هازلا بعد إسلامه "اهـ.
Syekh Manshur ibn Idris
al-Buhuti, salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanbali (w 1051 H),
dalam kitab Syarh Muntaha al-Iradat, j. 3, h. 386 H, berkata: “Bab hukum
seorang murtad. Murtad dalam makna bahasa adalah seorang yang kembali (dari Islam).
Dan menurut syari’at adalah seorang yang menjadi kafir; walaupun ia seorang
yang berumur mumayyiz, yang kekufurannya tersebut terjadi karena kata-kata,
keyakinan (rusak), perbuatan, atau karena ia ragu-ragu; yang itu semua terjadi
tanpa adanya paksaan, walaupun itu semua terjadi pada dirinya dan dia dalam
keadaan bercanda; (maka ia menjadi kafir) setelah ia dalam Islam”.
وقال
أيضا في كشاف القناع عن متن الاقناع ج6/178 ما نصه: "وتوبة المرتد إسلامه بأن
يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ... وهذا يثبت به إسلام الكافر
الأصلي فكذا المرتد"اهـ
Dalam kitab Kasy-syaf
al-Qina’ ‘An Matn al-Iqna’, j. 6, h. 178, Syekh al-Buhuti berkata: “Taubat
seorang yang murtad adalah dengan masuk Islam kembali dengan mengucapkan dua
kalimat syahadat (Asyhadu an La Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammad
Rasulullah). Hanya dengan jalan (mengucapkan dua syahadat ini) seorang kafir
asli (yaitu seorang yang sebelumnya tidak pernah menjadi muslim) menjadi tetap
(dianggap benar) keimananya, maka demikian pula hanya dengan jalan ini
(mengucapkan dua kalimat syahadat) seorang murtad menjadi sah Islamnya”.
وقال
الشيخ محمد بن بدر الدين بن بلبان الدمشقي الحنبلي (ت1083هـ) في كتاب مختصر
الافادات في ربع العبادات والآداب وزيادات، ص/514 ما نصه:" فصل في المرتد:
وهو من كَفَرَ ولو مميزا طوعا ولو هازلاً بعد إسلامه "اهـ.
Syekh Muhammad ibn
Badriddin ibn Balibban ad-Damasyqi al-Hanbali (w 1083 H) dalam kitab Mukhtashar
al-Ibadat Fi Rub’i al-‘Ibadat Wa al-Adab Wa Ziyadat, h. 514, berkata: “Pasal;
Tentang hukum seorang murtad. Seorang yang murtad ialah seorang yang menjadi kafir/keluar
dari Islam walaupun ia seorang yang baru berumur mumayyiz; tanpa ada yang
memaksanya, walaupun kejadian kufur tersebut dalam keadaan bercanda; (maka ia
menjadi kafir) setelah ia dalam Islam”.
وقال زين
الدين أبو الفرج عبد الرحمن بن شهاب الدين بن أحمد ابن رجب الحنبلي (ت 795 هـ) في
كتاب جامع العلوم والحكم، ص/148، الحديث السادس عشر: " فأما ما كان من كفر أو
ردة أو قتل نفس أو أخذ مال بغير حق ونحو ذلك فهذا لا يشك مسلم أنهم لم يريدوا أن
الغضبان لا يؤاخذ به " اهـ.
Imam Zainuddin Abu
al-Faraj Abdurrahman ibn Syihabiddin ibn Ahmad ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H),
dalam kitam Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam, h. 148, pada hadits ke 16, berkata:
“...adapun perkara yang terjadi; semacam kufur, riddah/keluar dari Islam,
membunuh, mencuri tanpa hak, dan semacam itu; maka perkara-perkara ini tidak
ada seorang muslim-pun yang meragukan bahwa kejadian itu semua walaupun terjadi
saat seseorang dalam keadaan marah maka tetap saja ia dikenakan hukuman”.
قواعد
مفيدة:
قال
الفقهاء :
أ - من
تلفظ بكلام كفر أو فعل فعلا كفريا أو اعتقد اعتقادا كفريا، وجهل أن ما حصل منه كفر
لا يعذر بل يحكم بكفره، قاله القاضي عياض المالكي والشيخ ابن حجر الهيتمي الشافعي
وكذلك عدد من فقهاء الحنفية
.
Kaedah-Kaedah Yang Sangat
Berfaedah:
Para ulama berkata:
A. Barangsiapa
berkata-kata kufur (sharih/jelas), atau berbuat perbuatan kufur, atau meyakini
keyakinan kufur; walaupun orang ini tidak mengetahui bahwa apa yang terjadi
pada dirinya tersebut sebagai kekufuran maka orang seperti ini tidak dapat
dimaafkan, ia tetap dihukumi telah menjadi kafir. Demikian inilah yang telah
dinyatakan oleh al-Imam al-Qadli ‘Iyadl, Ibn Hajar al-Haitami, dan berbagai
ulama lainnya dari ulama madzhab Hanafi.
ب- اللفظ
الصريح لا يؤول، قال حبيب بن ربيع أحد كبار المالكية:" ادعاء التأويل في لفظ
صراح لا يقبل"اهـ. نقله عنه القاضي عياض في الشفا [ ج2/217 ]. وقال إمام
الحرمين عبد الملك الجويني (ت478 هـ) كما في نهاية المحتاج [ ج7/414 ]: "
اتفق الأصوليون على أن من نطق بكلمة الردة وزعم أنه أضمر تورية كفّر ظاهرا وباطنا
"اهـ وأقرهم على ذلك. يعني إن كانت توريته بعيدة، لأن التورية القريبة تدفع
التكفير عن صاحبها لكون اللفظ غير صريح.
B. Ucapan kufur yang
jelas (sharih) tidak dapat menerima takwil. Salah seorang ulama terkemuka dalam
madzhab Maliki; yaitu Syekh Hubaib ibn Rabi’ berkata: “Mengaku-aku adanya
takwil dalam dalam ucapan yang jelas dan nyata (sharih) maka pengakuannya
tersebut tidak dapat diterima”. (Perkataan Syekh Hubaib ini dikutip oleh
al-Imam al-Qadli ‘Iyadl dalam kitab asy-Syifa Bi Ta’rif Huquq al-musthafa, j.
2, h. 217).
Imam al-Haramain Abd
al-Malik al-Juwaini (w 478 H), --sebagaimana dikutip dalam kitab Nihayah
al-muhtaj, j. 7, h. 414--, berkata: “Para ulama ahli Ushul telah sepakat bahwa
apa bila ada seorang berkata-kata kufur (yang jelas), walaupun ia mengaku bahwa
kata-katanya tersebut mengandung makna lain yang jauh (Tauriyah) maka orang
tersebut dikafirkan secara zahir dan batin”. Para ulama telah sepakat tentang
kekufuran orang yang mengungkapkan kata-kata kufur seperti ini. Dan yang
dimaksud tauriyah yang tidak dianggap dalam hal ini adalah pengakuan makna atau
takwil yang sangat jauh dari makna zahirnya. Adapun tauriyah yang dianggap
dekat maknanya; artinya takwil tersebut masih dalam kandungan makna zahirnya
maka dalam hal ini seorang yang mengungkapkannya tidak dikafirkan; karena
dengan demikian berarti ucapannya tersebut tidak dikategorikan ucapan yang
sharih.
ج- وأما
إن كان اللفظ ليس صريحا وإنما له أكثر من معنى، بعض معانيه كفري وبعضها غير كفر،
لا يحكم على المتلفظ به بالكفر إلا إذا علم أنه أراد بهذا اللفظ المعنى الكفري.
C. Adapun jika kata-kata
yang diucapkannya tersebut adalah kata-kata yang tidak sharih; artinya
kata-kata yang mengandung banyak makna; sebagian maknanya ada yang kufur, dan
sebagian lainnya bukan kufur; maka seorang yang mengucapkan kata-kata semacam
ini tidak boleh dihukumi sebagai orang kafir; kecuali apa bila ia mengungkapkan
kata-kata tersebut dan dia bertujuan dengan kata-katanya itu terhadap makna
kufur, maka ia dihukumi kafir.
توبة
المرتد
وأما
توبة المرتد فهي الإقلاع عن الكفر فورا والنطق بالشهادتين بقول أشهد أن لا إله إلا
الله وأشهد أن محمدا رسول الله، ولا ينفعه قول أستغفر الله قبل الشهادتين، كما نقل
الإجماع على ذلك الإمام المجتهد أبو بكر بن المنذر المتوفى سنة 318 هـ. في كتابه
الإجماع ص/144.
Taubat Orang Murtad
Adapun cara taubat bagi
seorang yang murtad adalah dengan melepaskan kekufuran seketika itu pula dan
dengan mengucapkan dua kalimat syahadat; yaitu dengan mengatakan:
أشهد أن
لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله
Tidak cukup dan tidak
memberikan manfaat baginya jika ia hanya mengucapkan istigfar saja sebelum ia
mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut. Ketetapan ini merupakan ijma’
(konsensus) para ulama sebagaimana telah dikutip oleh Imam Mujtahid terkemuka;
al-Imam Abu Bakr ibn al-Mundzir (w 318 H) dalam kitab karyanya berjudul
al-Ijma’, h. 144.
نصيحة
هذا وقد
عد كثير من الفقهاء كالقاضي عياض المالكي المتوفى سنة 544هـ والفقيه بدر الرشيد
الحنفي المتوفى سنة 768 هـ والفقيه يوسف الأردبيلي الشافعي المتوفى سنة 799 هـ
وغيرهم أشياء كثيرة في بيان الألفاظ المكفرة نقلوها عن الأئمة فينبغي الإطلاع
عليها فإن من لم يعرف الشر يقع فيه.
(Dari Berbagai Sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar