}
MEMANG SEBUAH PERPISAHAN KADANG MELAHIRKAN DUKA DAN KEPILUAN, AKIBAT PROSES KEBERSAMAAN DALAM KEAKRABAN, NAMUN SEMUA INI HARUS KITA TERIMA SEBAGAI AKTIFITAS KEHIDUPAN DALAM KENISCAYAAN, YANG TERPENTING BAGI KITA SEMUA, BAGAIMANA KITA MENEMUI MASA YANG AKAN DATANG DENGAN HAL YANG LEBIH BERMAKNA DAN BERGUNA, KARENA SESUNGGUHNYA KITA BERJALAN DALAM TIGA DIMENSI KEHIDUPAN, MASA LALU SEBAGAI PENGALAMAN DAN KENANGAN, BILAMANA MASA LALU ITU BURAM DAN SURAM, MAKA HENDAKLAH KITA RENOVASI DENGAN KEBAIKAN DAN PERBAIKAN DIRI, MASA SEKARANG SEBAGAI REALITAS DAN KENYATAAN, BILAMANA AKTIVITAS KITA SEKARANG MEMBERI MASLAHAT KEPADA SEKITARNYA, HARUSLAH KITA PERTAHANKLAN DAN TINGKATKAN KUALITAS SERTA KUANTITASNYA. DAN MASA AKAN DATANG SEBAGAI HARAPAN SEKALIGUS TANTANGAN, JANGAN ADA GORESAN DUKA DAN PUTUS ASA DALAM KITA MENGHADAPI DAN MENATAPNYA

Kamis, 02 Februari 2012

Mengenang Ayahanda Guru Dalam Bingkai Photo'S






































ULAMA diciptakan untuk waktu dan tempat yang tepat. Begitulah ungkapan yang kerap muncul untuk mendefinisikan peran ulama di Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Di Bumi Barakat ini, ulama memegang posisi penting untuk membina dan menuntun umatnya. Deretan nama ulama besar menghiasi lembaran sejarah sesuai situasi dan waktu yang berkembang.

Sebagai gudangnya aulia, tradisi keulamaan di Martapura tetap lestari kendati berpacu dengan maraknya era globalisasi. Ia seakan tidak lapuk oleh hujan dan tak lekang lantaran panas. Kebesaran sang ulama terkenal karena kealiman, kezuhudan, kewibawaan dan ketokohannya dalam bidang dakwah dan syiar Islam.

Sebutlah nama Maulana Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari, yang makamnya di Desa Kelampayan, Kecamatan Astambul, diziarahi ribuan orang setiap hari. Ada pula nama KH Muhammad Samman Mulia (Guru Padang), KH Muhammad Syarwani Abdan (Guru Bangil), KH Abdurrahman Siddiq (Indragiri, Tembilahan, Riau), KH Kasyful Anwar Ismail, KH Anang Sya’rani Arif, Tuan Guru KH Zainal Ilmi, KH Muhammad Husin Qodri, KH Asnawi Syihabuddin, KH Muhammad Salman Jalil, KH Badruddin, KH Muhammad Ramli, KH Muhdar, KH Muhammad Rosyad, dan seterusnya yang walau sudah almarhum tapi namanya tetap harum dan melegenda. Ini belum lagi deretan tokoh ulama besar sejak dulu, yang turut menghiasi dokumen historis Martapura.

Kini, fenomena dan keberadaan ulama berbeda relatif jauh dari kehidupan ulama tempo dulu. Demikian pula karakteristik masyarakatnya yang terus mengalami pergeseran sepanjang waktu. Cuma satu yang mungkin tidak banyak berubah, ketaatan dan kecintaan mereka pada para aulia. Apalagi, jika ulama itu sudah menjadi idola di masyarakat.

Dalam kondisi kekinian, citra Martapura masyhur hingga menembus batas regional dengan sosok sang legenda: KH Muhammad Zaini AbdulGhani. Ulama yang populer disapa Guru Sekumpul itu bisa diibaratkan sebagai maestro Bumi Serambi Mekkah Martapura. Setiap digelar pengajian di Kompleks Ar Raudhah, Sekumpul, ribuan jamaah hadir dari pelbagai pelosok.

