Ada
sebuah hadits yang dikenal dengan nama Hadîts an-Nuzûl. Hadits ini diriwayatkan
oleh al-Imâm al-Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahih masing-masing.
Redaksi hadits riwayat al-Bukhari adalah sebagai berikut: (Shahîh al-Bukhâri;
Kitâb al-Shalât, Bâb al-Du’â Wa al-Shalât Âkhir al-Layl. Lihat pula Shahîh
Muslim; Kitâb Shalât al-Musâfirîn Wa Qashruhâ; Bâb al-Targhîb Fî al-Du’â Wa
al-Dzikr Fî Âkhir al-Layl Wa al-Ijâbah Fîh.)
“Telah mengkabarkan kepada kami Abdullah ibn Maslamah, dari
Malik, dari Ibn Syihab, dari Abu Salamah dan Abu Abdillah al-Agarr, dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
يَنْـزِلُ رَبّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيلَةٍ إلَى
السّمَاءِ الدّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللّيلِ الآخِر يَقُوْل: مَنْ
يَدْعُونِي فَأسْتَجِيْب لهُ وَمَن يَسْألنِي فأعْطِيه وَمنْ يَسْتَغْفِرني
فأغْفِر لهُ رواه البخاري
Hadîts an-Nuzûl ini tidak boleh dipahami dalam makna zhahirnya,
karena makna zhahirnya adalah turun dari arah atas ke arah bawah, artinya
bergerak dan pindah dari satu tempat ke tampat yang lain, dan itu mustahil pada
hak Allah. Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahîh Muslim dalam menjelaskan
Hadîts an-Nuzûl ini berkata:
“Hadist ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allah. Dalam
memahaminya terdapat dua madzhab mashur di kalangan ulama;
Pertama: Madzhab mayoritas ulama Salaf dan sebagian ulama ahli
Kalam (teolog),
yaitu dengan mengimaninya bahwa hal itu adalah suatu yang hak
dengan makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dan bahwa makna zahirnya yang
berlaku dalam makna makhluk adalah makna yang bukan dimaksud. Madzhab pertama
ini tidak mengambil makna tertentu dalam memahaminya, artinya mereka tidak
mentakwilnya. Namun mereka semua berkeyakinan bahma Allah Maha Suci dari
sifat-sifat makhluk, Maha Suci dari pindah dari suatu tempat ke tempat lain,
Maha Suci dari bergerak, dan Maha Suci dari seluruh sifat-sifat makhluk.
Kedua: Madzhab mayoritas ahli Kalam (kaum teolog) dan beberapa
golongan dari para ulama Salaf,
di antaranya sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan
al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan
menentukan makna yang sesaui dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan
metode takwil ini para ulama madzhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap
Hadîts an-Nuzûl di atas.
Pertama; Takwil
yang nyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah
turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa
rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan:
“Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud
adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja
itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut.
Kedua; takwil
hadits dalam makna isti’ârah (metafor), yaitu dalam pengertian bahwa Allah
mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat
itu. (Karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab
untuk meminta kepada Allah)” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, juz 6, hal. 36).
Dengan demikian pendapat kaum Musyabbihah jelas batil ketika
mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah turunnya Allah dengan Dzat-Nya. Di
antara dalil lainnya yang dapat membatalkan pendapat mereka ini adalah bahwa
sebagian para perawi hadits al-Bukhari dalam Hadîts an-Nuzûl ini telah
memberikan harakat dlammah pada huruf yâ’, dan harakat kasrah pada huruf zây;
menjadi “Yunzilu”, artinya; menjadi fi’il muta’addi; yaitu kata kerja yang
membutuhkan kepada objek (Maf’ûl Bih). Dengan demikian menjadi bertambah jelas
bahwa yang turun tersebut adalah para Malaikat dengan perintah Allah. Makna ini
juga seperti yang telah jelas disebutkan dalam riwayat Hadîts an-Nuzûl lainnya
dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy bahwa Allah telah memerintah
Malaikat untuk menyeru di langit pertama pada sepertiga akhir malam tersebut.
Dengan demikian kaum Masyabbihah sama sekali tidak dapat menjadikan hadits ini
sebagai dalil bagi mereka.
Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi, dalam
menafsirkan firman Allah: ”Wa al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran:
17), artinya; ”Dan orang-orang yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir
malam)”, beliau menyebutkan Hadîts an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama
tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:
“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini
adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah
dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ يُمْهِلُ حَتّى
يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوّلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا فَيَقُوْل: هَلْ مِنْ
دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَه، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ يُغْفَرُ لهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ
يُعْطَى
”Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama
dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru:
Adakah orang yang berdoa?! Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta
ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan diberi.
Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri
menuliskan sebagai berikut:
“Kaum yang menetapkan adanya arah bagi Allah dengan menjadikan
Hadîts an-Nuzûl ini sebagai dalil bagi mereka; yaitu menetapkan arah atas,
pendapat mereka ini ditentang oleh para ulama, karena berpendapat semacam itu
sama saja dengan mengatakan Allah bertempat, padahal Allah Maha suci dari pada
itu. Dalam makna Hadîts an-Nuzûl ini terdapat beberapa pendapat ulama” (Fath
al-Bâri, j. 3, h. 30).
Kemudian al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan:
“Abu Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah
memberikan harakat dlammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi
kata yunzilu) dan objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan
pendapat ini adalah hadits riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah
dan Abu Sa’id al-Khudzriy, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ
شَطْرُ اللّيْلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا يَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ
لَه
”Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi
lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat
penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”.
Demikian pula pemahaman ini dikuatkan oleh hadits yang
diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi sabda Rasulullah:
يُنَادِ مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ
يُسْتَجَابُ لَهُ
”…maka Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa! Maka
akan dikabulkan baginya”.
Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab Idlâh al-Dalîl Fî Qath’i Hujaj
Ahl al-Ta’thîl menuliskan sebagai berikut:
“Ketahuilah, bahwa tidak boleh memaknai an-nuzûl dalam hadits ini
dalam pengertian pindah dari satu tempat ke tempat lain, karena beberapa alasan
berikut;
Pertama: Turun dari satu tempat ke tempat lain adalah salah satu sifat
dari sifat-sifat benda-benda dan segala sesuatu yang baharu. Turun dalam
pengertian ini membutuhkan kepada tiga perkara; Benda yang pindah itu sendiri,
Tempat asal pindahnya benda itu, dan Tempat tujuan bagi benda itu. Makna
semacam ini jelas mustahil bagi Allah.
Ke Dua: Jika Hadîts an-Nuzûl dimaknai bahwa Allah turun dengan Dzat-Nya
secara hakekat, maka berarti pekerjaan turun tersebut terus-menerus terjadi
pada Allah setiap saat dengan pergerakan dan perpindahan yang banyak sekali,
supaya bertepatan dengan sepertiga akhir malam. Hal ini karena kejadian
sepertiga akhir malam terus terjadi dan bergantian di setiap belahan bumi.
Dengan demikian hal itu menuntut turunnya Allah setiap siang dan malam dari
suatu kaum kepada kaum yang lain. Hal itu juga berarti bahwa Allah pada saat
yang sama turun naik antara langit dunia dan arsy. Tentunya pendapat semacam
ini tidak akan diungkapkan oleh seorang yang berakal sehat.
Ke Tiga: Pendapat yang menyebutkan bahwa Allah bertempat di atas arsy dan
memenuhinya, bagaimana mungkin cukup bagi-Nya untuk bertempat di langit dunia,
padahal luasnya langit dibanding arsy tidak ubahnya seperti sebesar kerikil
dibanding lapangan yang luas. Dalam hal ini pendapat sesat tersebut tidak lepas
dari dua kemungkinan; Pertama: Bahwa langit dunia setiap saat berubah menjadi
besar dan luas hingga mencukupi Allah. Kedua: Atau bahwa Dzat Allah setiap saat
menjadi kecil agar tertampung oleh langit dunia tersebut. Tentunya, kita
menafikan dua keadaan yang mustahil tersebut dari Allah.
Dengan demikian setiap ayat dan hadits mutasyâbihât yang
zahirnya seakan menunjukkan adanya keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya
harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan keagungan Allah. Atau jika tidak
memberlakukan takwil maka harus diyakini kesucian Allah dari segala sifat-sifat
makhluk-Nya” (Idlâh al-Dalîl, h. 164).
KESIMPULAN:
Allah bukan benda, dan Dia tidak disifati dengan sifat-sifat
benda. Segala apa yang terlintas dalam benak manusia tentang Allah maka Dia
tidak seperti demikian itu. Allah tidak terikat oleh dimensi; ruang dan waktu,
Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Allah yang menciptakan arsy dan langit
maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar