BERIKUT ini adalah pernyataan para sahabat Rasulullah
dan para ulama dari empat madzhab, serta ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah
dalam penjelasan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan
bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian
kecil saja, karena bila kita hendak mengutip seluruh perkataan mereka maka akan
membutuhkan kepada ratusan lebar halaman. Namun setidaknya berikut ini sebagai
bukti untuk memperkuat akidah kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap
keyakinan-keyakinan yang menyalahinya.
1. Al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) berkata:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَان وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَليْه كَانَ
“Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia Allah
sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap sebagaimana pada sifat-Nya yang
azali; ada tanpa tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi
dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).
Beliau juga berkata:
إنّ اللهَ خَلَقَ العَرْشَ إْظهَارًا لِقُدْرَتهِ وَلَمْ يَتّخِذْهُ
مَكَانًا لِذَاتِهِ
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy (makhluk Allah yang
paling besar bentuknya) untuk menampakan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan
tempat bagi Dzat-Nya” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam
al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).
2. Seorang tabi’in yang agung, Al-Imam Zainal-‘Abidin
‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata:
أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ يَحْويْكَ مَكَانٌ
“Engkau wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat”
(Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin
Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380).
Juga berkata:
أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ تُحَدُّ فَتَكُوْنَ مَحْدُوْدًا
“Engkau wahai Allah yang maha suci dari segala bentuk dan
ukuran” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah
al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380).
3. Al-Imam Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn
Zainal ‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain (w 148 H) berkata:
مَنْ زَعَمَ أنّ اللهَ فِي شَىءٍ أوْ مِنْ شَىءٍ أوْ عَلَى شَىءٍ
فَقَدْ أشْرَكَ، إذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَىءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً وَلَوْ كَانَ فِي
شَىءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا (أىْ
مَخْلُوْقًا)
“Barang siapa berkeyakinan bahwa Allah berada di dalam
sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu maka ia adalah seorang yang
musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat,
dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari
sesuatu maka berarti Dia baharu -makhluk-” (Diriwayatkan oleh al-Imam
al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 6).
4. Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w
150 H), salah seorang ulama salaf terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata:
وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ
وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ
وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.
“Allah ta’ala di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang
mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka
masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai bentuk
yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa
Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas,
bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)” (Lihat al-Fiqhul
Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla ‘Ali al-Qari, h. 136-137).
Juga berkata:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ
تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى
وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di
manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada
sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat,
sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta
segala sesuatu” (Lihat al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan
risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Juga berkata:
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى
مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ
حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ
مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ
كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ
فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا
كَبِيْرًا.
“Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy
Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah
tidak membutuhkan kepada ‘‘arsy tersebut da tidak bertempat atau bersemayam di
atasnya. Dia Allah yang memelihara ‘‘arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada
itu semua. Karena jika Allah membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan
kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh
makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas
sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah Dia? Allah maha
suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam
kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h.
2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar,
h. 70.).
Perkataan Imam Abu Hanifah ini adalah ungkapan yang sangat
jelas dalam bantahan terhadap pendapat kaum Musyabbihah dan kaum Mujassimah,
termasuk kelompok yang bernama Wahhabiyyah sekarang; mereka yang mengaku
sebagai kelompok salafi. Kita katakan kepada mereka: Para ulama salaf telah
sepakat mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Salah satunya
adalah Imam Abu Hanifah yang merupakan salah seorang terkemuka di kalangan
mereka. Beliau telah mendapatkan pelajaran dari para ulama tabi’in, dan para
ulama tabi’in tersebut telah mengambil pelajaran dari para sahabat Rasulullah.
Adapun ungkapan Imam Abu Hanifah yang menyebutkan bahwa
telah menjadi kafir seorang yang berkata “Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah
ia di langit atau di bumi!?”, demikian pula beliau mengkafirkan orang yang
berkata: “Allah di atas ‘arsy, dan aku tidak tahu arah ‘arsy, apakah ia di
langit atau di bumi!?”, hal ini karena kedua ungkapan tersebut menetapkan
adanya tempat dan arah bagi Allah. Karena itu Imam Abu Hanifah mengkafirkan
orang yang mengatakan demikian. Karena setiap yang membutuhkan kepada tempat
dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yanga baharu. Maksud ungkapan
Imam Abu Hanifah tersebut bukan seperti yang disalahpahami oleh orang-orang
Musyabbihah bahwa Allah berada di atas langit atau di atas ‘arsy. Justru
sebaliknya, maksud ungkapan beliau ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa
arah, sebagaimana dalam ungkapan-ungkapan beliau sendiri yang telah kita tulis
di atas.
Maksud dua ungkapan Imam Abu Hanifah di atas juga telah
dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz.
Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang mengatakan dua uangkapan
tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki
tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang
Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip
oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198).
Pernyataan Imam al-‘Izz ibn ‘Abd as-Salam ini juga dikuatkan
oleh as-Syekh Mulla ‘Ali al-Qari. Ia berkata: “Tanpa diragukan lagi bahwa
al-Izz ‘ibn ‘Abdissalam adalah orang yang paling paham terhadap maksud dari
perkataan Imam Abu Hanifah tersebut. Karenanya kita wajib membenarkan apa yang
telah beliau nyatakan” (Lihat Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar,
h. 198).
5. Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris as-Syafi’i (w
204 H), perintis madzhab Syafi’i, dalam salah satu kitab karyanya, al-Kaukab
al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, menuliskan:
(فصل) وَاعْلَمُوْا أنّ اللهَ تَعَالَى لاَ مَكَانَ لَهُ، وَالدّلِيْلُ
عَلَيْهِ هُوَ أنّ اللهَ تَعَالَى كَانَ وَلاَ مَكَانَ فَخَلَقَ الْمَكَانَ وَهُوَ
عَلَى صِفَةِ الأزَلِيّةِ كَمَا كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ الْمَكَانَ لاَ يَجُوْزُ
عَلَيْهِ التَّغَيُّرُ فِي ذَاتِهِِ وَلاَ التَّبَدُّلُ فِي صِفَاتِهِ، وَلأنّ
مَنْ لَهُ مَكَانٌ فَلَهُ تَحْتٌ، وَمَنْ لَهُ تَحْتٌ يَكُوْنُ مُتَنَاهِي الذّاتِ
مَحْدُوْدًا، وَالْمَحْدُوْدُ مَخْلُوْقٌ، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذلِكَ عُلُوّا
كَبِيْرًا، ولِهذَا الْمَعْنَى اسْتَحَالَ عَليْه الزّوْجَةُ وَالوَلدُ، لأنّ ذلِك
لاَ يَتِمّ إلاّ بالْمُبَاشَرَةِ والاتّصَالِ والانْفِصَال.
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Argumentasi atas
ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah
menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang azali sebelum Dia menciptakan
tempat; yaitu ada tanpa temapt. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan,
baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pad asifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang
memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian maka ia
pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu yang memiliki batasan
pasti sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua. Karena itu
mustahil pada haknya terdapat istri dan anak. Sebab hal semacam itu tidak akan
terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan terpisah. Allah mustahil pada-Nya
sifat terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Tidak boleh dibayangkan dari Allah
adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya istilah suami, astri
dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (Lihat al-Kaukab al-Azhar
Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama dalam pembahasan
firman Allah QS. Thaha: 5, al-Imam as-Syafi’i menuliskan sebagai berikut:
فَإنْ قِيْل: أليْسَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى (الرّحْمنُ عَلَى
العَرْشِ اسْتَوَى)، يُقَال: إنّ هذِهِ الآيَة مِنَ الْمُتَشَابِهَاتِ، وَالّذِيْ
نَخْتَارُ مِنَ الْجَوَابِ عَنْهَا وَعَنْ أمْثَالِهَا لِمَنْ لاَ يُرِيْدُ
التّبَحُّر فِي العِلْمِ أنْ يُمِرَّ بِهَا كَمَا جَاءَتْ وَلاَ يَبْحَثُ عَنْهَا
وَلاَ يَتَكَلّمُ فيْهَا لأنّهُ لاَ يَأمَنُ مِنَ الوُقُوْعِ فِي وَرَطَةِ
التّشْبِيْهِ إذَا لَمْ يَكُنْ رَاسِخًا فِي العِلْمِ، وَيَجِبُ أنْ يَعْتَقِدَ
فِي صِفَاتِ البَارِي تَعَالَى مَاذَكَرْنَاهُ، وَأنّهُ لاَ يَحْويْهِ مَكَانٌ
وَلاَ يَجْرِي عَليْهِ زَمَانٌ، مُنَزَّهٌ عَنِ الحُدُوْدِ وَالنّهَايَاتِ،
مُسْتَغْنٍ عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَاتِ، وَيَتَخَلَّصُ مِن َالمَهَالِكِ
وَالشُّبُهَاتِ.
“Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman: “ar-Rahman
‘Ala al-‘Arsy Istawa”? Jawab: Ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang
kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa
bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ini agar supaya
mngimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya atau membicarakannya. Sebab
seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia
akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga
seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita
sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu
dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan segala
penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah. Dengan
demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan kesesatan” (al-Kaukab
al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
6. Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w
241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid.
Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah
seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini as-Syaikh Ibn Hajar
al-Haitami menuliskan:
وَمَا اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا
الإمَامِ الأعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ
نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ.
“Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang
menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya
tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan
kedustaan dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam
al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar