Berbaik Sangka kepada Allah Ta'ala
Disukai bagi si sakit --khususnya bagi yang telah kedatangan tanda-tanda mendekati kematian-- untuk berprasangka baik kepada Allah Ta'ala. Dalam arti, pengharapannya kepada rahmat Allah melebihi perasaan takutnya kepada azab-Nya, selalu mengingat betapa besar kemurahan-Nya, betapa indah pengampunan-Nya, betapa luas rahmat-Nya, betapa sempurna karunia-Nya, dikedepankan-Nya kebaikan dan kebajikan-Nya, membayangkan apa yang dijanjikan-Nya kepada ahli tauhid dan rahmat yang disediakan-Nya untuk mereka pada hari kiamat. Jabir meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:
"Jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu meninggal dunia melainkan dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah Ta'ala."90
Hal ini diperkuat oleh hadits qudsi yang telah disepakati kesahihannya, bahwa Allah berfirman:
"Aku menuruti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku."91
Ibnu Abbas berkata, "Apabila Anda melihat seseorang kedatangan tanda-tanda kematian maka gembirakanlah dia agar dia menghadap kepada Allah dengan berbaik sangka kepada-Nya; dan apabila Anda lihat orang yang hidup --yakni sehat-- maka takut-takutilah dia akan Tuhannya Azza wa Jalla."
Mu'tamir bin Sulaiman berkata, "Ketika akan meninggal dunia, ayah berkata kepadaku, 'Wahai Mu'tamir, bicaralah kepadaku tentang rukhshah-rukhshah (kemurahan-kemurahan), supaya aku menghadap Allah Ta'ala dengan berbaik sangka kepada-Nya."92
Imam Nawawi berkata, "Orang yang sedang menunggu orang yang akan meninggal dunia disukai membangkitkan harapannya kepada rahmat Allah, menganjurkannya untuk berbaik sangka kepada Allah, mengingatkannya dengan ayat-ayat dan hadits-hadits mengenai pengharapan dan ditimbulkan semangatnya. Petunjuk mengenai apa yang saya sebutkan ini banyak terdapat dalam hadits-hadits sahih, diantaranya sejumlah hadits yang saya sebutkan dalam "Kitab al-Jana'iz" dari kitab al-Adzkar. Hal ini juga dilakukan oleh Ibnu Abbas terhadap Umar bin Khattab r.a. ketika menghadapi maut, juga dilakukan Ibnu Abbas terhadap Aisyah, dan dilakukan pula oleh Ibnu Amr bin Ash terhadap ayahnya. Semua ini tersebut dalam hadits dan riwayat yang sahih."93
KETIKA SEKARAT DAN MENDEKATI KEMATIAN
Apabila keadaan si sakit sudah berakhir dan memasuki pintu maut --yakni saat-saat meninggalkan dunia dan menghadapi akhirat, yang diistilahkan dengan ihtidhar (detik-detik kematian/kedatangan tanda-tanda kematian)-- maka seyogianya keluarganya yang tercinta mengajarinya atau menuntunnya mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah (Tidak ada tuhan selain Allah) yang merupakan kalimat tauhid, kalimat ikhlas, dan kalimat takwa, juga merupakan perkataan paling utama yang diucapkan Nabi Muhammad saw. dan nabi-nabi sebelumnya.
Kalimat inilah yang digunakan seorang muslim untuk memasuki kehidupan dunia ketika ia dilahirkan dan diazankan di telinganya (bagi yang berpendapat demikian; Penj.), dan kalimat ini pula yang ia pergunakan untuk mengakhiri kehidupan dunia. Jadi, dia menghadapi atau memasuki kehidupan dengan kalimat tauhid dan meninggalkan kehidupan pun dengan kalimat tauhid.
Ulama-ulama kita mengatakan, "Yang lebih disukai untuk mendekati si sakit ialah famili yang paling sayang kepadanya, paling pandai mengatur, dan paling takwa kepada Tuhannya. Karena tujuannya adalah mengingatkan si sakit kepada Allah Ta'ala, bertobat dari maksiat, keluar dari kezaliman, dan agar berwasiat. Apabila ia melihat si sakit sudah mendekati ajalnya, hendaklah ia membasahi tenggorokannya dengan meneteskan air atau meminuminya dan membasahi kedua bibirnya dengan kapas, karena yang demikian dapat memadamkan kepedihannya dan memudahkannya mengucapkan kalimat syahadat."94
Kemudian dituntunnya mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah mengingat hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abi Sa'id secara marfu':
"Ajarilah orang yang hampir mati diantara kalian dengan kalimat laa illaaha illallah."95
Orang yang hampir mati didalam hadits ini disebut dengan "mayit" (orang mati) karena ia menghadapi kematian yang tidak dapat dihindari.
Jumhur ulama berpendapat bahwa menalkin (mengajari atau menuntun) orang yang hampir mati dengan kalimat laa ilaaha illallah ini hukumnya mandub (sunnah), tetapi ada pula yang berpendapat wajib berdasarkan zhahir perintah. Bahkan sebagian pengikut mazhab Maliki mengatakan telah disepakati wajibnya.96
Hikmah menalkin kalimat syahadat ialah agar akhir ucapan ketika seseorang meninggal dunia adalah kalimat tersebut, mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Hakim serta disahkan olehnya dari Mu'adz secara marfu':
"Barangsiapa yang akhir perkataannya kalimat laa ilaaha illallah, maka ia akan masuk surga."97
Dicukupkannya dengan ucapan laa ilaaha illallah karena pengakuan akan isi kalimat ini berarti pengakuan terhadap yang lain, karena dia mati berdasarkan tauhid yang diajarkan Nabi Muhammad saw., disamping itu agar jangan terlalu banyak ucapan yang diajarkan kepadanya.
Sebagian ulama berpendapat agar menalkinkan dua kalimat syahadat, karena kalimat kedua (Muhammad Rasulullah) mengikuti kalimat pertama. Tetapi yang lebih utama ialah mencukupkannya dengan syahadat tauhid, demi melaksanakan zhahir hadits.
Seyogyanya, dalam menalkinkan kalimat tersebut jangan diperbanyak dan jangan diulang-ulang, juga janganlah berkata kepadanya: "Ucapkanlah laa ilaaha illallah," karena dikhawatirkan ia merasa dibentak sehingga merasa jenuh, lalu ia mengatakan, "Saya tidak mau mengucapkannya," atau bahkan mengucapkan perkataan lain yang tidak layak. Hendaklah kalimat ini diucapkan kepadanya sekiranya ia mau mendengarnya dan memperhatikannya, kemudian mau mengucapkannya .
Atau mengucapkan apa yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu berdzikir kepada Allah dengan mengucapkan: "Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah."
Apabila ia sudah mengucapkan kalimah syahadat satu kali, maka hal itu sudah cukup dan tidak perlu diulang, kecuali jika ia mengucapkan perkataan lain sesudah itu, maka perlu diulang menalkinnya dengan lemah lembut dan dengan cara persuasif (membujuknya agar mau mengucapkannya), karena kelemahlembutan dituntut dalam segala hal terlebih lagi dalam kasus ini. Pengulangan ini bertujuan agar perkataan terakhir yang diucapkannya adalah kalimat laa ilaaha illallah.
Diriwayatkan dari Abdullah bin al-Mubarak bahwa ketika ia kedatangan tanda-tanda kematian (yakni hampir meninggal dunia) ada seorang laki-laki yang menalkinkannya secara berulang-ulang, lantas Abdullah berkata, "Seandainya engkau ucapkan satu kali saja, maka saya tetap atas kalimat itu selama saya tidak berbicara lain."
Dalam hal ini, sebaiknya orang yang menalkinkannya ialah orang yang dipercaya oleh si sakit, bukan orang yang diduga sebagai lawannya (ada rasa permusuhan dengannya) atau orang yang hasad kepadanya, atau ahli waris yang menunggu-nunggu kematiannya.98
Sementara itu, sebagian ulama menyukai dibacakan surat Yasin kepada orang yang hampir mati berdasarkan hadits:
"Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang hampir mati diantara kamu."99
Namun demikian, derajat hadits ini tidak sahih, bahkan tidak mencapai derajat hasan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.
Disamping itu, disukai menghadapkan orang yang hampir mati ke arah kiblat jika memungkinkan --karena kadang-kadang si sakit tengah menjalani perawatan di rumah sakit hingga ia menghadap ke arah yang sesuai dengan posisi ranjang tempat ia tidur.
Yang menjadi dalil bagi hal ini adalah hadits Abu Qatadah yang diriwayatkan oleh Hakim, bahwa ketika Nabi saw. datang di Madinah, beliau bertanya tentang al-Barra' bin Ma'rur, lalu para sahabat menjawab bahwa dia telah wafat, dan dia berpesan agar dihadapkan ke kiblat ketika hampir wafat, lalu Rasulullah saw. bersabda:
"Sesuai dengan fitrah."100
Imam Hakim berkata, "Ini adalah hadits sahih, dan saya tidak mengetahui dalil tentang menghadapkan orang yang hampir mati ke arah kiblat melainkan hadits ini."101
Ada dua macam pendapat dari para ulama mengenai cara menghadapkan orang sakit ke arah kiblat ini:
Pertama, ditelentangkan di atas punggungnya, kedua telapakkakinya ke arah kiblat, dan kepalanya diangkat sedikit agar wajahnya menghadap ke arah kiblat, seperti posisi orang yang dimandikan. Pendapat ini dipilih oleh beberapa imam dari mazhab Syafi'i, dan ini merupakan pendapat dalam mazhab Ahmad.
Kedua, miring ke kanan dengan menghadap kiblat, seperti posisi dalam liang lahad. Ini merupakan pendapat mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik, dan nash Imam Syafi'i dalam al-Buwaithi, dan pendapat yang mu'tamad (valid) dalam mazhab Imam Ahmad.
Sebagian ulama memperbolehkan kedua cara tersebut, mana yang lebih mudah. Sedangkan Imam Nawawi membenarkan pendapat yang kedua, kecuali jika tidak memungkinkan cara itu karena tempatnya yang sempit atau lainnya, maka pada waktu itu boleh dimiringkan ke kiri dengan menghadap kiblat. Jika tidak memungkinkan, maka di atas tengkuknya atau punggungnya.102
Imam Syaukani berkata, "Yang lebih cocok ialah menghadap kiblat dengan miring ke kanan, berdasarkan hadits al-Barra' bin Azib dalam Shahihain:
"Apabila engkau hendak naik ke tempat tidurmu maka berwudhulah seperti wudhumu ketika hendak shalat, kemudian berbaringlah di atas lambungmu sebelah kanan."
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Jika engkau meninggal dunia pada malam harimu itu, maka engkau berada pada fitrah (kesucian)."103
Dari riwayat ini tampak bahwa seyogyanya orang yang hampir meninggal dunia hendaklah dalam posisi seperti itu.
Diriwayatkan juga dalam al-Musnad dari Salma Ummu Walad Abu Rafi' bahwa Fatimah binti Rasulullah saw. radhiyallahu 'anha, ketika akan meninggal dunia beliau menghadap kiblat, kemudian berbantal dengan miring ke kanan.104
APA YANG HARUS DILAKUKAN SETELAH MATI?
Ada beberapa adab syar'iyah yang harus dilakukan secara langsung setelah mati dan sebelum dimandikan yang perlu saya kemukakan disini, karena berkaitan dengan saat ihtidhar (menghadapi kematian). Selain itu, banyak hal yang memerlukan penanganan dokter yang merawatnya, sebab kadang-kadang si sakit meninggal dunia di hadapannya. Apakah yang harus dilakukan saat itu?
Pertama: dipejamkan kedua matanya, mengingat hadits yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa Rasulullah saw. pernah masuk ke tempat Abu Salamah setelah dia meninggal dunia dan matanya dalam keadaan terbuka, lalu beliau memejamkannya seraya bersabda:
"Sesungguhnya ruh apabila dicabut, ia diikuti oleh pandangan."105
Disamping itu, apabila kedua matanya tidak dipejamkan maka akan terbuka dan melotot, sehingga timbul anggapan yang buruk.
Kedua: diikat janggutnya (dagunya) dengan bebat yang lebar yang dapat mengenai seluruh dagunya, dan diikatkan dengan bagian atas kepalanya, supaya mulutnya tidak terbuka.
Ketiga: dilemaskan persendian atau pergelangan-pergelangannya, yaitu dilipat lengannya ke pangkal lengannya, kemudian dijulurkan lagi; dilipat (ditekuk) betisnya ke pahanya, dan pahanya ke perutnya, kemudian dikembalikan lagi; demikian juga jari-jemarinya dilemaskan supaya lebih mudah memandikannya. Sebab beberapa saat setelah menghembuskan napas terakhir badan seseorang masih hangat, sehingga jika sendi-sendinya dilemaskan pada saat itu ia akan menjadi lemas. Tetapi jika tidak segera dilemaskan, tidak mungkin dapat melemaskannya sesudah itu.
Keempat: dilepas pakaiannya, agar badannya tidak cepat rusak dan berubah karena panas, selain kadang-kadang keluar kotoran (najis) yang akan mengotorinya.
Kelima: diselimuti dengan kain yang dapat menutupinya, berdasarkan riwayat Aisyah bahwa Nabi saw. ketika wafat diselimuti dengan selimut yang bergaris-garis.106
Keenam: di atas perutnya ditaruh suatu beban yang sesuai agar tidak mengembung.
Para ulama mengatakan, "Yang melakukan hal-hal ini hendaklah orang yang lebih lemah lembut di antara keluarga dan mahramnya dengan cara yang paling mudah."107
Adapun hal-hal lain setelah itu yang berkenaan dengan pengurusan mayit, seperti memandikan, mengafani, menshalati, dan lainnya tidaklah termasuk dalam kerangka hukum orang sakit, bahkan termasuk dalam kandungan hukum orang mati atau ahkamul-jana'iz. Dengan demikian, perlu pembahasan tersendiri.
Wa billahit taufiq, dan akhir seruan saya adalah bahwa segala puji kepunyaan Allah, Tuhan bagi alam semesta.
90 Muslim dalam "Kitab al-Jannah wa Shifatu Na'imiha," nomor 2877.^
91 Bukhari dalam "at-Tauhid" dan Muslim dalam "adz-Dzikr," nomor 2675.^
92 Syarah as-Sunnah, karya al-Baghawi, juz 5, hlm. 275.^
93 Al-Majmu', karya an-Nawawi, juz 5, hlm. 108-109.^
94 Lihat, al-Mughni maa asy-Syarhil-Kabir, juz 2, hlm. 304; dan al-Mubdi', karya Ibnu Muflih, juz 2, hlm. 216.^
95 Muslim dalam "al-Jana'iz," hadits nomor 916; Abu Daud, hadits nomor 3117; Nasa'i, juz 4, hlm. 5; dan IbnuMajah, nomor 1445.^
96 Dikemukakan oleh al-Qari dalam Syarah al-Misykat 2: 329. Imam Syaukani mengutip perkataan Imam Nawawi mengenai sunnahnya menalkin, kemudian beliau berkata, "Perlu diperhatikan, alasan apa yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib7" Nailul-Authar, juz 4, hlm. 50.^
97 Abu Daud (3117); dan Hakhim (1: 351), beliau berkata, "Sahih isnadnya." Dan disetujui oleh adz-Dzahabi.^
98 Lihat, al-Mughni ma'a asy-Syarhil-Kabir, juz 2, hlm.304; al-Mubdi', karya Ibnu Muflih, juz 2, hlm. 216; danal-Majmu', juz 5, hlm. 114-115.^
99 HR Ahmad, juz 5, hlm. 26; Abu Daud (nomor 312); Ibnu Majah (nomor 1448); Ibnu Hibban (nomor 720); dan Hakim, juz 1, hlm. 565, dari Ma'qil bin Yasar. Hadits ini dinilai cacat oleh Ibnul Qaththan dan dilemahkan oleh Daruquthni, sebagaimana diterangkan dalam Talkhishul-Habir karya al-Hafizh Ibnu Hajar, juz 2, hlm. 104.^
100 HR Hakim dan disahkannya. Pengesahan Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi (1: 353-354), sedangkan al-Hafizh tidak berkomentar dalam at-Talkhish.^
101 Sebagian ulama berdalil dengan hadits Ubaid bin Umair dari ayahnya dari Abu Daud dan Nasa'i mengenai al-Baitul-Haram bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Al-Bairul-Haram itu kiblatmu pada waktu hidup dan pada waktu mati." Tetapi Imam Syaukani mengomentari bahwa yang dimaksud dengan kepada waktu hidup" ialah ketika shalat, dan "pada waktu mati" ialah dalam lahad, sedangkan orang yang hampir mati di sini tidak sedang melakukan shalat, karena itu ia tidak tercakup oleh hadits ini. Maka yang lebih sesuai ialah berdalil dengan hadits Abi Qatadah di atas. (Nailul-Authar, juz 4, hlm. 50).^
102 Al-Majmu', juz 5, hlm. 116- 117.^
103 Muttafaq 'alaih dalam Al-Lu'lu' wal-Marjan, hadits nomor 1734.^
104 Lihat, Nailul-Authar, juz 4, hlm. 50-51, terbitan Darul Jail, Beirut.^
105 HR Muslim dalam "al-Jana'iz," hadits nomor 920.^
106 Ibid., nomor 942.^
107 Fathul-Aziz fi Syarhil-Wajiz, karya ar-Rafi'i yang diterbitkan bersama dengan al-Majmu' (Imam Nawawi), juz 5, hlm. 112-114. ^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar