Seorang mukmin tak akan
mengingkari bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir, nabi yang memiliki
kemuliaan dan derajat yang tertinggi, baik di langit maupun di bumi.
Kemuliaannya dinyatakan oleh Allah SWT dengan firman-Nya yang artinya, “Dan
sesungguhnya Engkau (ya Muhammad) benar-benar berada di atas akhlaq yang
agung.” (QS Al-Qalam: 4).
Jika yang kecil menyifati
sesuatu dengan “agung”, yang dewasa belum tentu menganggapnya agung. Tetapi
jika Allah, Yang Mahabesar menyifati sesuatu dengan kata “agung”, tidak dapat
terbayangkan betapa besar keagungannya. Dan sudah tentu, makhluk yang agung
tidak mungkin keluar kecuali dari rahim yang agung pula.
Kemuliaan Nabi Muhammad
SAW mencakup segala hal, termasuk nasabnya (keturunannya). Beliaulah manusia
yang paling baik nasabnya secara mutlak. Nasab beliau berada di puncak kemuliaan.
Musuh-musuh beliau pun memberi pengakuan atas hal tersebut.
Nabi SAW pernah
menjelaskan bahwa nasabnya (keturunannya), yakni ayah, kakek, dan seterusnya,
adalah orang-orang suci dan orang-orang pilihan. Dalam sebuah riwayat
At-Tirmidzi dari Abbas bin Abdul Muthalib, beliau mengatakan, “Aku Muhammad bin
Abdullah bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya Allah telah menciptakan makhluk,
maka Dia telah menjadikan aku dalam sebaik-baik bagian mereka; kemudian Dia
menjadikan mereka dua bagian, maka Dia menjadikan aku dalam sebaik-baik bagian
mereka, kemudian Dia menjadikan mereka beberapa kabilah, maka Dia menjadikan
aku dalam sebaik-baik kabilah mereka; kemudian Dia menjadikan mereka beberapa
keluarga, maka Dia menjadikan aku dalam sebaik-baik keluarga dan sebaik-baik diri
di antara mereka.”
Dalam hadits lain beliau
bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Ismail dari (di antara) anak
Ibrahim, dan Dia telah memilih keturunan Kinanah dari keturunan Ismail, dan Dia
telah memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, dan Dia telah memilih Bani
Hasyim dari keturunan Quraisy, dan Dia telah memilih aku dari Bani Hasyim.”
Dari hadits-hadits di
atas jelaslah, beliau adalah keturunan orang-orang pilihan, dan beliau adalah
keturunan Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim.
Ayah Nabi SAW, yang
bernama Abdullah bin Abdul Muthalib, wafat tatkala Nabi SAW berada dalam
kandungan ibundanya. Sedangkan ibunda Nabi SAW, Aminah Az-Zuhriyah, wafat
tatkala Nabi SAW berusia 6 tahun.
Ayah-bunda Nabi termasuk
penduduk Makkah yang tergolong ahlul fatrah, maksudnya orang-orang yang hidup
di Makkah pada zaman sebelum diutusnya seorang utusan Allah. Dalam kaitan dengan
mereka, adalah sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Karena itu, tidak ada
ancaman siksa sedikit pun bagi kaum yang belum masuk Islam saat itu, karena
ajaran Islam memang belum diturunkan oleh Allah kepada umat manusia.
Selain termasuk ahlul
fatrah, mereka bukan tergolong para penyembah berhala, orang-orang yang suka
berjudi, minum minuman keras, berzina, dan perbuatan hina lainnya. Mereka
berdua hidup sebagai masyarakat yang terhormat dan berperangai baik, apalagi
orangtua mereka, Abdul Muthalib, adalah pembesar utama kota Makkah yang
bertugas menjaga kemashlahatan Ka‘bah dan suku Quraisy.
Ayah-bunda Rasulullah SAW
adalah orang-orang yang selamat dan tidak terpengaruh oleh keyakinan
Jahiliyyah, meskipun keduanya orang-orang yang hidup dalam masa fatrah.
Demikian juga moyang beliau hingga Nabi Adam AS, tidak seorang pun dari mereka
yang tergolong kafir dan musyrik. Sebagaimana ditegaskan dalam kitab Fathul
‘Allam bi Syarhi Mursyidil Anam, karya Sayyid Muhammad Abdullah
Al-Jurdani, bahwa Rasulullah bersabda, “Aku selalu berpindah dari iga-iga yang
suci dan rahim-rahim yang bersih.”
Rasulullah adalah
semulia-mulia makhluk. Beliau selalu berada dalam kemuliaan di sisi Allah
SWT, sedangkan kemuliaan dan kekufuran jelas tidak mungkin berkumpul.
Di dalam kitab tersebut
juga disebutkan sebuah hadits dari ‘Urwah dari Aisyah RA yang menegaskan
bahwa ayah dan bunda Rasulullah SAW dihidupkan kembali oleh Allah, lalu keduanya
beriman kepada ajaran Rasulullah SAW, kemudian keduanya dimatikan kembali
oleh Allah SWT.
Dengan
keterangan-keterangan di atas dan berbagai keterangan lain, kaum muslimin
meyakini bahwa ayah bunda Nabi adalah orang-orang suci, orang-orang pilihan,
orang-orang yang diselamatkan dari kemusyrikan dan kekufuran serta
perilaku-perilaku buruk kaum Jahiliyah. Sehingga, tempat mereka kelak adalah
di dalam surga. Itulah keyakinan kita berdasarkan dalil-dalil dan keterangan-keterangan
yang kuat yang kita dapatkan dari para ulama terpercaya.
Pandangan Lain
Tetapi ada segolongan
kaum muslimin yang punya pandangan lain. Mereka berpendapat bahwa ayah-bunda
Nabi tidak tergolong penghuni surga, melainkan sebaliknya. Mereka mendasarkan
pendapatnya itu pada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah mengatakan
ayahnya berada di neraka, dan hadits lain yang menyatakan bahwa beliau tidak
diizinkan untuk memintakan ampunan buat ibunya.
Hadits yang pertama
adalah hadits riwayat Imam Muslim dari Hammad, bahwasanya seorang laki-laki
bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, di mana keberadaan ayahku?”
Rasulullah menjawab, “Dia
di neraka.”
Maka ketika orang
tersebut hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya seraya berkata, “Sesungguhnya
ayahku dan ayahmu di neraka.”
Sedangkan hadits yang
lainnya menyebutkan, “Aku meminta izin kepada Tuhanku untuk memintakan ampunan
buat ibuku, namun Dia tidak mengizinkan Aku. Aku meminta izin untuk menziarahi
kuburnya, Aku pun diizinkan.” (HR Muslim).
Berdasarkan hadits-hadits
di atas, mereka berani mengatakan bahwa ayah-bunda Nabi SAW bukanlah penghuni
surga sebagaimana keyakinan kita.
Agar tidak membuat
kebimbangan dalam hati kita dan karena ini menyangkut manusia dan makhluk
teragung yang paling kita cintai, marilah kita simak uraian berikut.
Imam Suyuthi menerangkan,
Hammad, perawi hadits di atas, diragukan oleh para ahli hadits, dan hanya diriwayatkan
oleh Muslim. Padahal, banyak riwayat lain yang lebih kuat darinya, seperti
riwayat Ma‘mar dari Anas, Al-Baihaqi dari Sa‘ad bin Abi Waqqash, “Sesungguhnya
seorang a‘rabi berkata kepada Rasulullah SAW, “Di mana ayahku?’
Rasulullah SAW menjawab,
‘Dia di neraka.’
Si a‘rabi pun bertanya
kembali, ‘Di mana ayahmu?’
Rasulullah pun menjawab,
‘Sekiranya kamu melewati kuburan orang kafir, berilah kabar gembira dengan
neraka’.”
Riwayat di atas tanpa
menyebutkan ayah Nabi berada di neraka. Ma‘mar dan Al-Baihaqi disepakati oleh
ahli hadits lebih kuat dari Hammad, sehingga riwayat Ma‘mar dan Al-Baihaqi
harus didahulukan daripada riwayat Hammad.
Seandainya pun hadits
Hammad di atas diterima, menurut para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah ada beberapa
pentakwilan. Antara lain, pertama, saat Nabi SAW menjawab pertanyaan orang itu
adalah sebelum turunnya firman Allah ayat 15 surah Al-Isra’, yang telah disebutkan
di atas. Jadi setelah ayat ini turun, keterangan Nabi SAW kepada si penanya
itu pun dinasakhkan (dihapuskan). Kedua, neraka yang dimaksud oleh Nabi SAW
adalah neraka dingin pemberi jaminan keselamatan (artinya, ya surga), karena
ayah Nabi dan ayah si penanya termasuk ahlul fatrah.
Yang penting juga untuk
kita ingat adalah bukti-bukti yang menunjukkan kesucian orangtua Nabi dan
seterusnya ke atas. Dalam sebuah hadits dikatakan, “Aku (Muhammad saw) selalu
berpindah dari sulbi-sulbi laki-laki yang suci menuju rahim-rahim perempuan
yang suci pula.” Jelas sekali, Rasulullah SAW menyatakan bahwa kakek dan
nenek moyang beliau adalah orang-orang yang suci, bukan orang-orang musyrik,
karena orang-orang musyrik dinyatakan najis dalam Al-Qur’an. Allah SWT
berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
orang-orang yang musyrik itu najis.” (QS At-Tawbah: 28). Nama ayah Nabi pun
Abdullah, cukup membuktikan bahwa beliau beriman kepada Allah, bukan
penyembah berhala.
Pernyataan beliau di atas
berarti bahwa semua sesepuh beliau, mulai dari ayah-bundanya sampai Adam dan
Hawa, tidak ada seorang pun dari mereka yang kafir (mengingkari Allah). Sebab
yang dapat disebut “orang suci” hanyalah orang yang beriman. Sungguh indah beberapa
bait syair yang ditulis oleh sementara ulama:
Kupastikan keimanan
mereka mulai dari Adam
Hingga ayah beliau yang terdekat dan mulia
Para ibu beliau pun seperti merekaDalilnya adalah nash Al-Kitab dan sunnah
Ungkapan beliau perihal kaum Sajidin
Banyak riwayat bersanadkan beliau tentang mereka
Beliau berpindah-pindah dari sajid ke sajid lainnya
Mereka semua manusia-manusia terbaik dalam zamannya
Di atas telah disebutkan
hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Tirmidzi yang mereka shahihkan,
yaitu hadits dari Watsilah bin Asqa’ RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
Allah telah memilih Ismail dari (di antara) anak Ibrahim, dan Dia telah
memilih keturunan Kinanah dari keturunan Ismail, dan Dia telah memilih Quraisy
dari keturunan Kinanah, dan Dia telah memilih Bani Hasyim dari keturunan
Quraisy, dan Dia telah memilih aku dari Bani Hasyim.” Berdasarkan hadits ini,
Ibn Taimiyah mengatakan, “Hadits di atas menunjukkan bahwa Ismail dan turunannya
adalah orang-orang pilihan dari keturunan Ibrahim.”
Imam Al-Baihaqi
meriwayatkan dalam kitabnya, Dalail An-Nubuwwah, dari Anas,
disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku adalah Muhammad bin Abdillah
bin Abdil Mutthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah
bin Ka`ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin
Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma`ad bin `Adnan. Dan
tidaklah terpisah golongan manusia kecuali Allah telah menjadikan aku dalam
yang terbaik dari dua golongan tersebut. Maka aku dilahirkan dari kedua
orangtuaku dan tidak mengenaiku sesuatu pun dari kebejatan Jahiliyah. Dan aku
lahir dari pernikahan dan tidaklah aku lahir dari perzinaan dari mulai Nabi
Adam sampai pada ayah-ibuku. Maka aku adalah yang terbaik dari kalian dari sisi
nasab dan orangtua.”
Masih banyak lagi hadits
lain yang menjelaskan ihwal orangtua-orangtua Nabi SAW bahwa mereka adalah
pilihan Allah SWT. Tidakkah Anda membaca kalimat “Sesungguhnya Allah
memilih”. Apakah Allah akan memilih orang kafir sedangkan di sana ada orang
yang beriman? Apakah Allah memilih penduduk neraka jika di sana ada penduduk
surga?
Yang juga kita yakini dan
disepakati oleh berbagai keterangan, kedua orangtua Nabi termasuk ahlul
fatrah, orang yang hidup di masa fatrah, yakni suatu masa ketika terjadi
kekosongan nubuwwah (kenabian) dan risalah (kerasulan). Semenjak Nabi Isa AS
hingga diutusnya nabi berikutnya, yakni nabi kita SAW, terpaut jarak waktu yang
panjang. Umat manusia hidup tanpa adanya risalah kenabian. Para ulama
mengatakan, manusia yang hidup di masa fatrah ini tidak dimintai pertanggungjawaban.
Mereka mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT yang artinya, “Dan
tidaklah Kami mengadzab (suatu kaum) hingga Kami mengutus seorang rasul.” (QS
Al-Isra’: 15).
Dari ayat itu,
orang-orang yang hidup sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, mereka adalah ahlul fatrah,
yang tidak diadzab atas perbuatannya. Karena sebagai bentuk keadilan Allah
adalah hanya mengadzab suatu kaum setelah jelas risalah datang kepada mereka
namun tidak diindahkan.
Dari ayat itu pula dapat
dipahami bahwa keluarga Nabi SAW sebelum dirinya diangkat menjadi nabi dan
rasul adalah ahlul fatrah, dan karena itu mereka tidak diadzab dan tidak
digolongkan sebagai orang-orang musyrik atau kafir.
Inilah sikap yang adil,
lantaran secara nalar tentu kita tidak bisa menerima bila seseorang dimasukkan
ke dalam neraka padahal tidak ada seorang nabi pun yang mengajarkan agama
kepada mereka. Bagaimana Allah, Yang Mahaadil, sampai tega menghukum orang
yang tidak tahu apa-apa? Pendapat ini dikemukakan oleh banyak ulama, di antaranya
Al-Imam As-Suyuthi.
Berkaitan dengan hadits
tentang ibunda Nabi di atas, kalau kita pahami sekilas memang ada kesan bahwa
ibunda Nabi SAW itu tidak masuk surga. Sebab permintaan Rasulullah SAW untuk
memintakan ampunan atasnya tidak dikabulkan Allah SWT.
Namun kesimpulan itu
ditolak oleh para ulama. Mereka menolak bila hadits itu disimpulkan dengan cara
demikian. Kalau Allah SWT tidak memperkenankan Rasulullah SAW memintakan ampunan
untuk ibundanya, tidak berarti ibundanya bukan mukmin. Sebagaimana ketika
Rasulullah SAW tidak menshalati jenazah yang masih punya utang, sama sekali
tidak menunjukkan bahwa jenazah itu mati dalam keadaan kafir.
Adapun larangan Allah SWT
untuk memintakan ampunan orang kafir adalah semata-mata karena orang itu sudah
diajak masuk Islam namun tetap membangkang dan akhirnya tidak sempat masuk
Islam dan mati dalam keadaan kafir. Sedangkan kedua orangtua Nabi SAW sama
sekali belum pernah membangkang atau mengingkari dakwah. Sebab mereka
ditakdirkan Allah SWT untuk hidup sebelum masa turunnya wahyu.
Ayah-bunda Nabi juga
orang-orang yang suci yang tidak ternodai oleh perbuatan-perbuatan keji
orang-orang Jahiliyah. Dan Nabi SAW dalam berbagai haditsnya menyatakan kebanggaannya
(bukan ketakaburan) terhadap keturunannya sebagaimana disebutkan di atas.
Dalam hadits yang lain beliau bersabda, “Aku adalah nabi yang tidak berdusta.
Aku adalah putra Abdul Muthalib.” (Shahih Al-Bukhari danShahih Muslim).
Mengenai Abdul Muthalib, kenyataannya, ia termasuk ahlul fatrah. Dan tidak
mungkin beliau membanggakan Abdul Muthalib jika ia seorang kafir, sebab hal
itu tidak diperkenankan.
Tampak jelas sekali bahwa
tidak mungkin orangtua Nabi adalah orang-orang kafir atau musyrik. Sedangkan
Nabi SAW telah membanggakan nasab kedua orangtuanya sebagai nasab yang terbaik.
Demikian juga ucapan Nabi SAW kepada Sa‘ad bin Abi Waqqash pada Perang Uhud
ketika beliau melihat seorang kafir membakar seorang muslim, Rasulullah SAW
bersabda kepada Sa‘ad, “Panahlah dia, jaminan keselamatanmu adalah ayah dan
ibuku!”
Maka Sa‘ad berkata dengan
gembira, “Rasulullah SAW mengumpulkan aku dengan nama ayah dan ibunya!” (HR
Al-Bukhari, bab Manaqib Zubair bin Awam, bab Manaqib Sa‘ad bin Abi Waqqash).
Dari Rahim Wanita yang
Suci
Bagaimana mungkin Sa‘ad
berbahagia disatukan dengan orangtua Rasulullah jika keduanya orang-orang
musyrik? Secara logika kita dapat mengatakan, mungkinkah nabi umat Islam,
nabi termulia, lahir dari rahim perempuan musyrik, padahal Nabi Isa AS lahir
dari rahim wanita yang suci? Banyak wanita yang beriman melahirkan anak-anak
yang tidak memiliki keistimewaan, sedangkan Rasululluh keistimewaannya diakui
di dunia, langit maupun bumi. Mungkinkah ia lahir dari perempuan musyrik.
Sungguh tidak mungkin!
