Syafi’i adalah mazhab fiqihnya, Asy’ary i’tiqad tauhidnya, Junaidi jalan
tasawufnya, Qadariyah tariqatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya,
Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Nafis bin Idris bin Husein, ia lahir sekitar
tahun 1148 H/1735 M., di kota Martapura, sekarang ibukota Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan. Ia dari keluarga bangsawan atau kesultanan Banjar yang
garis silsilah dan keturunannya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545
M.) Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam, yang dahulu bergelar Pangeran
Samudera.
Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husein bin Ratu Kasuma
Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin
Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Musta’in Billah bin Sultan
Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah.
Muhammad Nafis hidup pada periode yang sama dengan Syeikh Muhammad Arsyad
al-Banjari. Dan diperkirakan wafat sekitar tahun 1812 M. dan dimakamkan di
Mahar Kuning, Desa Binturu, sekarang menjadi bagian desa dari Kecamatan Kelua,
Kabupaten Tabalong. Dan sekarang makam tersebut menjadi salah satu objek wisata
relijius di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
Tidak ada catatan tahun yang pasti kapan ia pergi berangkat menuntut itmu ke
tanah suci Makkah. Diperkirakan ia pergi menimba ilmu pengetahuan ke tanah suci
Makkah sejak usia dini dan sangat muda, sesudah mendapat pendidikan dasar-dasar
agama Islam di kota kelahirannya, Martapura. Di kemudian diketahui ia belajar
dan menuntut ilmu agama Islam di kota Makkah, sebagaimana ia tuliskan dalam
catatan pendahuluan pada karya tulisnya “ad-Durrun Nafis” (….. dia yang menulis
risalah ini… yaitu, Muhammad Nafis bin Idris bin al-Husein, yang dilahirkan di
Banjar dan hidup di Makkah).
Juga tidak terdapat informasi dan catatan tentang apakah ia di Makkah dan
Madinah belajar bersama Syaikh Abdussamad al-Falimbani, Muhammad Arsyad
al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya, tetapi besar kemungkinan masa
belajar Muhammad Nafis di Haramain bersamaan dengan masa belajar Syaikh
Abdussamad al-Falimbani,Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang
lainnya.
Kesimpulannya, dengan melihat daftar nama-nama guru Muhammad Nafis al-Banjari
besar kemungkinan mereka belajar bersama pada satu masa atau masa yang Iain.
Sebagaimana kebiasaan para ulama Jawi (Indonesia/Asia Tenggara) abad ke 17 dan
ke 18, ia belajar dan menuntut ilmu pengetahuan keislaman kepada para ulama
yang terkenal di dunia Islam pada masa itu, baik yang menetap maupun yang
sewaktu-waktu berziarah dan mengajar di Haramain, Makkah dan Madinah, dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam, terutama tafsir, hadits, fiqih, tauhid
dan tasawwuf.
Di antara guru-gurunya yang tercatat dalam bidang ilmu tasauf di Haramain
adalah :
- Syeikh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi al-Azhari.
- Syeikh Shiddiq bin Umar Khan.
- Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Samani al-Madani.
- Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Aziz al-Maghribi.
- Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Jawhari.
- Syeikh Yusuf Abu Dzarrah al-Mishri.
- Syeikh Abdullah bin Syeikh Ibrahim al-Mirghani
- Syeikh Abu Fauzi Ibrahim bin Muhammad ar-Ra’is az-Zamzami al-Makki.
Karena kegigihannya dalam mempelajari ilmu tasauf Muhammad Nafis akhirnya
berhasil mencapai gelar “Syeikh al-Mursyid”, yaitu seorang yang memahami,
mengerti, mengamalkan serta mempunyai ilmu yang cukup tentang tasauf, gelar
yang menunjukkan bahwa ia mampu dan diperkenankan serta diberi izin untuk mengajar
tasauf dan tarekatnya kepada orang lain.
Karena seringnya melakukan dakwah ke pedalaman ia hanya sempat mengarang
sedikit kitab. Yang sampai sekarang yang terlacak hanya dua buah kitab saja
yaitu:
Kanzus Sa’adah. Yaitu kitab yang berisi tentang istilah-istilah ilmu tasauf.
Kitab ini belum pernah dicetak masih berupa manuskrip.
Ad-Durrun Nafis. Yaitu kitab yang berisi tentang pengesaan perbuatan, nama,
sifat dan zat Tuhan.
Kitab ad-Durrun Nafis yang pada mulanya dikarang hanya untuk memenuhi permintaan
kawan-kawan, namun pada akhirnya banyak diminati dan tersebar luas ke pelosok
Nusantara bahkan sampai negara-negara di Timur Tengah dan Asia Tenggara.
Menurut seorang yang kasyaf mengatakan bahwa kitab ad-Durrun Nafis berisi
bagian dari ilmu para wali Allah, barangsiapa mempelajarinya, maka ia akan
dicatat oleh para wali sebagai bagian dari mereka. Ini merupakan salah satu
karamah dari penyusunnya yaitu Syeikh Muhammad Nafis.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, seperti kebanyakan ulama Melayu-Indonesia
lainnya, mengikut Madzhab Syafi’i pada bidang fikih dan Asy’ariyyah pada ilmu
tauhid ia juga menggabungkan diri dengan Tarekat Qadiriyyah, Syattariyyah,
Samaniyyah, Naqsyabandyyah dan Khalwatiyyah.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari seperti ulama-ulama sufi lainnya, ia juga
mendapat tantangan dari orang-orang yang tidak sependapat dengan ajaran
tasaufnya. Namun tidak sehebat ta ntangan terhadap Syeikh Hamzah al-Fansuri dan
Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Dalam perkembangan mutakhir golongan sufi dunia
Melayu cukup sering dibicarakan.
Di satu pihak kitab itu dilarang atau diharamkan menggunakannya, di pihak lain
ternyata lebih banyak surau ataupun masjid serta di rumah-rumah orang yang
mengajarkannya. Bahkan KH. Haderanie HN., seorang ulama di Surabaya berusaha
menyalin ke dalam huruf latin kitab tersebut, yang diberi kata sambutan oleh
seorang ulama dan tokoh atau ahli politik Islam Indonesia, KH. Dr. Idham
Chalid. ad-Durr an-Nafis yang disalin ke dalam huruf latin itu diberi judul
Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah (ad-Durrun Nafis). Juga kitab ad-Durrun Nafis
telah disalin secara lengkap ke dalam huruf latin dan diberi catatan kaki serta
diberi indeks untuk kemudahan menelaahnya oleh Tim Sahabat Kandangan. Kitab
ad-Durrun Nafis latin tersebut menjadi bagian dari buku Manakib Syeikh Muhammad
Nafis al-Banjari
Berdasarkan kajian bahasan, kitab Al-Durr al-Nafis tersebut berisikan
ajaran-ajaran tasawuf yang tinggi sehingga dikatakan, “adalah rahasia yang amat
halus dan perkataannyapun amat dalam, tiada mengetahui yang demikian kecuali
ulama yang rasikh/ulama yang tinggi ilmu agama”. Sayangnya naskah asli yang di
tulis tangan sendiri oleh pengarang, sampai sekarang belum ditemukan. Padahal
menurut Laily Mansur pengaruh kitab ini cukup luas di kalangan masyarakat dan
cukup dikenal oleh kaum muslimin di daerah Asia Tenggara yang berbahasa Melayu,
selalu dibaca orang sejak terbitan pertama hingga sekarang, dicetak di Saudi
Arabia, Mesir, Singapura dan Indonesia serta berpengaruh dalam risalah Amal
Ma’rifah karangan Abdurrahman Siddiq Al Banjary tahun 1322 H dan risalah
Kasyful Asrar karang Muhammad Saleh bin Abdullah Mangkabawi tahun 1344 H.
Berdasarkan naskah kitab tersebut oleh Laily Mansur disimpulkan bahwa kitab
tersebut mengandung ajaran-ajaran tasawuf yang berintikan tauhid dalam struktur
yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf yang terkandung di dalamnya
meliputi maqamat, Tuhan, kejadian manusia, hubungan manusia dengan Tuhan yang
kesemuanya mempunyai hubungan diales antara yang satu dengan yang lain hingga bernatijah
bahwa wujud itu hanya satu. Laily Mansur menilai bahwa ajaran tasawuf Muhammad
Nafis dipengaruhi oleh filsafat khususnya filsafat Neo Platonisme.
Kemudian tauhid dalam
ajaran Muhammad Nafis adalah tauhid sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi
dan Abdul Karim Al Jilli, yakni yang ada hanyalah Allah dan selain Dia adalah
tidak ada, kalau selain Dia itu ada maka cara beradanya adalah melalui tajalli
atau kezahiran hingga Dia berada di tiap zarrah ujud, dengan demikian paham
tasawuf yang dikandung dalam kitabnya tersebut adalah paham wahdatul wujud yang
melihat bahwa segala yang ada terdiri dari aspek luar (aradh dan al Khalq) dan
aspek dalam atau batin/jauhar (yakni al haq), paham ini dipelopori oleh Ibnu
Arabi, Abdul Karim Jilli, Jalaluddin Rumi. Pokok pembahasan tentang tauhid
tersebut mencakup tauhid af’al, tauhid asma, tauhid sifat dan tauhid zat.
Berdasarkan gambaran di atas pemikiran tasawuf Muhammad Nafis dapat dimasukan
kepada corak pemikiran tasawuf falsafi yang berpaham Kesatuan Wujud atau
Wahdatul Wujud. Sehingga ada beberapa ulama yang secara keras menyatakan bahwa
ajaran yang terkandung dalam kitab Al-Durr al-Nafis tersebut haram untuk
dipelajari dan dikaji. Bahkan ada pula yang lebih keras menyatakan bahwa barang
siapa yang mempelajari bahkan meyakini isi dan ajaran dalam kitab tersebut maka
ia menjadi kafir, sebab kitab tersebut mengajarkan paham Wahdatul Wujud
sebagaimana difatwakan oleh mufti kerajaan Johor, Sayyid Alwi Thahir Haddad.
Untuk itulah Hawash Abdullah penulis buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan
Tokoh-tokohnya di Nusantara menjelaskan bahwa pada zaman Indonesia dijajah oleh
Belanda, mempelajari kitab ini diharamkan. Sehingga ada ulama yang kemudian
juga menfatwakan bahwa kitab tersebut berisi ajaran yang sesat menyesatkan.
Boleh jadi hal ini merupakan salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda
paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan
mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja sampai kaputing
memerangi penjajah yang dianggap kafir. Hawash Abdullah pada tahun 1972 juga
pernah melakukan pelacakan ke berbagai daerah dan kepada para ulama untuk
mengetahui secara pasti tanggapan mereka terhadap isi kitab tersebut, seperti
di Pontianak Kalimantan Barat.
Sayangnya di antara ulama
yang mengecam kitab tersebut ada yang belum pernah membaca atau mempelajari
kitab Al-Durr al-Nafis, tidak mengetahui secara pasti isi kitabnya dan
bagian-bagian mana saja dari kitab tersebut yang dianggap salah dan menyimpang.
Karena itulah selanjutnya argumentasi kelompok yang mengharamkan dan menganggap
kitab Al-Durr al-Nafis sesat adalah lemah. Sebab kalau kitab Al-Durr al-Nafis
tersebut menyesatkan, mengapa ia dipelajari oleh para ulama di Nusantara sejak
beredarnya tahun 1200 H hingga sekarang, belum seorangpun di kalangan ulama
sufi yang mengatakan bahwa kitab ini tidak berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
Ahmadi Isa berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis yang dikarang oleh Muhammad
Nafis itu berisi ajaran-ajaran Tauhid yang terjalin kelindan dengan tasawuf
yang kadang-kadang sulit dan rumit, kecuali bagi ulama yang luas pengetahuan
agamanya, paling tidak sudah mempunyai dasar-dasar ilmu fiqih, tauhid dan
tasawuf yang memadai. Pokok bahasan dan penjelasan di dalam kitab Al-Durr
al-Nafis nampaknya berangkat dari ilmu tauhid, pengarangnya mendukung aliran
tauhid Sunni Al Asy’ari sambil mengkirtik dan menyanggah aliran Mu’tazilah dan
Jabariyah. Kemudian dia kembangkan tauhid para sufi sambil menolak paham hulul
Al Hallaj dan Ittihad Abu Yazid Al Bustami. Di sisi lain dia menjembatani atau
memadukan ajaran tasawuf sunni dengan tasawuf filosofis, antara lain dia
padukan antara paham wahdatul syuhud dengan paham wahdatul wujud. Hal inilah
yang pada akhirnya mengundang pendapat pro dan kontra terhadap ajaran tasawuf
dalam karya tulisnya Al-Durr al-Nafis tersebut.
Akibat kontroversi, pro dan kontra tersebut setidak-tidaknya menurut
Asmaran.AS. ulama yang menilai ajaran tasawuf kitab Al-Durr al-Nafis terbagi
menjadi tiga kelompok. Pertama kelompok yang memandang bahwa kitab Al-Durr
al-Nafis adalah kitab tasawuf yang tidak boleh diajarkan, karena dianggap
banyak mengandung kesalahan, atau tidak sejalan dengan ajaran tasawuf mazhab
ahlussunnah waljamaah. Kedua kelompok yang melihat bahwa karena kitab Al-Durr
al-Nafis sebagai kitab tasawuf yang mengandung ajaran tinggi, sebagaimana
dikatakan oleh pengarangnya sendiri bahwa hanya ulama yang rasikh (tinggi
pengetahuan agamanya) sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab
tersebut, maka ia tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang.
Karena itulah menurut
kelompok kedua ini hanya orang-orang tertentu atau mereka yang memenuhi syarat
saja yang boleh mempelajari dan membacanya. Kemudian kelompok ketiga
berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis mempunyai kedudukan yang sama dengan
kitab tasawuf pada umumnya. Karena itu sebagai salah satu aspek ajaran Islam ia
tidak boleh dirahasiakan, setiap orang mukmin boleh mempelajari dan membacanya.
Penulis sendiri melihat bahwa adanya kontroversi terhadap isi ajaran tasawuf
yang terkandung dalam kitab tersebut merupakan salah satu kekayaan intelektual
di antara mereka yang berdebat, selama perbedaan dalam memahaminya bersifat
profesional dan proporsonal serta bisa melahirkan gagasan-gagasan baru yang
lebih baik dan sempurna. Karenanya dalam menilai permasalahan mengenai
keberadaan dan paradigma pemikiran tasawuf Syekh Muhammad Nafis ini ada
beberapa hal yang menjadi catatan penulis.
Pertama, naskah asli kitab tersebut sampai sekarang masih belum ditemukan
sebagaimana pernah dilakukan oleh Ilham Masykuri Hamdi (1989) ketika melacaknya
kepada beberapa ulama dan tokoh masyarakat, sehingga naskah yang ada sekarang
diragukan keasliannya sebagai tulisan Muhammad Nafis dilihat dari sebagian
isinya yang bertentangan dengan paham tasawuf Ahlussunnah wal Jamaah
sebagaimana pengakuan Muhammad Nafis bahwa Syafi’i adalah mazhab fiqihnya,
Asy’ary i’tiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan tasawufnya, Qadariyah
tariqatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya
dan Samaniyah minumannya. Terlebih-lebih lagi selama mengkaji ilmu tasawuf dan
tariqat Muhammad Nafis seguru dengan Muhammad Arsyad dan Abdussamad Al
Palimbani. Bahkan umumnya penerbit buku Al-Durr al-Nafis selalu mengingatkan
bahwa mereka tidak pernah secara langsung menemukan naskah asli yang ditulis
oleh Muhammad Nafis sendiri, karenanya tidak mustahil terdapat kekeliruan atau
percampuran terhadap isi kitab tersebut.
Kedua, seandainya paham dan pemikiran tasawuf Muhammad Nafis adalah Wahdatul
Wujud yang mirip dengan tasawuf Hulul Husien Mansur Al Hallaj, konsep tasawuf
Al Fana dan Al Baqa atau Al Ittihad Abu Yazid Al Bustami yang berpendapat bahwa
manusia dapat bersatu dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun, atau
konsep Wahdatul Wujud (unity of existence) Muhyidin Ibnu Arabi yang merupakan
bentuk lain dari paham Ittihad, ataukah pula Manunggaling Kawula Gustinya Syekh
Siti Jenar, mengapa keberadaan Muhammad Nafis atau bukunya Al-Durr al-Nafis
tidak menimbulkan dan memicu terjadinya pergolakan di masanya sebagaimana yang
terjadi dengan Abdul Hamid Abulung, Siti Jenar, atau Hamzah Fansuri? Lebih
daripada itu sebagaimana penjelasan Ahmadi Isa di atas tasawuf yang
dikembangkan oleh Muhammad Nafis tidaklah murni wahdatul wujud, sebagaimana
kesimpulan Laily Mansur, tetapi lebih kepada wahdatul syuhud.
Ketiga, buku tersebut secara luas telah menjadi rujukan masyarakat dalam
memahami ilmu tasawuf ketika itu ––bahkan sekarangpun di beberapa daerah
negara-negara di Asia Tenggara masih dipelajari dan diajarkan secara lisan
serta mengalami beberapa kali cetak ulang oleh beberapa penerbitan yang ada di
Mekkah, Mesir, Basrah, Singapura, Surabaya––, dan mempunyai pengaruh yang
sangat luas terhadap upaya pencerahan pemikiran dan spiritual umat, sehingga
menurut H. Muhammad Djanawi (Ulama dari HSU Amuntai) orang yang sudah
mempelajari ajaran tasawuf dalam kitab ini mereka akan merasa bangga.
Namun walaupun menjadi
rujukan dan berpengaruh luas terhadap masyarakat Islam diberbagai daerah,
terutama di Kalimantan Selatan, namun tidak pernah terbetik adanya berita
terhadap pencekalan isi atau larangan pengajarannya oleh pihak kerajaan Banjar
baik pada masa pemerintahan Sultan Tahmidillah 1778-1808 M, Sultan Sulaiman
1808-1825 M maupun Sultan Adam Al Watsiq Billah 1825-1857 M dan masa-masa
Sultan kerajaan Islam Banjar yang memerintahnya sesudahnya. Kecuali larangan
yang dikeluarkan oleh Belanda, karena ketakutan mereka terhadap bangkitnya
semangat orang-orang bumi putera dalam berjuang, berjihad guna mencapai
kemerdekaannya. Sehingga mereka berkepentingan sekali untuk menghembuskan isu
bahwa mempelajari kitab tasawuf seperti Al-Durr al-Nafis haram hukumnya.
Keempat, boleh jadi pasca peristiwa dihukum bunuhnya Syekh Abdul Hamid Abulung
(Datu Abulung) yang dipancung karena perkataannya yang menyatakan bahwa syariat
yang diajarkan pada masanya adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat, untuk
itu ia menyatakan statement baru bahwa “Tiada yang maujud melainkan hanyalah
Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”, serta eksistensi
dan luasnya pengaruh buku tasawuf Al-Durr al-Nafis karya syekh Muhammad Nafis
ini menjadi salah satu faktor penyebab ditulisnya risalah tasawuf Kanzul
Ma’rifah oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary, yang menurut berita pada
akhirnya dihadiahkan kepada salah seorang sultan Aceh (Idwar Saleh, 1980).
Dari penjelasan di atas kesimpulan yang menarik untuk menjadi bahan renungan
adalah bahwa keberadaan atau sejarah hidup dan perjuangan, karya tulis dan
corak pemikiran, pengaruh dan penyebarluasan ajaran tasawuf dari Syekh Muhammad
Nafis dan kitabnya Al-Durr al-Nafis urgen untuk dikaji dan diteliti kembali
secara lebih mendalam dan komprehensif. Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar