PARA Ulama Besar Di Tanah
Betawi Menolak Shalat Tarawih Yang Dikerjakan Dengan Cara 4 Rakaat Sekali
Salam. Sebut Saja Allah Yarhamuh Hadrotus Syaikh K.H Muhammad Syafii Hadzami
Mufti Betawi Abad 21 Mengatakan:
Tidak dikenal
ikhtilaf (perbedaan) antara Imam-Imam mujtahidin yang empat hal bilangan atau
jumlah rakaat Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) melainkan sebagai berikut :
1) 20 rakaat menurut
mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad Ibn Hambal.
2) 36 rakaat
merupakan salah satu riwayat Imam Malik bagi penduduk Madinah.
Syaikh Abdul Wahhab
al-Sya’râniy pun menyebutkan hal ini dalam kitab al-Mîzân al-Kubrâsebagai
berikut:
وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ
أَبِي حَنِيْفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ اَنَّ صَلاَةَ التَّرَاوِيْحَ فِي
شَهْرِ رَمَضَانَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً وَاِنَّهَا فِي الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مَعَ
قَوْلِ مَالِكٍ فِي اِحْدَى الرِّوَايَاتِ عَنْهُ اِنَها سِتَّةٌ وَثَلاَثُوْنَ
رَكْعَةً (الميزان الكبرى ج ١ ص : ١٨٥دار الفكر
Artinya: Sebagian dari yang demikian adalah
Qaul Imam Abi Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ahmad bahwa Shalat Tarawih di dalam
Bulan Ramadhan adalah 20 rakaat dan sesungguhnya berjamaah itu lebih utama
disertai Qaul Imam Malik dalam satu riwayat darinya adalah 36 rakaat.
Kaifiyyah 20 rakaat
yaitu dikerjakan dengan sepuluh salam dan memberi salam pada tiap dua rakaat.
Kata Imam Nawawi dalam kitab Rawdhah” jika seseorang bersembahyang Tarawih 4
rakaat dengan satu salam niscaya tidak sah, karena menyalahi yang disyariatkan.
(K.H Muhammad Syafii Hadzami,Risalah
Shalat Tarawih, h. 6. )
*Syaikh Abuya K.H
Abdurrahman Nawi pendiri Pondok Pesantren al-Awwabin Depok menegaskan:
Shalat Tarawih
hukumnya Sunah muakkadah. Bilangan rakaatnya yaitu:
1) Bagi kita 20
rakaat (ijma’ para sahabat).
2) Bagi Ahli Madinah
36 rakaat.
Waktunya Ba’da Shalat
Isya hingga fajar shodiq.
Perhatian
1) Dilakukan dengan
10 salam.
2) Tidak sah dilakukan 4 rakaat satu
salam.
3) Sunah dijamaahkan.
(K.H Abdurrahman Nawi Tebet, Kitab
7 Kaifiyyat Shalat sunah, h. 11)
*Syaikh Abuya
K.H Saifuddin Amsir pendiri pondok pesantren al-Asyirah al-Qur'aniyyah Jakarta
memberikan komentar:
Banyak orang
mengerjakan shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali
salam, dengan dalil hadis Siti Aisyah sebagai berikut:
مَا كَانَ يَزِيدُ
فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي
أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا
فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ
عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Artinya: Rasulullah tidak pernah melakukan
shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari
11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan
panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang
bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya ”Ya
Rasulullah apakah kamu tidur sebelum shalat Witir”? Kemudian beliau menjawab:
”Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur”.
Hadis yang
dijadikan dalil, bukan hadis tentang shalat Tarawih, hadis tersebut adalah
hadis pada pekerjaan shalat malam Rasulullah pada umumnya, yakni shalat Witir.
Karenanya para Fuqaha (ahli Fiqh) tidak menyetujui untuk menjadikan hadis
tersebut sebagai dalil shalat Tarawih. Dengan alasan shalat Tarawih merupakan
ibadah khusus yang hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, dan jumlah bilangan
shalat Tarawih 20 rakaat ditambah shalat Witir 3 rakaat, telah disosialisasikan
oleh para sahabat, dalam hal ini adalah Sayidina Umar Ibn Khatthab yang
disepakati dan disetujui oleh para sahabat lainnya. Lantaran pada umumnya para
Imam tidak mempunyai kemampuan untuk mengingkari apa yang menjadi perintah
Rasulullah:
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ فَتَمَسَّكُوا
بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Artinya; Hendaklah kalian ikuti sunahku dan
sunah para Khalifah yang mendapat petunjuk setelahku, peganglah dengan kuat dan
gigitlah olehmu dengan geraham ”.[1]
Pelanggaran terhadap
yang disepakati para sahabat merupakan pelanggaran terhadap agama.
Sehingga dalam Mazhab
Syafii, kalau shalat Tarawih dikerjakan bukan dengan cara 2 rakaat, 2 rakaat,
shalat Tarawih tersebut dipandang batal/tidak sah.
Oleh sebab itu,
shalat Qiyam Ramadhan yang lebih populer di kota Makkah, Madinah dan berbagai
negara Islam juga tidak berani beranjak dari situ, paling-paling sedikit
penambahan dari jumlah rakaat yang dilaksanakan di zaman Sayidina Umar Ibn
Khatthab itu 23 rakaat, tetapi orang yang ingin memperbanyak ibadah tidak ada
salahnya menambah rakaat. Jadi pada zaman dahulu inisiatif penduduk kota
Madinah untuk menambahkan jumlah rakaat, merupakan pengganti tradisi penduduk kota
Makkah yang biasanya setelah tiap 4 rakaat (2 salam) mereka melakukan tawaf,
karena memang ada Ka’bah di situ. Sedangkan di Madinah tidak terdapat tempat
untuk bertawaf, sehingga menjadi kuat dalil bahwa sahabat- sahabat Nabi di
Makkah itu bertawaf pada bilangan-bilangan tertentu, yakni setelah 4 rakaat
mereka bertawaf.
Hal ini diperkuat
dalilnya dengan amaliyah penduduk kota Madinah, khususnya pada pemerintahan
Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz yang menambahkan jumlah rakaat shalat Tarawih
menjadi 36 rakaat di luar shalat Witir. Hal ini bukan dalil yang mengatakan
khilaf-khilafnya, tetapi justru memperkuat bahwa itulah yang terjadi di zaman
para sahabat, karena Rasulullah tidak membatasi jumlah rakaat shalat Tarawih,
para sahabat yang lebih mengatur itu dan memiliki concern (perhatian) terhadap
hal tersebut.
Untuk mencegah
terjadinya kekacauan yang berkepanjangan di dunia Islam, Sayidina Umar Ibn
Khatthab memikirkan jumlah-jumlah rakaat shalat sunah yang dilakukan
Rasulullah, jadi hal tersebut sudah dipikirkan oleh Sayidina Umar Ibn Khatthab
secara Taftisy (matang
dan teliti) dengan ketepatan jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah, ketika
dihitung hadis-hadis yang membicarakan tentang jumlah rakaat shalat sunah
Rasulullah, ketika digabung-gabung, tepat 20 rakaat, dari keterangan hadis yang
zhahir-zhahir.
Apa yang dilakukan
oleh Sayidina Umar Ibn Khatthab tidak beranjak dari apa yang dikerjakan
Rasulullah. Hal ini menjadi sunah sahabat. Sunah sahabat tidak boleh dianggap
remeh, ulama berpendapat seperti itu. Kalau sunah sahabat mulai dikorbankan
untuk perasaan, maka lambat laun apa saja bisa dikorbankan. Ini yang
menyebabkan shalat Tarawih yang dilakukan sebanyak 20 rakaat dilakukan dengan 2
rakaat, 2 rakaat, 2 rakaat dan seterusnya ditutup dengan shalat Witir 3 rakaat
dapat berusia panjang dan sampai saat ini masih dilaksanakan.
Dalam kitab التراويح أكثر من ألف عام في مسجد النبي عليه
الصلاة والسلام karya Syaikh Athiyyah
Muhammad Salim, seorang Qadhi Mahkamah Syariah, ahli hadis dan pakar fiqh di
Madinah; Saudi Arabia, juga merupakan salah seorang murid utama seorang raksasa
ilmu di zamannya yaitu Syaikh Muhammad al-Amin Ibn Muhammad Mukhtar
al-Syinqithiy (w. 1393 H). Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, memiliki perhatian
khusus tentang dalil shalat Tarawih. Hal ini harus diperhatikan, sebab sekarang
orang tidak lagi mau mentahqiq (mengkaji ulang) soal dalil, orang sudah begitu
sibuk dengan berbagai kesibukan. Jadi, di luar kota Makkah ada juga yang
mengerjakan shalat Tarawih 11 rakaat, dengan alasan, itulah hadis yang zhahir
dari Rasulullah. Hanya saja, hal ini akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
tentang bagaimana mengikuti para sahabat Rasulullah yang sebenarnya.
Karena jika shalat
Tarawih 11 rakaat yang paling benar, tentunya 3 abad setelah Rasulullah, shalat
Tarawih 11 rakaat dengan berjamaah itu sudah menjadi populer. Padahal
kenyataannya shalat 11 rakaat populer baru belakangan ini. Shalat Tarawih 20
rakaat yang lebih populer, setelah Sayidina Umar Ibn Khattab wafat, Sayidina
Usman melanjutkan shalat Tarawih 20 rakaat, demikian pula dengan Sayidina Ali,
mengerjakan shalat Tarawih seperti yang disepakati oleh para sahabat dan tidak
ada riwayat yang zhahir yang menyatakan bahwa Sayidina Ali menentang shalat
Tarawih 20 rakaat. Ini yang menyebabkan shalat Tarawih 20 rakaat tetap
bertahan. Dalam sekian banyak riwayat, kita temukan riwayat yang menjelaskan
tambahan rakaat shalat Tarawih dari 20 rakaat, tetapi kita tidak menemukan
riwayat shalat Tarawih yang kurang dari 20 rakaat. Kalaupun ada akan
mengkhilafkan mayoritas umat Islam yang begitu banyaknya.
Menurut Mazhab Syafii
shalat Tarawih yang dikerjakan dengan cara 4 rakaat sekali salam hukumnya
dikatakan tidak sah dengan beberapa alasan. Tetapi yang jelas alasan-alasan
tersebut merupakan ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah dan para sahabat yang
tidak boleh diganggu oleh kreasi baru, jika ada kreasi baru, maka kreasi tersebut
tidak akan jelas namanya. Karena istilah Tarawih telah jelas kita pahami,
seperti yang kita ketahui saat ini, Tarawih adalah shalat sunah yang hanya ada
pada bulan Ramadhan dikerjakan dengan 20 rakaat terdiri dari 10 salam,
dikerjakan dengan salam pada tiap 2 rakaatnya dan tiap 4 rakaat disebut 1
tarwihah (istirahat).
Penduduk Makkah
mengerjakan tawaf pada tiap selesai satu tarwihah. Pelaksanaannya di awal malam
disertai adanya pendapat mengerjakan shalat Tarawih di akhir malam itu lebih
utama.
Jadi, penamaan akan
membentuk satu istilah, kalau sudah ada istilah, maka definisinya akan menjadi
jelas, karenanya orang yang mengerjakan shalat 4 rakaat dengan sekali salam
dengan niat shalat Tarawih, maka hukum shalat Tarawihnya tidak sah. Jika shalat
tersebut tidak dinamakan shalat Tarawih, maka sah-sah saja dilakukan.
Apa yang dilafazkan
dan dikerjakan oleh Rasulullah seharusnya dijadikan pilihan terbaik. Hadis ( صَلاَةُ اللَّيْلِ
مَثْنَى مَثْنَى )
bukan hadis yang tidak kuat. Sedangkan shalat dengan 4,4,3 cuma merupakan salah
satu riwayat dari sekian banyak riwayat shalat malam Rasulullah, yang pernah
dilihat oleh Siti Aisyah dan hal tersebut dipertimbangkan oleh para ulama,
lantaran Siti Aisyah merupakan istri Rasulullah. Jadi, sesuatu yang Rasulullah
sebutkan merupakan anjurannya dan keduanya boleh berjalan. Tetapi mayoritas
ulama menganggap shalat malam yang dikerjakan dengan cara 2 rakaat-2 rakaat
adalah yang lebih baik kita ambil. Karena merupakan anjuran Rasulullah yang
didasarkan kepada perkataan dan perbuatan Rasulullah. Sedangkan hadis 4,4,3
hanya berdasarkan perbuatan yang diceritakan oleh Siti Aisyah dalam salah satu
riwayatnya.
Untuk memahami
kandungan hadis-hadis Rasulullah dengan baik dan benar seseorang bukan hanya
dituntut banyak membaca hadis tetapi juga ia harus mendalami fiqhul hadis (pemahaman
hadis).
Dalam risalah ini
menjelaskan pemaparan tentang perkara-perkara terpenting dalam shalat Tarawih secara
sederhana. Dengan demikian risalah ini menjadi tulisan yang dapat dihayati dan
sangat layak dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami secara benar dan mau
menyelamatkan perkara ibadahnya.
Semoga Allah
melimpahkan pahala yang besar kepada penyusun risalah ini atas usahanya,
mudah-mudahan Allah memperbanyak orang-orang yang mau mengikuti langkah-langkah
mulia ini dalam berpegang teguh kepada kebenaran. Amin.
*Syaikh Maulana Kamal Yusuf guru besar
ulama Jakarta menambahkan:
Tuduhan Bid’ah, kufur,
musyrik, dan sesat sangat sering dilontarkan oleh sekelompok orang dengan
mengatasnamakan Sunnah. Kelompok ini giat menyebarkan buku-buku,
selebaran-selebaran, dan kitab-kitab yang berisi tuduhan keji terhadap pelbagai
persoalan keagamaan masyarakat seperti: Nisfu Sya’ban, Tahlilan, Haul,
merayakan Maulid, Tawassulan, ziarah para wali dan lain-lain. Padahal kalau
diteliti secara mendalam, amal ibadah maupun muamalah yang berkembang dan
berurat akar dalam tradisi masyarakat itu memiliki landasan kokoh dari
al-Qur’an, Hadis dan pendapat para ulama yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Mereka tidak memahami
al-Qur’an dan hadis secara syamil (menyeluruh).
Pandangan mereka sempit, sehingga mereka gampang mengatakan Musyrik, Kafir,
memvonis Bid’ah sesat terhadap praktek/amaliah orang lain yang memiliki dasar
dan argumentasi kuat yang juga telah menjadi tradisiAhlussunnah Wal-Jamaah. Rasulullah
mengatakan dalam sabdanya:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ
يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا (رواه البخاري)
Artinya: ”Sesungguhnya Rasulullah bersabda:
Apabila seseorang memanggil saudaranya yang muslim dengan kalimat “Wahai Kafir
maka akan kembali kalimat itu kepada salah satu dari keduanya”.
Pernyataan mereka
dalam buku-buku atau kitab-kitab yang banyak beredar sangat berbahaya khususnya
bila dibaca oleh orang-orang awam. Karena faktor ketidaktahuan, mereka yang
awam menerima langsung atau menelan mentah-mentah isi buku/kitab tersebut tanpa
mencoba untuk menelaah lebih lanjut isu-isu negatif yang telah disebarkan di
dalamnya. Keadaan orang-orang awam ketika itu bagaikan orang yang makan ikan
tanpa menyiangi (membersihkan sisik, kotoran dan duri ikan) terlebih dahulu
yang menyebabkan dirinya bukan hanya ketulangan tapi lebih dari itu, ia akan
tersendat, orang Betawi bilang dengan istilah “kesungkakan.”
Di antara tuduhan
keji yang mereka katakan bahwa: ”Shalat
Tarawih yang dikerjakan para sahabat dengan 20 rakaat dalilnya lemah dan
termasuk Bid’ah sesat.” Menurut mereka jumlah rakaat shalat Tarawih
itu hanya 11 rakaat, shalat Tarawih yang lebih dari 11 rakaat adalah Bid’ah
sesat. Mereka berani menganggap shalat Tarawih 20 rakaat sebagai hadis lemah
dan Bid’ah sesat beralasan dengan hadis Siti Aisyah yang menurut mereka telah
memberikan sinyal bahwa shalat Tarawih hanya 11 rakaat.”
مَا كَانَ يَزِيدُ
فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي
أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا
فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ
عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Artinya: Rasulullah tidak pernah melakukan
shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari
11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan
panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang
bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya
”Ya Rasulullah apakah kamu tidur sebelum shalat Witir”? Kemudian beliau
menjawab: ”Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur”.
”Perlu diketahui
bahwa hadis Siti Aisyah di atas merupakan hadis yang menyatakan dalil shalat
Witir, bukan dalil shalat Tarawih. Apabila hadis Aisyah di atas sebagai dalil
shalat Tarawih, Maka kita pantas mempertanyakan adakah shalat Tarawih selain di
bulan Ramadhan? dan mengapa Sayidina Umar Ibn Khatthab dan para sahabat
mengerjakan shalat Tarawih dengan 20 rakaat?
Dari perkataan Siti
Aisyah : (فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ ) ”(Pada bulan Ramadhan dan di selain
Ramadhan), jelas sekali kita dapat memahami bahwa shalat yang Siti
Aisyah lihat adalah shalat malam Rasulullah yang beliau kerjakan sepanjang
tahun baik pada bulan Ramadhan dan di bulan lainnya. Oleh karenanya, sangat
tepat 11 rakaat dalam hadis tersebut adalah dalil shalat Witir, bukan sebagai
dalil shalat Tarawih. Karena shalat Witir ada di bulan Ramadhan dan di bulan
lainnya. Sedangkan shalat Tarawih hanya khusus pada bulan Ramadhan dikerjakan
dengan 2-2 (tiap 2 rakaat salam). Berbeda dengan pelaksanaan shalat Witir yang
boleh dikerjakan lebih dari 2 rakaat pada setiap salamnya.
Namun demikian,
menurut para ulama maksud dari 4 rakaat dalam hadis Siti A’isyah di atas, masih
memiliki ihtimal (kemungkinan)
bahwa Rasulullah melakukannya 4 rakaat dengan 1 salam, bisa juga dipahami 4
rakaat beliau kerjakan dengan 2 salam yakni 2 rakaat- 2 rakaat. Tetapi bila 4
rakaat dilakukan dengan cara 2 rakat- 2 rakaat, pendapat inilah yang lebih
selamat dan bisa dipertanggungjawabkan. Sebagaimana ada keterangan hadis shahih
yang mengatakan shalat malam itu dilakukan dengan cara 2 rakaat- 2 rakaat.
Ada kaidah
mengatakan:” [1] ( اِذَا ظَهَرَ اْلاِحْتِمَالُ سَقَطَ
اْلاِسْتِدْلاَلُ )
artinya: “Apabila terjadi
kemungkinan-kemungkinan maka hal itu menyebabkan gugurnya Istidlal (menjadikan
dalil)”. Maksudnya adalah Pendapat yang memahami 4 rakaat
dikerjakan dengan sekali salam itu tidak bisa dijadikan dalil, karena pendapat
itu hanya sebuah kemungkinan. Sesuatu yang mengandung kemungkinan dinyatakan
gugur manakala ada dalil yang lebih jelas. Hadis Nabi yang menyatakan shalat
malam dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat sangat cocok untuk mengkompromikan
dan memahami hadis Siti A’isyah tersebut”.
Saya berharap agar
kaum muslimin dapat membaca risalah ini secara tuntas. Di samping itu juga
harus banyak mengkaji serta bertanya kepada para ulama yang memiliki ilmu
yang syamil (menyeluruh).
Sehingga tidak gampang terkecoh dan terprovokasi (terhasut) oleh
tulisan-tulisan atau pendapat sekelompok orang yang menyalahkan praktek/amaliah yang
selama ini dilakukan oleh masyarakat berdasarkan tuntunan ulama. Shalat Tarawih
20 rakaat dengan 10 salam memiliki dalil yang kuat dan jelas. Jangan terkecoh
dengan pendapat orang yang mengatakan shalat Tarawih hanya 8 rakaat dikerjakan
dengan 4 rakaat-4 rakaat sekali salam dengan berdalil hadis riwayat Siti
Aisyah.
Menurut para ulama,
hadis tersebut berbicara tentang dalil shalat Witir Rasulullah, bukan dalil
shalat Tarawih. 11 rakaat adalah jumlah maksimal shalat Witir. Sedangkan
minimal shalat Witir adalah satu rakaat. Betapa batilnya tuduhan-tuduhan orang
yang tidak menyetujui shalat Tarawih 20 rakaat dengan menggunakan dalil, satu
hadis Siti Aisyah yang menerangkan satu paket shalat Witir, mereka pecah
menjadi dua dalil sekaligus, 8 rakaat untuk shalat Tarawih dan 3 rakaat untuk
shalat Witir. Semoga kelompok yang tidak suka dengan shalat Tarawih 20 rakaat dapat
merenungkan hal ini.
Saya sangat menyambut
baik dan gembira atas terbitnya risalah ini yang disusun oleh orang yang
memiliki ilmu dan menimba ilmu dengan bertemu langsung kepada para Masyaikh
(guru) serta mempunyai kerajinan yang luar biasa dalam mengumpulkan literatur
pembahasan yang ia tekuni. Kajian di dalamnya sangat dibutuhkan umat yang
selalu ingin berjalan di jalan yang benar dalam memahami shalat Tarawih. Semoga
penulis diberikan balasan yang berlanjut atas jerih payahnya mengukir karya
berharga ini, dan mudah-mudahan banyak manfaat fiddunya Wal akhirah. Amin.
Dalam risalah الجـواب الصحيح لمن
صلى أربعا بتسليمة من التراويــح,
penulis telah sebutkan lebih dari 80 kitab Mu’tabar dari berbagai cabang ilmu,
baik dari keterangan kitab Syarh hadis, fiqh, Ushul Fiqh dan Taswwuf, yang
menyatakan bahwa shalat Tarawih yang dikerjakan dengan 4 rakaat sekali salam
itu tidak sah. Di antaranya:
Imam Nawawiy
al-Dimasyqiy:
يَدْخُلُ وَقْتُ
التَّرَاوِيْحِ بِالْفَرَاغِ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ ذَكَرَهُ الْبَغَوِيُّ
وَغَيْرُهُ وَيَبْقَى إِلَى طُلُوْعِ اْلفَجْرِ وَلْيُصَلِّهَا رَكْعَتَيْنِ
رَكْعَتَيْنِ كَمَا هُوَ اْلعَادَةُ فَلَوَْصَلَّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ
بِتَسْلِيْمةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ الْقَاضِى حُسَيْنٌ فيِ فَتَاوِيْهِ
ِلاَنَّهُ خِلاَفُ الْمَشْرُوْعِ قَالَ وَلاَ تَصِحُّ بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ بَلْ
يَنْوِى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ أَوْ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ أَوْ قِيَامَ
رَمَضَانَ فَيَنْوِيْ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ مِنْ صَلاَةِ
التَّرَاوِيحِ . )المجموع شرح المهذب : ج ٤ ص : ٤٨ (دار الفكر ٢٠٠٠)
Artinya:”Masuk waktu
shalat Tarawih itu setelah melaksanakan shalat Isya. Imam al-Baghawi dan
lainnya menyebutkan: “waktu tarawih masih ada sampai terbit fajar”. Hendaklah
seseorang mengerjakan shalat Tarawih dengan dua rakaat- dua rakaat, sebagaimana
kebiasaan shalat sunah lainnya. Seandainya ia shalat dengan 4 rakaat dengan
satu salam, maka shalatnya tidak sah. Hal ini telah dikatakan oleh al-Qâdhi
Husain dalam fatwanya, dengan alasan hal demikian menyalahi aturan yang telah
disyariatkan. Al-Qâdhi juga berpendapat seorang dalam shalat Tarawih ia tidak
boleh berniat mutlak, tetapi ia berniat dengan niat shalat sunah Tarawih,
shalat Tarawih atau shalat Qiyam Ramadhan. Maka ia berniat pada setiap 2 rakaat
dari shalat Tarawih.
Imam Ahmad Ibn Hajar
al-Haytamiy:
اَلتَّرَاوِيْحُ
عِشْرُوْنَ رَكْعَةً , وَيَجِبُ فِيْهَا أَنْ تَكُوْنَ مَثْنَى بِأَنْ يُسَلِّمَ
مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ , فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ
لِشِبْهِهَا بِاْلفَرْضِ فِي طَلَبِ الْجَمَاعَةِ فَلاَ تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ
بِخِلاَفِ نَحْوِ سُنَّةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ . )فتح
الجواد شرح الارشاد :ج١ص : ١٦٣ (مكتبة اقبال حاج
ابراهيم سيراغ ببنتن ١٩٧١)
Artinya: Shalat
Tarawih itu 20 rakaat, wajib dalam pelaksanaanya dua-dua, dikerjakan dua
rakaat-dua rakaat. Bila seseorang mengerjakan 4 rakaat dengan satu salam, maka
shalatnya tidak sah karena hal tersebut menyerupai shalat fardhu dalam menuntut
berjamaah, maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang).
Lain halnya dengan shalat sunah Zuhur dan Ashar (boleh dikerjakan empat rakaat
satu salam) atas Qaul Mu’tamad.
Imam Muhammad Ibn
Ahmad al-Ramliy:
وَلَا تَصِحُّ
بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ كَمَا فِي الرَّوْضَةِ بَلْ يَنْوِي رَكْعَتَيْنِ مِنْ
التَّرَاوِيحِ أَوْ مِنْ قِيَامِ رَمَضَانَ .وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا
بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ إنْ كَانَ عَامِدًا عَالِمًا ، وَإِلَّا صَارَتْ
نَفْلًا مُطْلَقًا ؛ لِأَنَّهُ خِلَافُ الْمَشْرُوعِ.) نهاية المحتاج شرح المنهاج
: ج ١ ص : ١٢٧ (دار الفكر ٢٠٠٤)
Artinya: Tidak sah
shalat Tarawih dengan niat shalat Mutlak, seharusnya seseorang berniat Tarawih
atau Qiyam Ramadhan dengan mengerjakan salam pada setiap 2 rakaat. Seandainya
seseorang shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu salam, jika ia sengaja-ngaja dan
mengetahui maka shalatnya tidak sah. Kalau tidak demikian maka shalat itu
menjadi shalat sunah Mutlak, Karena menyalahi aturan yang disyariatkan”.
Imam Muhammad
al-Zarkasyiy:
صَلاَةُ
التَّرَاوِيْحِ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ وَحَكَى
الرُّوْيَانِيُّ عَنِ اْلقَدِيْمِ أَنَّهُ لاَحَصْرَ لِلتَّراوِيْحِ وَهُوَ
غَرِيْبٌ . وَيُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا
بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ فِي التَّحْقِيْقِ وِثَاقًا لِلْقَاضِي
حُسَيْنٍ فِي فَتَاوِيْهِ وَلِأَهْلِ الْمَدِيْنَةِ فَعْلُهَا سِتًّا
وَثَلاَثِيْنَ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَاْلأَصْحَابُ : مِنْ خَصَائِصِهِمْ .
(الديباج في توضيح المنهاج : ج ١ ص : ١٩٨ (دار الحديث ٢٠٠٥)
Artinya: Shalat
Tarawih dikerjakan 20 rakaat dengan 10 salam. Imam al-Rûyâniy menghikayatkan
pendapat dari Qaul Qadim ”Sesungguhnya pernyataan shalat Tarawih tidak ada
batasan adalah pendapat yang Gharib (aneh)”. Seseorang yang mengerjakan shalat
Tarawih hendaknya memberi salam pada tiap 2 rakaatnya. Seandainya seseorang
shalat 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah. Imam Nawawiy
al-Dimasyqiy telah menyebutkan hal itu dalam kitabnya al-Tahqîq, yang bersandar
kepada al-Qâdhi Husain dalam fatâwanya. Adapun penduduk kota Madinah mereka
mengerjakan shalat Tarawih 36 rakaat. Imam Syafii dan para pengikutnya
berkata:” Khusus bagi penduduk Madinah saja”.
Dari : Berbagai
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar