}
MEMANG SEBUAH PERPISAHAN KADANG MELAHIRKAN DUKA DAN KEPILUAN, AKIBAT PROSES KEBERSAMAAN DALAM KEAKRABAN, NAMUN SEMUA INI HARUS KITA TERIMA SEBAGAI AKTIFITAS KEHIDUPAN DALAM KENISCAYAAN, YANG TERPENTING BAGI KITA SEMUA, BAGAIMANA KITA MENEMUI MASA YANG AKAN DATANG DENGAN HAL YANG LEBIH BERMAKNA DAN BERGUNA, KARENA SESUNGGUHNYA KITA BERJALAN DALAM TIGA DIMENSI KEHIDUPAN, MASA LALU SEBAGAI PENGALAMAN DAN KENANGAN, BILAMANA MASA LALU ITU BURAM DAN SURAM, MAKA HENDAKLAH KITA RENOVASI DENGAN KEBAIKAN DAN PERBAIKAN DIRI, MASA SEKARANG SEBAGAI REALITAS DAN KENYATAAN, BILAMANA AKTIVITAS KITA SEKARANG MEMBERI MASLAHAT KEPADA SEKITARNYA, HARUSLAH KITA PERTAHANKLAN DAN TINGKATKAN KUALITAS SERTA KUANTITASNYA. DAN MASA AKAN DATANG SEBAGAI HARAPAN SEKALIGUS TANTANGAN, JANGAN ADA GORESAN DUKA DAN PUTUS ASA DALAM KITA MENGHADAPI DAN MENATAPNYA

Jumat, 18 November 2011

Membaca Sayyidina Ketika Bersholawat Atas Nabi SAW



Menambah lafazh "sayyid" sebelum menyebut nama Nabi adalah hal yang diperbolehkan karena kenyataannya beliau memang Sayyid al 'Alamin ; penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Jika Allah ta'ala dalam al Qur'an menyebut Nabi Yahya dengan :
 سورة آل عمران : () ... وسيدا وحصورا ونبيا من الصالـحين     
Padahal Nabi Muhammad lebih mulia daripada Nabi Yahya. Ini berarti mengatakan sayyid untuk Nabi Muhammad juga boleh, bukankah Rasulullah sendiri pernah mengatakan tentang dirinya :
" أنا سيد ولد ءادم يوم القيامة ولا فخر "  رواه الترمذي
Maknanya : "Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat"  (H.R. at-Turmudzi) 
Jadi boleh mengatakan " اللهم صل على سيدنا محمد " meskipun tidak pernah ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah). Karena menyusun dzikir tertentu; yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur. Sayyidina umar dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Nabi, lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah :

" لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك ، لا شريك لك "
Sayyidina Umar menambahkan :
"لبيك اللهم لبيك وسعديك ، والخير في يديك، والرغباء إليك والعمل"
Ibnu Umar juga menambah lafazh tasyahhud menjadi :

" أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له "
Ibnu Umar berkata : " وأنا زدتها "  ; "Saya yang menambah       وحده لا شريك له ". (H.R. Abu Dawud)

Karena itulah al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al Bari, Juz. II, hlm. 287 ketika menjelaskan hadits Rifa'ah ibn Rafi', Rifa'ah mengatakan : Suatu hari kami sholat berjama'ah di belakang Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, ketika beliau mengangkat kepalanya setelah ruku' beliau membaca : سمع الله لمن حمده , salah seorang makmum mengatakan:  "ربنا ولك الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه " , maka ketika sudah selesai sholat Rasulullah bertanya : "Siapa tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu ?" , Orang yang mengatakan tersebut menjawab: Saya , lalu Rasulullah mengatakan :

" رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها أيهم يكتبها أول"  
Maknanya : "Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya".
al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan : "Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan ; 
  • Bolehnya menyusun dzikir di dalam sholat yang tidak ma'tsur selama tidak menyalahi yang ma'tsur.
  • Boleh mengeraskan suara berdzikir selama tidak mengganggu orang di dekatnya.
  • Dan bahwa orang yang bersin ketika sholat boleh mengucapkan al Hamdulillah tanpa ada kemakruhan di situ". Demikian perkataan Ibnu Hajar.


Jadi boleh mengatakan " اللهم صل على سيدنا محمد "  dalam sholat sekalipun karena tambahan kata sayyidina ini tambahan yang sesuai dengan asal dan tidak bertentangan dengannya.[]

Kamis, 17 November 2011

"Tabarruk" (Mencari Berkah) Itu Bukan Barang Baru, Jangan Sembarangan Mengklaim Syirik!!



Pengertian Tabarruk berasal dari kata al-Barakah. Arti al-Barakah adalah tambahan dan perkembangan dalam kebaikan (az-Ziyadah Wa an-Nama’ Fi al-Khair). Barakah (kebaikan) dalam harta adalah ketika bertambah banyak dan digunakan dalam ketaatan kepada Allah. Barakah dalam keluarga adalah ketika anggotanya berjumlah banyak dan berakhlak mulia. Barakah dalam waktu adalah lamanya masa dan terselesaikan semua urusan dalam masa yang ada. Barakah dalam kesehatan adalah kesempurnaan dalam kesehatan itu sendiri. Barakah dalam umur adalah panjang usia dan banyak beramal baik dalam rentang usia yang panjang tersebut. Barakah dalam ilmu adalah ketika ilmu itu semakin bertambah banyak dan diamalkan serta bermanfaat untuk orang banyak. Dengan demikian barakah itu adalah laksana pundi-pundi kebaikan (Jawami’ al-Khair) dan berlimpahnya nikmat yang diperoleh dari Allah.

Dari penjelasan ini dipahami bahwa makna Tabarruk adalah: “Thalab Ziyadah al-Khair Min Allah”. Artinya, meminta tambahan kebaikan dari Allah.

Di antara sekian banyak hal yang Allah jadikan sebab bagi seseorang untuk memperoleh barakah dari-Nya adalah bertabarruk dengan para Nabi, para wali, dan dengan para ulama yang mengamalkan ilmu-ilmunya (al-‘Ulama al-Amilin), serta dengan orang-orang saleh. Allah berfirman mengenai ucapan nabi Yusuf:

اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا (يوسف

“Pergilah kalian dengan membawa gamisku ini, lalu letakkanlah ke wajah ayahku, maka ia akan dapat melihat kembali”. (QS. Yusuf: 93)

Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa Nabi Ya'qub bertabarruk dengan gamis Nabi yusuf. Nabi Ya’qub mencium dan menyentuhkan gamis tersebut ke matanya, sehingga beliau bisa melihat kembali.

Dalil-Dalil Tabarruk

Para sahabat Rasulullah telah mempraktekkan tabarruk (mencari berkah) dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah, baik di masa hidup Rasulullah maupun setelah beliau meninggal. Dari semenjak itu semua ummat Islam hingga kini masih tetap melakukan tradisi baik yang merupakan ajaran syari’at ini. Kebolehan perkara ini diketahui dari dalil-dalil yang sangat banyak, di antaranya sebagai berikut:

1. Perbuatan Rasulullah yang telah membagi-bagikan potongan rambut dan potongan kuku-kukunya.

A. Rasulullah membagi-bagikan rambutnya, ketika beliau bercukur di saat haji Wada’, haji terakhir yang beliau lakukan. Beliau juga membagi-bagikan potongan kukunya.
Pembagian rambut ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim dari hadits sahabat Anas ibn Malik. Dalam lafazh riwayat Imam Muslim, Anas berkata:

لمَاّ رَمَى صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ الجمرَةَ وَنَحَرَ نُسُكَهُ وَحَلَقَ نَاوَلَ الحَالِقَ شِقَّهُ الأيْمَنَ فَحَلَقَ، ثمَّ دعَا أبَا طَلْحَةَ الأنْصَارِيَّ فأعْطاهُ ثمّ نَاوَلَهُ الشِّقَ الأيْسَرَ فقَال "احْلِق"، فحَلَق، فأعْطَاهُ أبَا طَلحَةَ فقَال: اقْسِمْهُ بَيْنَ النّاس. وَفِي روَاية: فَبَدَأ بالشِّق الأيْمَنِ فَوَزَّعهُ الشّعْرَةَ وَالشّعْرَتَين بَيْنَ النّاس ثمّ قاَل: بالأيْسَر، فَصَنَعَ مثلَ ذَلكَ ثمّ قَال: ههُنَا أبُو طَلحَة، فَدَفَعهُ إلَى أبيْ طَلحَة. وَفي روَاية أنّه عَليهِ الصّلاَةُ وَالسّلامُ قَالَ للحَلاّق: هَا، وأشَارَ بيَدهِ إلَى الجَانِب الأيْمَن فَقَسَمَ شَعْرَهُ بَيْنَ مَنْ يَليْهِ، ثمّ أشَارَ إلَى الحَلاّق إلَى الجَانِبِ الأيْسَر فَحَلقَهُ فَأعْطَاهُ أمَّ سُلَيم (رَواهُ مُسْلم)

“Setelah selesai melempar Jumrah dan memotong kurbannya, Rasulullah kemudian bercukur. Beliau mengulurkan bagian kanan rambutnya kepada tukang cukur untuk memotongnya. Kemudian Rasulullah memanggil Abu Thalhah al-Anshari dan memberikan kepadanya potongan rambut tersebut. Lalu Rasulullah mengulurkan bagian kiri rambutnya kepada tukang cukur tersebut, sambil berkata: “Potonglah..!”. Lalu potongan rambut tersebut diberikan kembali kepada Abu Thalhah, seraya berkata: “Bagikanlah di antara manusia”.

Dalam riwayat lain, -disebutkan-: “Maka mulai -dipotong rambut- dari bagian kanan kepala Rasulullah dan beliau membagikan sehelai, dua helai rambut di antara manusia. Kemudian dari bagian kiri, juga dibagi-bagikan. Rasulullah berkata kepada Abu Thalhah: “Abu Thalhah kemarilah...!”, kemudian Rasulullah memberikan Potongan rambutnya kepadanya.

Dalam riwayat, -sebagai berikut-: “Rasulullah berkata kepada tukang cukur: “(Cukurlah) Bagian sini...!”, sambil beliau memberi isyarat ke bagian kanannya. Kemudian Rasulullah membagikannya kepada orang-orang yang berada di dekatnya. Lalu memberi isyarat kembali kepada tukang cukur ke bagian kirinya, setelah dicukur kemudian potongannya diberikan kepada Umu Sulaim”. (HR. Muslim)

Dalam hadits-hadits ini kita melihat bahwa Rasulullah sendiri yang membagi-bagikan sebagian rambutnya di antara orang-orang yang ada di dekatnya, sebagian lainnya diberikan kepada Abu Thalhah untuk dibagikan kepada semua orang, dan sebagian lainnya beliau berikan kepada Ummu Sulaim.