Beliau dikenal sebagai tokoh yang kerap dikunjungi pejabat dan orang penting negeri ini. Bila ada pejabat tinggi di Kalimantan, wabilkhusus Kalsel, yang baru terpilih atau dilantik, hampir dipastikan akan bersilaturrahim ke Sekumpul. Mulai dari komandan kodim (dandim), kapolres, bupati, gubernur, komandan korem (danrem), panglima daerah militer (pangdam), hingga presiden dan wakil presiden, datang ke Martapura hanya untuk bertemu Guru Sekumpul.

Secara geografis, Sekumpul berlokasi di Kelurahan Jawa, Kecamatan Martapura. (sekarang Sekumpul menjadi kelurahan tersendiri) Dari pertigaan Jalan Ahmad Yani Km 38 samping Masjid Syi’aarush Shaalihiin, masuk sekitar 800 meter, lantas belok kanan, di sanalah Mushalla Ar Raudhah berdiri megah.

Berbentuk kotak-kotak paduan semen dan keramik kombinasi hitam, putih, hijau dan biru, menjadikan kubah serta menara mushalla ini sebagai model bangunan pertama di Kalsel. Sepintas, menara dan kubah mushalla mirip masjid terbesar di Jawa Timur, Masjid Agung Al Akbar, Surabaya.
Di samping mushalla, terdapat kediaman Guru Sekumpul yang diapit dua rumah berarsitektur sejenis yang ditempati ibu, saudara dan keponakan. Belakangan, rumah di samping kiri Guru direnovasi total.

Pada Agustus 2004, rampunglah rumah megah berlantai dua bergaya Spanyol dengan aksen Mediterania. Sungguh membuat kagum dan nyaman mata memandang. Rumah itu kini menjadi kediaman dua putera Guru, Muhammad Amin Badali dan Ahmad Hafi Badali.

Angka 17 menjadi hitungan tersendiri dalam Kompleks Ar Raudhah atau biasa disebut dalam regol. Di samping mushalla berderet tujuh rumah dan di seberangnya juga tujuh unit rumah. Ditambah rumah Guru Sekumpul dan dua yang mengapit, jumlahnya klop dengan angka keramat: 17. Menariknya, rumah itu memiliki ciri khas yang relatif tidak berubah sampai detik ini; beratap genteng hijau tua dan teras ukuran persegi panjang dengan atap cor beton bercat putih. 

Di sekeliling kompleks mushalla, nyaris tidak ada lahan kosong. Ratusan rumah menyemut hingga menjadikan Kompleks Sekumpul perkampungan perkotaan yang elit, mewah namun memancarkan kedamaian.
Ini sangat berbeda jauh dengan kondisi pada tahun 1980-an. Kawasan itu ibarat hutan belantara yang penuh semak belukar pohon karamunting. Hanya satu-dua rumah yang tampak. Barangkali tidak seorang pun menyangka kondisi itu berubah 180 derajat.

Sekitar tahun 1987, di sekitar kawasan tersebut, hanya ada satu-dua rumah yang berdiri. Sedang sisanya cuma hutan belantara dan lahan melompong bertebaran tanah merah. “Tak lama lagi, di sana akan dibangun kompleks Guru Izai,” kata H Muhammad Jazuli Halidi, warga setempat, kala itu sambil menunjuk hamparan lahan kosong.

Pada dekade 1980-an, pengajian masih digelar di Mushalla Darul Aman, Jalan Sasaran, Kelurahan Keraton, Martapura. Baru pada awal 1989, pengajian pindah ke lokasi baru sekaligus menandai era baru dunia syiar Islam di Martapura.

Perubahan terjadi dalam penyebutan kawasan itu. Semula, sekitar hutan karamunting masyhur dengan sebutan Sungai Kacang. Ketika pengajian hijrah, KH Muhammad Zaini Abdul Ghani mempopulerkan nama baru: Sekumpul.

Memang, sejak pertengahan 1970-an, kawasan itu sebagian ada yang menamakan Sekumpul. Namun, panggilan tersebut tidak populer dan banyak orang yang justru tidak kenal serta masih menyebutnya Sungai Kacang. Lebih dari itu, hingga 1980-an, di ujung jalan yang bermuara di Jalan A Yani, terpampang plang nama Jalan Sungai Kacang. Ketika Guru pindah, terminologi Sekumpul mulai dikenal orang. 

Perubahan nama juga menjadi awal dari pergantian sapaan akrab ulama kelahiran 11 Februari 1942/27 Muharram1361 H ini. Di tempat lama, panggilan sang kiai cenderung beragam. Ada yang menyapa Guru Zaini, Guru Izai, hingga Guru Keraton. Ketika hijrah ke Sungai Kacang itulah dia populer dengan nama baru: Guru Sekumpul.

Cuma, tak semua warga memberi sapaan senada. Ada yang masih memanggil dengan sebutan lama. Tapi, bagi sebagian warga Martapura, terutama warga asli, sapaan Guru Izai terasa agak “kasar”. Karenanya, mereka relatif memakai sapaan Guru Sekumpul atau Abah Guru. Konon, tinggallah kini warga bukan asli Martapura yang masih menggunakan sapaan semisal Guru Izai.

Penyebutan nama Guru Sekumpul ikut menghiasi pemberitaan koran lokal. Sebelumnya, jika tema Sekumpul dimuat di koran, nama yang ditulis pasti Guru Izai atau Guru Zaini. Tapi, sejak akhir 1999, ketika memuat berita di Kalimantan Post, saya selalu menulis sebutan Guru Sekumpul. 

Alhasil, sejak saat itu setiap pemberitaan di Kalimantan Post, selalu ditulis sebutan Guru Sekumpul. Tidak lagi Guru Zaini apalagi Guru Izai. Koran lain pun sebagian besar mulai menulis sapaan itu. Ini semua demi penghormatan, meski Guru sendiri tidak mempersoalkan. Setidaknya, Kalimantan Post ikut andil mempopulerkan penulisan nama baru tadi dan berupaya menyamakan penyeragaman sebutan untuk pemberitaan media massa lokal lainnya.

Perkembangan kawasan Sekumpul juga diiringi meroketnya harga tanah. Dahulu, harga per meter persegi hanya berkisar puluhan ribu rupiah. Tapi sekarang, puluhan juta per meter, itu pun lahannya nyaris tidak ada lagi. Harga tertinggi dipegang lahan sekitar Kompleks Ar Raudhah, dekat kediaman Guru. Banyak orang kaya mendadak dari bisnis jual beli tanah di sekitar Sekumpul.

Lahan kosong yang semula untuk tempat parkir di sekitar Kompleks, banyak yang berganti hutan beton. Kalau terus dibiarkan dan ditata seadanya, tidak mustahil rimbunnya hutan karamunting hanya tinggal kenangan. Rimbunnya belantara beton setidaknya turut menguatkan argumen bahwa Sekumpul mencatat inflasi tertinggi di Kabupaten Banjar.

Populernya nama Sekumpul membawa berkah pula bagi pencari merek dagang. Tak heran banyak warung, toko, restoran atau kedai kaki lima bernama Sekumpul. Bahkan, PT Mandrapurna Aditama, menjadikan Sekumpul sebagai merek dagang untuk produk air mineral dalam kemasan. Konon, kejayaan air merek Sekumpul berhasil mengalahkan pesaingnya, semisal Aqua, Club ataupun Prof, setidaknya untuk kawasan Martapura dan sekitarnya.

Banyak pula yang salah kira dan menganggap air mineral tadi sebagai air “berkah” dari Sekumpul. Padahal, ia cuma sekadar merek dagang yang menggandol kemasyhuran Sekumpul. Tapi, produsen air ini tak cuma ikut nebeng. Sang pemilik, H. Ismail, warga Madura pindahan dari Kalimantan Tengah, kerap membagikan air dalam bentuk botol atau gelas plastik secara gratis kepada ribuan jamaah dalam acara khusus, semisal haulan. Hubungan saling menguntungkan berlaku untuk bisnis ini.

Soal air mineral bisa menjadi cerita tersendiri jika dikaitkan fenomena kecintaan jamaah terhadap Guru. Pada pengajian atau kegiatan peribadatan semisal pembacaan Maulid Al Habsyi, Dalaailul Khairaat dan Shalawat Burdah, banyak jamaah membawa air putih dalam botol dan membuka tutupnya. Konon, ini dipercaya sebagai sarana untuk “mentransfer” berkah. Benarkah? Ini kembali kepada keyakinan masing-masing. Tidak ada paksaan untuk semua itu.

Maka, berderetlah botol-botol air di sekitar pagar, tembok atau kusen jendela mushalla ketika acara berlangsung. Meski bertumpuk, belum terdengar ada yang airnya tertukar ketika mau diambil. Sebagian lagi banyak yang meletakkan botol di dekat sajadah masing-masing. Setidaknya ini untuk minta berkah sekaligus bisa diminum jika haus. Tapi, justru karena cara ini, tidak sedikit yang airnya malah habis seiring berakhirnya peribadatan. Padahal, banyak jamaah yang percaya air itu berkhasiat dan karenanya perlu dibawa pulang.

Keunikan lain Sekumpul adalah faktor karisma sang ulama. Satu yang perlu dicatat adalah soal foto Guru. Cobalah Anda lihat, mayoritas rumah di Martapura memajang foto Guru dalam berbagai pose dan beraneka ukuran. Tak cuma di rumah, potret itu menempel di dinding kantor, masjid, mushalla, sekolah, toko, warung dan restoran. Jika di tempat lain lumrah dipajang foto presiden dan wakil presiden, di sini figur ulama yang lebih diidolakan.

Ukuran foto akan lebih diperbesar atau malah diletakkan di ruang tamu rumah (orang Banjar menyebutnya tawing halat) jika foto menampilkan Guru bersama si empunya. Ada cerita menarik, seorang tetangga memajang foto dirinya bersama Guru. Tapi lihatlah foto itu: si empunya tampak berdesakan mendekat Guru dan kamera menangkap pemandangan demikian. Meski tidak berpotret bersama secara khusus, toh dia bangga luar biasa dengan memamerkan fotonya.

Cerita lain, seorang bapak di kawasan Jalan Menteri Empat, Martapura, menggunting foto dirinya lalu ditempelkan di samping foto Guru. Setelah direkayasa sana-sini, dipajanglah foto itu seolah-olah yang bersangkutan duduk di sisi Guru. Ada-ada saja.

Fenomena memajang foto tidak hanya di Martapura dan kota tetangga, tapi menembus batas daerah. Di luar Kalsel seperti Balikpapan, Samarinda, Tenggarong, Palangka Raya, bahkan luar Kalimantan, banyak rumah dihiasi foto sang ulama. 

Sebuah rumah mewah berlantai dua di Jalan Pisang Kipas Nomor 3, kawasan Jalan Soekarno Hatta, Malang, Jawa Timur, memajang foto Guru di ruang tamu dan ruang tengah. Lantas, rumah toko Wisma Banjar (yang jadi warung dan penginapan), Jalan Nyamplungan, Surabaya, juga menempelkan foto Guru ukuran besar. Hal ini menjadi pertanda si pemilik rumah adalah warga asal Kalsel.

Soal isyarat tentang foto ini pernah saya alami. September 2002, saya nyaris tersesat mencari famili di Samarinda. Alamat sudah ketemu, tapi lokasinya tidak tahu pasti dan sarana telekomunikasi belum ada. Sambil berjalan saya mencuri pandang ke dalam rumah yang dilewati. Pada sebuah bangunan, tampak foto Guru Sekumpul terpampang di dalamnya. Inilah rumah yang dicari, dan ternyata benar. Foto Guru rupanya sudah menjadi identitas dan ciri khas.

Kalaulah kemudian ada warga Martapura yang rumahnya tidak memampangkan foto sang kiai, juga tidak apa-apa. Yang menarik, pernah ada pendapat lumayan ekstrem. Katanya, bila ada rumah yang tidak punya foto Guru Sekumpul, pemiliknya pasti bukan murid Guru dan tidak beraliran ahlussunnah waljama’ah. Mereka ini juga dianggap orang “modern” dan bukan termasuk “kaum tua” (istilah lain untuk komunitas Nahdlatul ulama) Benarkah? Wallaahu A’lam.

Pendapat ini setidaknya ada benarnya. Dalam sebuah kitab diceritakan, kecintaan murid direfleksikan dengan memandang wajah atau diasumsikan foto gurunya. Ia bisa menjadi sugesti agar si murid bisa seperti sang aulia. Argumen ini bisa diterima jika kita melihat tradisi masyarakat di luar Kalsel. Banyak rumah di pulau Jawa memajang foto atau lukisan ulama semacam Wali Songo atawa KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym).

Karena itu, sangatlah tidak relevan jika soal memajang foto ulama menjadi polemik. Biarkan orang pada keyakinannya. Mengapa ketika foto kiai dipajang justru ribut, tapi foto artis dipajang besar-besar malah diam saja.
Ikhwal pajang-memajang foto Guru juga dilakukan warga luar daerah. 

Sebagai contoh, artis Chrisye memajang fotonya bersama Guru Sekumpul di atas lemari kecil dekat ruang tamu. Ketika penyanyi yang jadi anak angkat Guru ini diwawancarai wartawan Cek dan Ricek, kamera sempat menyorot foto tersebut. Dari layar RCTI terlihat Chrisye sedang wawancara berlatar belakang potretnya bersama Guru.

Ketua Umum PBNU, KH Ahmad Hasyim Muzadi juga segendang-sepenarian. Pada Mei 2004, rumahnya di Jakarta didatangi Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung bersama pengurus teras partai beringin lainnya untuk meminta kesediaan Hasyim menjadi calon wakil presiden dari Golkar. 

Kunjungan itu mendapat liputan luas dan disorot puluhan kamera wartawan. Di atas bufet dalam ruang tamu, tepat di belakang sofa Hasyim, terpampang foto dirinya bersama Guru dalam figura berpenyangga. Tak pelak, kamera secara tersirat menyorot foto tersebut ketika meng-close up Hasyim. Pemandangan ini disaksikan terang-benderang oleh jutaan mata pemirsa di Tanah Air.

Jamaah yang datang ke Sekumpul memang ribuan, dengan beraneka ragam jabatan, profesi dan strata sosial. Menurut sejumlah wartawan yang sudah berkeliling Indonesia, pengajian Sekumpul merupakan majelis taklim terbesar di Indonesia dalam jumlah jamaah yang hadir.

Pada Ahad pagi, 25 Juli 2004 saya bertandang ke Majelis Taklim Habib Abdurrahman Al Habsyi di Kwitang, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Konon, inilah majelis taklim terbesar di Jakarta. Ternyata, meski berdesakan, jumlah umat yang hadir biasa saja. Apalagi, kala itu jamaah wanita dan pria bercampur-aduk. Menariknya, persis di depan mimbar pengajian yang merupakan halaman Masjid Ar Riyadh, terdapat kantor DPW Partai Amanat Nasional DKI Jakarta.

Sekarang, lihatlah di Sekumpul. Ribuan umat menyemut tiap digelar pengajian. Rumah-rumah di sekitar Kompleks Sekumpul dibuka untuk menampung jamaah yang tidak kebagian tempat. Bandingkan di tempat lain; rumah di sekitar majelis banyak yang ditutup rapat dan pemiliknya seolah tidak terlalu peduli.

Ribuan jamaah dari pelbagai penjuru membanjiri Sekumpul jika diadakan acara semacam haul Syekh Samman Al Madani atau malam peribadatan Nishfu Sya’ban. Untuk acara terakhir ini, Sekumpul merupakan titik berkumpulnya ratusan ribu jamaah. Tidak sedikit yang sengaja menginap di rumah-rumah di sekitar Sekumpul agar dapat tempat. Saking penuh sesaknya jamaah yang hadir pada tiap 15 Sya’ban itu, lahan kosong di dekat kolong rumah dijadikan tempat shalat.

Popularitas Sekumpul bergaung hingga ke delapan penjuru mata angin. Para ulama, kiai, dan habib dari pulau Jawa serta habib dari Hadramaut, Yaman, banyak yang bertandang. Sebuah tempat lumayan mewah disiapkan untuk menampung tamu tertentu. Bangunan bertingkat itu terletak di samping Mushalla Ar Raudhah, dan di bawahnya merupakan tempat wudhu.
Tidak sedikit warga luar Kalimantan mengira Sekumpul adalah sebuah pesantren. Seorang warga Pasuruan, Jawa Timur, sempat kaget ketika diberitahu bahwa Sekumpul adalah majelis taklim. Kata dia, warga di tempatnya mengira Kiai Zaini (demikian ia menyebut) adalah pemimpin pesantren, seperti yang lumrah di Jawa.

Sejumlah warga Jogjakarta juga heran majelis taklim Sekumpul dihadiri ribuan orang. Kata dia, di Jawa acara keagamaan kerap dihadiri ribuan umat, tapi itu kegiatan insidental macam doa bersama atau istigotsah. Sedang di Sekumpul, ribuan jamaah rutin datang untuk mengaji dan beribadah, tanpa tahu istilah istigotsah dan lainnya.

Perkiraan bahwa Sekumpul adalah pesantren barangkali sudah berkurang dengan kerap terangkatnya majelis taklim ini lewat publikasi media massa. Sejumlah media nasional beberapa kali menyiarkan tentang Sekumpul, terutama ketika mereka meliput pejabat setingkat presiden atau wapres yang bertandang ke Sekumpul.

Sekadar mengingatkan, wartawan RCTI yang tewas ditembak GAM di Aceh, Sori Ersa Siregar, adalah jurnalis televisi pertama yang meliput dan menyiarkan tentang ribuan jamaah pengajian Sekumpul. Bersama seorang kameramen, suatu malam di tahun 1995, ia berada di Sekumpul meliput suasana majelis taklim. “Ersa Siregar, RCTI, melaporkan dari Sekumpul, Martapura, Kalimantan Selatan,” kata almarhum di depan Mushalla Ar Raudhah, mengakhiri liputannya pada pemirsa kala itu. 

Kutipan dari buku "Bertamu KeSekumpul"
Di Bab : Ada Apa dengan Sekumpul





9 komentar:

  1. Webnya bagus..
    Artikelnya pun bagus, berperan membantu secara edukatif kepada pengunjung blog ini akan ritme keagamaan dan budaya.
    Semoga sukses selalu

    BalasHapus
  2. Subhanallah.. Semoga bermanfaat.
    salam kenal dangsanak

    BalasHapus
  3. gambar kedua dari bawah itu artis kh

    BalasHapus
  4. Bang Ian : Hehe iya sama sama terimakasih atas kunjungan di blog yg sederhana ini... Maaf cuma otodidak saja buat blognya.. hehe

    Bang Fakhrial : Salam kenal jua and badingsanakan aja... kula urang Banua jua ley hehe

    Bang Fakhruzzaman : Iya betul.. photo kedua terakhir itu, kunjungan artis pelawak dari Jakarta yang sowan ke BELIAU..

    Sebenarnya photo yang di upload ini bagian dari buku : "Bertamu Ke Sekumpul" yang disusun adikku ... (Mantan wartawan kalimantan Post)

    BalasHapus
  5. SUBHANALLAH ulun baru baca seperempat buku BERTAMU KE SEKUMPUL mantap sudah kena ulun baca sampai habis Om :D

    Trimakasih lah :D

    Ulun dari samarinda :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama sama terimakasih kembali atas kunjungan sahabat : Tarunajaya Utama Putra di blog yang sederhana ini...... mohon doanya selalu..!!

      Hapus