Banyak keterangan yang
dapat kita jadikan pegangan demi menguatkan keyakinan kita ini. Nabi SAW
bersabda, “Aku berdoa memohon kepada Tuhanku, agar tidak ada satu pun
keluargaku yang masuk neraka, maka doaku dikabulkan.” (Hadits riwayat Abu
Sa`id Abdul Malik bin Abi Utsman, disebutkan dalam kitab Dzakhairul `Uqba, karya
Al-Hafizh Muhibbuddin Ath-Thabari). Sedangkan yang dimaksud keluarga Nabi SAW
(ahlul bayt), menurut para ulama, adalah para istri Nabi SAW dan ahlul kisa
(Sayidina Ali, Sayidatina Fathimah, Sayidina Hasan, dan Sayidina Husain). Jika
para istri, anak, menantu Nabi SAW dikategorikan sebagai keluarga Nabi SAW,
bagaimana dengan ayah-bunda Nabi SAW? Tentu beliau berdua tergolong keluarga
Nabi, yang dijamin masuk surga.
Mungkin Anda akan
bertanya, jika orangtua-orangtua Nabi, mulai dari ayahnya, kakeknya, dan
seterusnya, semuanya orang-orang pilihan, orang-orang suci, dan orang-orang
yang beriman kepada Allah, bagaimana dengan Azar, yang disebutkan dalam
Al-Qur’an sebagai ayahanda Nabi Ibrahim namun tak mau beriman kepadanya?
“Ayah” Nabi Ibrahim AS yang
disebut dalam Al-Qur’an sesungguhnya adalah paman beliau. Di dalam Al-Quran
terdapat beberapa lafazh ab (ayah) digunakan untuk menyebut amm (paman).
Demikianlah menurut Imam As-Suyuthi yang dikemukakannya dalam
risalah-risalahnya yang terkenal.
Di antaranya Allah SWT
berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya, “Adakah kalian hadir ketika Ya`qub
menjelang ajalnya. Ketika itu ia bertanya kepada anak-anaknya, ‘Apa yang
hendak kalian sembah sepeninggalku?’
Mereka menjawab, ‘Kami
hendak menyembah Tuhan-Mu dan Tuhan ayah-ayahmu (para orangtuamu), Ibrahim,
Ismail, dan Ishaq…” (QS Al-Baqarah: 133).
Yang jelas, Ismail AS
bukan ayah Ya‘qub AS, melainkan pamannya. Di dalam Al-Qur’an juga terdapat
sebuah ayat yang menerangkan, Ibrahim AS dilarang memohonkan ampunan bagi
ayahnya, setelah diketahui bagaimana sikap ayahnya ketika ia mendengar tindakan
Ibrahim AS menghancurkan berhala-berhala. Berkaitan dengan itu Allah berfirman
yang artinya, “Tidak patut bagi seorang nabi dan orang-orang beriman
memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik…” (QS At-Tawbah:
113).
Di kemudian hari setelah
Nabi Ibrahim AS menyelesaikan pembangunan Ka‘bah pada akhir hidupnya, beliau
berdoa yang artinya, “Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orangtuaku.” (QS Ibrahim:
41). Jika larangan istighfar pada ayat tersebut pertama ditujukan kepada ayah
Nabi Ibrahim yang sebenarnya, tentu beliau tetap tidak boleh memohonkan
ampunan lagi setelah dilarang!
Bagaimana dengan riwayat
bahwa Nabi SAW menangis di pusara ibunya dan hadits tersebut dikatakan sebagai
asbabun nuzul dari ayat 113 dari surah At-Tawbah yang artinya, “Tiadalah
sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah
penghuni neraka Jahanam”?
Riwayat itu dinilai dhaif
oleh pakar hadits Adz-Dzahabi, karena dalam renteten perawinya terdapat nama
Ayyub, yang berstatus lemah. Pakar tafsir Dr. Wahbah Az-Zuhail mengomentari
ulama yang menyatakan hadits tersebut sebagai sebab turunnya ayat 113 QS
At-Tawbah, dengan komentar bahwa itu jauh dari fakta, sebab orangtua Rasul
hidup di masa fatrah, sehingga tidak tepat hadits tentang tangisan Nabi SAW di
pusara ibunya sebagai sebab turunnya ayat tersebut (lihat Tafsir Al-Munir,
juz 6, hlm. 64).
Dan banyak lagi hadits
yang senada dengan itu, namun dengan redaksi yang berbeda, seperti yang
diriwayatkan, Ahmad, Muslim, Abu Dawud dari jalur Abu Hurairah.
Hadits tersebut tidak
dapat dijadikan dalil kemusyrikan ibunda Nabi SAW karena alasan-alasan berikut.
Pertama, hadits tersebut
secara manthuq (tekstual) tidak menyebut kekafiran atau kemusyrikan
ibu Nabi secara tegas dan jelas, sehingga suatu tindakan ceroboh kalau dengan
ketidakjelasan manthuq hadits tersebut langsung menyatakan kemusyrikan ibunda
Nabi SAW.
Kedua, hadits-hadits yang
menyatakan bahwa kejadian Rasulullah menangis di kuburan ibunya di kota
Makkah, menurut Ibnu Sa‘ad, adalah salah, sebab makam ibu Nabi bukan di Makkah,
melainkan di Abwa (suatu wilayah yang masih masuk kota Madinah).
Ketiga, hadits-hadits
tersebut, termasuk hadits mengenai ayahanda Nabi sebagaimana disebutkan di
atas, dibatalkan (mansukh) oleh surah Al-Isra’ ayat 15 yang telah disebutkan.
Karena mereka, ayah dan ibunda Nabi SAW, hidup sebelum ada risalah nubuwwah.
Karena itu mereka termasuk ahlul fatrah yang terbebas dari syari’at
Rasulullah SAW.
Keempat, khusus hadits
riwayat Muslim tentang ayahanda Nabi, yang dimaksud “ayahku” dalam hadis
tersebut adalah paman. Karena, di dalam Al-Qur’an, sering kali, ketika ada
kata abun (ayah), yang dimaksud adalah `ammun (paman), jadi
bukan orangtua kandung.
Dan untuk penyebutan
orangtua kandung, biasanya Al-Qur’an menggunakan kata walid, sebagaimana
firman Allah yang artinya, “Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan ibu-bapakku….” (QS
Ibrahim 41).
Kelima, hadits-hadits tersebut
bertentangan dengan nash hadits lain seperti yang disebutkan di atas bahwa
Nabi SAW lahir dari nasab yang suci.
Keenam, dikatakan oleh
Al-Qadhi Abu Bakar Al-A‘rabiy bahwa orang yang mengatakan orangtua Nabi SAW di
neraka, mereka dilaknat oleh Allah SWT, sebagaimana Firman-Nya yang artinya,
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan
melaknat mereka di dunia dan akhirat, dan disiapkan bagi mereka adzab yang
menghinakan.” (QS Al-Ahzab: 57).
Berkata Qadhi Abu Bakar,
“Tidak ada hal yang lebih menyakiti Nabi SAW selain dikatakan bahwa ayahnya
atau orangtuanya berada di neraka.” Demikian dikatakan As-Suyuthi dalam kitab Masalikul
Hunafa’ Fi Hayati Abawayyil Musthafa.
Demikian pendapat ulama
bahwa orangtua Nabi SAW bukan orang-orang musyrik, karena wafat sebelum kebangkitan
risalah dan menjadi ahli fatrah, dan tak ada pula nash yang menjelaskan mereka
sebagai penyembah berhala. Di antara ulama yang berpendapat bahwa orangtua Nabi
bukan musyrik adalah Al-Imam Asy-Syafi‘i dan para ulama besar Syafi‘i dan
madzhab-madzhab lainnya, seperti Al-Hafizh Al-Muhaddits Al- Imam Al-Qurthubi,
Al-Hafizh Al-Imam As-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Muhaddits Al-Imam Jalaluddin
Abdurrahman As-Suyuthi yang mengarang sebuah buku khusus tentang keselamatan
ayah-bunda Nabi SAW, Al-Hafizh Al-Imam Ibn Syahin, Al-Hafizh Al-Imam Abubakar
Al-Baghdadi, Al-Hafizh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Hafizh Al-Imam Ad-Daraquthni,
dan masih banyak lagi yang lainnya.
Syaikh Al-Qhadhi, salah
seorang imam dari Madzhab Malikiyyah, pernah ditanya ihwal bahwa orangtua Nabi
SAW berada di neraka. Maka ia menjawab, “Mal`un (terlaknat orang itu),
karena Allah SWT berfirman yang artinya, ‘Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti
Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknat mereka di dunia dan di akhirat, dan
menyiapkan untuk mereka adzab yang hina’.” (QS Al-Ahzab: 57). Adakah yang lebih
menyakiti hati Rasulullah SAW dari mengatakan bahwa orangtua Rasulullah SAW
berada di neraka?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar