Ada sebuah hadits yang dikenal dengan Hadits al-Jariyah,
hadits tentang seorang budak perempuan yang dihadapkan kepada Rasulullah.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Muslim; bahwa seorang sahabat datang
menghadap Rasulullah menanyakan prihal budak perempuan yang dimilikinya, ia
berkata: ”Wahai Rasulullah, tidakkah aku merdekakan saja?”. Rasulullah berkata:
”Datangkanlah budak perempuan tersebut kepadaku”. Setelah budak perempuan
tersebut didatangkan, Rasulullah bertanya kepadanya: “Aina Allah?”. Budak
tersebut menjawab: “Fi as-sama’”. Rasulullah bertanya: “Siapakah aku?”. Budak
menjawab: “Engkau Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata (kepada pemiliknya):
“Merdekakanlah budak ini, sesungguhnya ia seorang yang beriman” . (HR. Muslim)
Pemahaman hadits ini bukan berarti bahwa Allah bertempat di
langit seperti yang dipahami oleh kaum Wahhabiyyah, tetapi makna “Fi as-Sama’”
dalam perkataan budak tersebut adalah untuk mengungkapkan bahwa Allah Maha
Tinggi sekali pada derajat dan keagungan-Nya. Pemahaman teks ini harus demikian
agar sesuai dengan pemahaman bahasa. Seperti perkataan salah seorang penyair
mashur; an-Nabighah al-Ju’di, dalam sebuah sairnya berkata:
بَلَغْنَا السّمَاءَ مَجْدُنَا وَسَنَاؤُنَا * وَإنّا
لَنَرْجُو فَوْقَ ذَلِكَ مَظْهَرَا
“Kemuliaan dan kebesaran kami telah mencapai langit, dan
sesungguhnya kita mengharapkan hal tersebut lebih tinggi lagi dari pada itu”
.
Pemahaman bait syair ini bukan berarti bahwa kemuliaan
mereka bertempat di langit, tetapi maksudnya bahwa kemuliaan mereka tersebut
sangat tinggi.
Kemudian dari pada itu, sebagian ulama hadits telah
mengkritik Hadits al-Jariyah ini, mereka mengatakan bahwa hadits tersebut
sebagai hadits mudltharib, yaitu hadits yang berbeda-beda antara satu riwayat
dengan riwayat lainnya, baik dari segi sanad (mata rantai) maupun matan-nya
(redaksi). Kritik mereka ini dengan melihat kepada dua segi berikut;
Pertama: Bahwa hadits ini diriwayatkan dengan sanad dan
matan (redaksi) yang berbeda-beda; ini yang dimaksud hadits mudltharib. Di
antaranya; dalam matan Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya diriwayatkan dari
asy-Syuraid ibn Suwaid al-Tsaqafi, sebagai berikut: ”Aku (asy-Syuraid ibn
Suwaid al-Tsaqafi) berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku berwasiat
kepadaku agar aku memerdekakan seorang budak atas nama dirinya, dan saya
memiliki seorang budak perempuan hitam”. Lalu Rasulullah berkata: “Panggilah
dia!”. Kemudian setelah budak perempuan tersebut datang, Rasulullah berkata
kepadanya: “Siapakah Tuhanmu?”, ia menjawab: “Allah”. Rasulullah berkata:
“Siapakah aku?”, ia menjawab: “Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata:
“Merdekakanlah ia karena ia seorang budak perempuan yang beriman” .
Sementara dalam redaksi riwayat al-Imam al-Bayhaqi bahwa
Rasulullah bertanya kepada budak perempuan tersebut dengan mempergunakan redaksi:
“Aina Allah?”, lalu kemudian budak perempuan tersebut berisyarat dengan
telunjuknya ke arah langit. Dalam riwayat ini disebutkan bahwa budak tersebut
adalah seorang yang bisu.
Kemudian dalam riwayat lainnya, masih dalam riwayat al-Imam
al-Bayhaqi, Hadits al-Jariyah ini diriwayatkan dengan redaksi: “Siapa
Tuhanmu?”. Budak perempuan tersebut menjawab: “Allah Tuhanku”. Lalu Rasulullah
berkata: “Apakah agamamu?”. Ia menjawab: “Islam”. Rasulullah berkata: “Siapakah
aku?”. Ia menjawab: “Engkau Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata kepada
pemiliki budak: “Merdekakanlah!” .
Dalam riwayat lainnya, seperti yang dinyatakan oleh al-Imam
Malik, disebutkan dengan memakai redaksi: “Adakah engkau bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?”, budak tersebut menjawab: “Iya”.
Rasulullah berkata: “Adakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”,
budak tersebut menjawab: “Iya”. Rasulullah berkata: “Adakah engkau beriman
dengan kebangkitan setelah kematian?”, budak tersebut menjawab: “Iya”. Lalu
Rasulullah berkata kepada pemiliknya: “Merdekakanlah ia” .
Riwayat al-Imam Malik terakhir disebut ini adalah riwayat
yang sejalan dengan dasar-dasar akidah, karena dalam riwayat itu disebutkan
bahwa budak perempuan tersebut sungguh-sungguh datang dengan kesaksiannya
terhadap kandungan dua kalimat syahadat (asy-Syahadatayn), walaupun dalam
riwayat al-Imam Malik ini tidak ada ungkapan: “Fa Innaha Mu’minah”
(Sesungguhnya ia seorang yang beriman)”.
Dengan demikian riwayat al-Imam Malik ini lebih kuat dari
pada riwayat al-Imam Muslim, karena riwayat al-Imam Malik ini sejalan dengan
sebuah hadits mashur, bahwa Rasulullah bersabda:
أُمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النّاسَ حَتّى يَشْهَدُوا أنْ لاَ إلهَ إلاّ
اللهُ وَأنّي رَسُوْلُ الله رواه البخاري وغيره
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa
saya adalah utusan Allah” .
Riwayat al-Imam Malik ini juga sejalan dengan sebuah hadits
riwayat al-Imam an-Nasa-i dalam as-Sunan al-Kubra dari sahabat Anas ibn Malik
bahwa suatu ketika Rasulullah masuk ke tempat seorang Yahudi yang sedang dalam
keadaan sakit. Rasulullah berkata kepadanya: “Masuk Islamlah engkau!”. Orang
Yahudi tersebut kemudian melirik kepada ayahnya, kemudian ayahnya berkata:
“Ta’atilah perintah Rasulullah”. Kemudian orang Yahudi tersebut berkata: “Aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Lalu Rasulullah berkata: “Segala
puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dia dari api neraka dengan jalan
diriku” .
Ke dua; Bahwa riwayat Hadits al-Jariyah yang mempergunakan
redaksi “Aina Allah?”, adalah riwayat yang menyalahi dasar-dasar akidah, karena
di antara dasar akidah untuk menghukumi seseorang dengan keislamannya bukan
dengan mengatakan “Allah Fi as-Sama’”. Tidak pernah dan tidak dibenarkan jika
ada seorang kafir yang hendak masuk Islam diambil ikrar darinya bahwa Allah
berada di langit. karena perkataan semacam ini jelas bukan merupakan kalimat
tauhid. Sebaliknya kata “Allah Fi as-sama’” adalah kalimat yang biasa dipakai
oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, juga orang-orang kafir lainnya
dalam menetapkan keyakinan mereka. Akan tetapi tolak dasar yang dibenarkan
dalam syari’at Allah untuk menghukumi keimanan seseorang adalah apa bila ia
bersaksi dengan dua kalimat syahadat sebagaimana tersebut dalam hadits mashur
di atas.
(Masalah): Jika seseorang berkata: Bagaimana mungkin riwayat
al-Imam Muslim yang menyebutkan dengan redaksi “Aina Allah?”, yang kemudian
dijawab “Fi as-sama’”, sebagai hadits yang tertolak, padahal bukankah seluruh
riwayat al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya disebut dengan hadits-hadits
shahih?
(Jawab): Terdapat beberapa ulama hadits telah menolak
beberapa riwayat Muslim dalam kitab Shahih-nya tersebut. Dan andaikan Hadits
al-Jariyah tersebut tetap diterima sebagai hadits shahih, maka hal itu bukan
berarti maknanya bahwa Allah bertempat di langit seperti yang dipahami oleh
sebagian orang bodoh, tetapi maknanya adalah bahwa Allah Maha tinggi sekali
derajat dan keagungannya. Dan di atas dasar makna inilah sebagian ulama
Ahlussunah ada yang tetap menerima Hadits al-Jariyah dari riwayat al-Imam
Muslim tersebut sebagai hadits shahih. Artinya, bahwa mereka tidak memaknai
Hadits al-Jariyah ini dalam pemahaman makna zhahirnya yang seakan menetapkan
bahwa Allah berada di langit.
Pemahaman ulama Ahlussunnah ini berbeda dengan keyakinan
kaum Musyabbihah (Wahhabiyyah sekarang) yang mamahami hadits tersebut sesuai
makna zhahirnya, hingga mereka mengatakan bahwa Allah berada di langit. Yang aneh,
pada saat yang sama mereka juga mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy. di
dua tempat heh?!! A’udzu Billah. Lebih aneh lagi, teks-teks yang zhahirnya
seakan Allah berada di arah bumi/bawah tidak mereka ambil dalam makna-makna
zhahirnya. Pemahaman apa ini?!! Jelas, ini namanya pemahaman “seenak perut”,
pemahaman “semau gue” (tahkkum).
Penjelasan lebih lanjut tentang Hadits al-Jariyah, baca
syarah Shahih Muslim (al-Minhaj Bi Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj) karya
al-Imam an-Nawawi (w 676 H)
Ingat dan tetap selalu yakini bahwa aqidah Rasulullah dan
para sahabatnya, serta kaum Salaf Saleh, yang kemudian turun temurun diyakini
oleh mayoritas ummat Islam Ahlussunnah adalah; ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA
ARAH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar