Semua Orang Merasa Paling Disayang
ANGIN bergerak perlahan. Hening. Jam menunjuk pukul 01.00
lebih. Warga Pesantren Salafiyah, Pasuruan, dan sekitarnya lelap tidur nyenyak.
Krosak! Tiba-tiba suara daun terlanggar batu menyeruak
keheningan. Sejurus kemudian terdengar lagi suara itu yang kedua dan ketiga
kali. "Faisal, hari sudah malam. Waktunya tidur," terdengar teguran
halus dari arah belakang pelempar batu itu. Faisal (bukan nama sebenarnya),
santri Salafiyah yang terkenal badung itu tidak menyahut. Ia yakin, itu suara
anak santri lain yang ingin menggodanya, dengan meniru suara Kiai Hamid.
Faisal memungut batu lagi dan melempar pohon mangga di depan
rumah pengasuh pesantrennya itu. "Faisal, hari sudah malam, waktunya
tidur," terdengar suara lembut lagi dari arah belakang anak yang suka melucu
itu. Begitu lembut, selembut semilir angin tengah malam. "Sudahlah, kau
tak usah usil. Aku tahu siapa kau," sergah Faisal sambil melempar lagi.
Lagi-lagi lemparannya luput. Ia semakin tidak sabaran melihat buah mangga yang
ranum itu.
"Faisal, hari sudah malam. Ayo tidur, tidur."
Suara itu masih halus, tanpa emosi. "Kurang ajar," umpat Faisal.
Kesabarannya sudah habis. Ini keterlaluan, pikirnya. Dengan geram, ia
menghampiri arah datangnya suara tersebut. Entah apa yang ingin dilakukannya terhadap
orang yang dianggapnya meniru seperti Kiai Hamid itu. Ia tidak dapat segera
mengenali, siapa santri yang berlagak seperti Kiai Hamid di depan rumah kiai
yang sangat disegani itu. Maklum, semua lampu di teras rumah itu sudah
dipadamkan sejak pukul 21.00. Mendadak mukanya pucat ketika jarak dengan orang
tersebut tinggal 1-2 meter.
Tubuhnya bergetar demi mengetahui orang yang telah
diumpatinya tadi benar benar Kiai Hamid. Faisal pun menunduk segan. "Sudah
malam, ya. Sekarang waktunya tidur," ujar Kiai, Hamid, masih tetap lembut,
namun penuh wibawa. "Inggih (iya)," jawab Faisal pendek, sambil
ngeloyor pergi ke kamarnya. Faisal bukan satu-satunya santri yang suka mencuri
mangga milik kiai.
Cerita seperti itu sudah menjadi semacam model khas
kenakalan santri di pesantren. Faisal juga bukan satu-satunya anak santri
Salafiyah yang merasakan kesabaran Kiai Hamid. Kesabarannya memang diakui tidak
hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam
yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun
kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah
menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.
"Kiai Hamid dulu sangat keras," kata Kiai Hasan
Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang,
Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas
bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara
kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem,
dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu
Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan.
Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai
umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga
ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur.
Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan
KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro'is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki
keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana
saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi
kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada
umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar.
Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari
orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari,
Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid
sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak
tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar.
"Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan
Rasulullah," katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga
NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui
orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara
nyata.
Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi
kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama
di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di
pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia
diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga,
paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di
Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh,
hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas,
Pacitan, Jawa Timur.
Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini
menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu
sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi.
Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama
terkemuka, antara lain KH Ali Ma'shum, mantan Ro'is Am NU.” Menurut Idris,
inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan
Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren
itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat
keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian
Habib Ja'far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.
Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri,
Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak,
satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H.
Nu'man, H. Nasikh dan H. Idris.
Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya
tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di
rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh
sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata
ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat
Kotamadya Pasuruan.
Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan,
Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mau
akur). Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah
mengantar mendung di rumah keluarga muda itu.
Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah,
sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur
lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya
yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan.
Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan
Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai
Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun.
Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan
sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang
mengetanuinya. "Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak
endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak
atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)", katanya suatu kali
mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.
Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik
anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari
ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat
keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang
sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.
Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat
fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain
yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca
al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka
menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain.
Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid
memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti.
Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya.
Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada
istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab
mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali,
"Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu
sendiri," jelasnya.
Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di
Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan
spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu - misainya alat (gramatika
bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk
mencetak perilaku seorang santri yang baik.
Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat
berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi
dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti
oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada
santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di
masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.
Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh
oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak
hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan
Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab
Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya
membaca beberapa baris dari kitab itu.
Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa
lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita.
Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam
Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya 'Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah.
Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia,
konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya.
Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan
mewah.
Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara
berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan
pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah.
"Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya.
Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu," katanya suatu kali kepada
seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu.
Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu.
Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk
mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak
tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan
roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. "O, rupanya dia
suka kulit roti," pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah
yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid
tertawa. "Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin,
itu karena aku bertirakat," ujarnya.
Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh
H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus.
Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya
sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk
tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus
surur (menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan Nabi.
Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu
dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa.
Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun.
Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial
Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana)
mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu'afa yang diwujudkan dalam
bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis - meminjam istilah Abdurrahman
Wahid tentang sifatnya.
Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang
berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap
sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang
"egoistis", dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa
lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam
itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.
Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus
diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan
seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada
tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara
rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan
atau mengkhitan anaknya.
H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal,
bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi
uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari
di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan
lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang
ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri.
Tetapi, ia juga sibuk membaginya kembali kepada handai tolan
dan tetangga terdekat. Menurut H. Misykat, jumlah hadiah - berupa beras dan
sarung - untuk tetangga dekat setiap tahun tergantung yang dipunyainya dari
pemberian orang lain. Tapi yang pasti, jumlahnya tak pernah kurang dari 313
buah. Ini adalah jumlah para pengikut perang Badr (pecah di bulan Ramadhan
antara Nabi dan orang Kafir). Penelusuran lebih jauh akan menyimpulkan,
perhatian terhadap orang lain merupakan ciri dari sikap sosialnya yang kuat.
Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari sikap penuh perhatian
yang tinggi terhadap orang lain. Sehingga, kata H. M. Hadi, bekas santri dan
adik iparnya, "Semua orang merasa paling disayang oleh Kiai Hamid."
Setiap pagi, mulai pukul 03.00, ia suka berjalan kaki berkeliling ke
Mushalla-mushalla hingga sejauh 1-2 km. untuk membangunkan orang-orang -
biasanya anak-anak muda - yang tidur di tempat-tempat ibadah itu. Di
samping itu, beberapa rumah tak luput dari perhatiannya sehingga membuat tuan
rumah tergopoh-gopoh demi mengetahui bahwa orang yang mengetuk pintu menjelang
subuh itu adalah Kiai Hamid yang sangat diseganinya. Sikapnya yang kebapakan
itulah yang membuat semua orang mengenalnya secara dekat merasa kehilangan
ketika ia wafat.
Ia selalu dengan penuh perhatian mendengarkan keluhan dan
masalah orang lain, dan terkadang melalui perlambang-perlambang, memberi
pemecahan terhadapnya. Tak cuma itu. Ia sering memaksa orang untuk bercerita
mengenai yang menjadi masalahnya. "Ceritakan kepada saya apa yang
membuatmu gundah," desaknya kepada H. A. Shobih Ubaid, meski telah
berkali-kali mengatakan tidak ada apa-apa. Dan, akhirnya setelah dibimbing ke
kamar di rumahnya, Shobih dengan menangis menceritakan masalah keluarga yang
selama ini mengganjal di hatinya.
Di saat lain, orang lain terpaksa bercerita bahwa ia masih
kekurangan uang menghadapi perkawinan anaknya, setelah didesak oleh Kiai Hamid.
Kiai Hamid lalu memberinya uang Rp 200.000. Pemberian uang untuk maksud-maksud
baik ini memang sudah bukan rahasia lagi. Selain sering dihajikan orang lain,
sudah puluhan pula orang yang telah naik haji atas biayanya, baik penuh maupun
sebagiannya saja.
Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid yang telah berdiri
atau direnovasi atas prakarsa serta topangan biayanya. Menurut H. Misykat,
kegiatan seperti ini kian menggebu menjelang ia wafat. Ia memprakarsai renovasi
terhadap beberapa mushalla di dekat rumahnya yang selama ini tak pernah
terjamah perbaikan. Untuk itu, di samping mengeluarkan uang dari kantongnya
sendiri, ia memberi wewenang kepada masing-masing panitia untuk mempergunakan
namanya dalam mencari sumbangan.
Kepeloporan, kebapakan dan sikap sosialnya yang dicirikan
dengan komitmen Idkhalus surur dan kepedulian sosial dalam bentuknva yang
sederhana dengan corak religius yang kuat merupakan watak kepemimpinannya.
Tapi, lebih dari itu, kepemimpinan yang tidak menonjolkan diri, dan dalam
banyak hal, bahkan berusaha menyembunyikan diri, ternyata cukup efektif dalam
kasus Kiai Hamid. Kiai Hamid yang suaranya begitu lirih itu tidak pernah
berpidato di depan umum: Tapi di situlah, khususnya untuk masyarakat Pasuruan
dan sebagian besar Jawa Timur yang sudah terlanjur mengaguminya itu, terletak
kekuatan Kiai Hamid.
Konon, kepemimpinan Kiai Hamid sudah mulai tampak selama
menuntut ilmu di Pesantren Termas. Ia sudah berganti nama sebanyak dua kali. Ia
lahir dengan nama Mu'thi, lalu berganti dengan nama Abdul Hamid setelah haji
yang pertama. Kemudian, tanpa sengaja, mertuanya, KH Ahmad Qusyairi,
memanggilnya dengan Hamid saja. "Nama saya memang Hamid saja, Bah
(Ayah)," katanya, seperti tidak ingin mengecewakan mertuanya itu.
Diantara karyanya, antara lain, Nadzam Sulam Taufiq, yaitu
menyairkan kitab terkenal di pondok pesantren, Sulam Taufiq. Sebuah kitab yang
berisi akidah, syari'ah, akhlaq dan tasawuf. Sedangkan Thariqah beliau adalah
Syadziliyah. Menurut beberapa sumber ada yang mengatakan mengambil thariqah
dari KH. Mustaqiem Husein, ada sumber lain menyebutkan dari Syeikh Abdurrazaq
Termas.
dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar