Firman Allah yang dimaksud adalah:
Para ulama kita menyatakan bahwa ayat di atas tidak boleh
dimaknai secara harfiyah. Sebab mengambil faham harfiyah; dengan memaknai makna
zhairnya akan menghasilkan bumerang. Artinya, klaim “kafir” secara mutlak
terhadap orang yang tidak memakai hukum Allah akan kembali kepada dirinya
sendiri. Artinya sadar atau tidak sadar ia akan mengkafirkan dirinya sendiri,
karena seorang muslim siapapun dia, [kecuali para Nabi dalam masalah ajaran
agama], akan jatuh dalam dosa dan maksiat. Artinya, ketika orang muslim tersebut
melakukan dosa dan maksiat berarti ia sedang tidak melaksanakan hukum Allah.
Lalu, apakah hanya karena dosa dan maksiat, bahkan bila dosa
tersebut dalam kategori dosa kecil sekalipun, ia dihukumi sebagai orang kafir?!
Bila demikian berarti semenjak dimulainya sejarah kehidupan manusia tidak ada
seorangpun yang beragama Islam, sebab siapapun manusianya pasti berbuat dosa
dan maksiat. karenanya, firman Allah di atas tidak boleh dipahami secara
harfiyah “Barangsiapa tidak memakai hukum Allah maka ia adalah orang kafir”,
pemahaman harfiyah semacam ini salah dan menyesatkan.
Al-Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya dalam penjelasan
ayat ini menyatakan bahwa ayat ini mengandung takwil sebagaimana dinyatakan
oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan sahabat al-Bara’ ibn Azib. Al-Qurthubi
menuliskan sebagai berikut:
“Seluruh ayat ini turun di kalangan orang-orang kafir
(Yahudi). Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Shahih Muslim dari hadits
sahabat al-Bara’ ibn Azib. Adapun seorang muslim, walaupun ia melakukan dosa
besar [selama ia tidak menghalalkannya], maka ia tetap dihukumi sebagai orang
Islam, tidak menjadi kafir. Kemudian menurut satu pendapat lainnya; bahwa dalam
ayat di atas terdapat makna tersembunyi (izhmar), yang dimaksud ialah: ”Barang
siapa tidak memakai hukum Allah, karena menolak al-Qur’an dan mengingkarinya,
maka ia digolongkan sebagai orang-orang kafir”. Sebagaimana hal ini telah
dinyatakan dari Rasullah oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan Mujahid. Inilah
yang dimaksud dengan ayat tersebut” [al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h.
190].
Selain penafsiran sahabat Abdullah ibn Abbas dan al-Bara’
ibn Azib di atas, terdapat banyak penafsiran serupa dari para sahabat lainnya.
Di antaranya penafsiran Abdullah ibn Mas’ud dan al-Hasan yang menyebutkan bahwa
ayat tersebut berlaku umum bagi orang-orang Islam, orang-orang Yahudi maupun
orang-orang kafir, dalam pengertian bahwa siapapun yang tidak memakai hukum
Allah dengan menyakini bahwa perbuatan tersebut adalah sesuatu yang halal maka
ia telah menjadi kafir. Adapun seorang muslim yang berbuat dosa atau tidak
memakai hukum Allah dengan tetap menyakini bahwa hal tersebut suatu dosa yang
haram dikerjakan maka ia digolongkan sebagai muslim fasik. Dan seorang muslim
fasik semacam ini berada di bawah kehendak Allah; antara diampuni atau tidak.
Pendapat lainnya dari al-Imam al-Sya’bi menyebutkan bahwa
ayat ini khusus tentang orang-orang Yahudi. Pendapat ini juga dipilih oleh
al-Nahhas. Alasan pendapat ini ialah;
1. Bahwa pada permulaan ayat ini yang dibicarakan adalah
orang-orang Yahudi, yaitu pada firman Allah; “Lilladzin Hadu…”. Dengan demikian
maka dlamir [kata ganti] yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang
Yahudi, bukan orang-orang Islam.
2. Bahwa pada ayat sesudah ayat ini, yaitu pada ayat 45,
adalah firman Allah; “Wa Katabna ‘Alaihim…”. Ayat 45 ini telah disepakati oleh
para ahli tafsir, bahwa dlamir yang ada di dalamnya yang dimaksud adalah
orang-orang Yahudi. Dengan demikian jelas antara ayat 44 dan 45 memiliki
korelasi kuat bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi [sebagaimana hal
ini dapat dipahami dengan ’Ilm Munasabat al-Ayat].
Kemudian diriwayatkan bahwa sahabat Hudzifah ibn al-Yaman
suatu ketika ditanya tentang ayat 44 ini; “Apakah yang dimaksud oleh ayat ini
adalah Bani Isra’il?” sahabat Hudzaifah menjawab menjawab; “Benar, ayat itu
tentang Bani Isra’il”. Sementara menurut al-Imam Thawus [murid Abdullah ibn
Abbas] bahwa yang dimaksud “kufur” dalam ayat 44 ini bukan pengertian kufur
yang mengeluarkan seseorang dari Islam, tetapi yang dimaksud “kufur” disini
adalah dosa besar. Tentu berbeda, masih menurut Imam Thawus, dengan apa bila
seseorang membuat hukum dari dirinya sendiri kemudian ia meyakini bahwa
hukumnya tersebut adalah hukum Allah [atau lebih baik dari hukum Allah], maka
orang semacam ini telah jatuh dalam kufur; yang telah benar-benar
mengeluarkannya dari Islam. Al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, [dan Jumhur Ulama]
berkata bahwa pendapat yang menyatakan orang yang tidak memakai hukum Allah
maka ia telah menjadi kafir adalah pendapat kaum Khawarij. [Kelompok Khawarij
terbagi kepada beberapa sub sekte. Salah satunya sekte bernama al-Baihasiyyah.
Kelompok ini mengatakan bahwa siapa saja yang tidak memakai hukum Allah,
walaupun dalam masalah kecil, maka ia telah menjadi kafir; keluar dari Islam].
Dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, al-Imam
al-Hakim meriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Abbas dalam mengomentari tiga
ayat dari surat al-Ma’idah (ayat 44, 45 dan 46) di atas, bahwa Abdullah ibn
Abbas berkata: “Yang dimaksud kufur dalam ayat tersebut bukan seperti yang
dipahami oleh mereka [kaum Khawarij], bukan kufur dalam pengertian keluar dari
Islam.
Tetapi firman Allah: “Fa Ula-ika Hum al-Kafirun” adalah
dalam pengertian bahwa hal tersebut [tidak memakai hukum Allah] adalah
merupakan dosa besar”. Artinya, bahwa dosa besar tersebut seperti dosa kufur
dalam keburukan dan kekejiannya, namun demikian bukan berarti benar-benar dalam
makna kufur keluar dari Islam. Pemahaman semacam ini seperti sebuah hadits dari
Rasulullah, bahwa ia bersabda:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر رواه أحمد
(Mencaci-maki muslim adalah perbuatan fasik dan
membunuhnya/memeranginya adalah perbuatan “kufur”). HR. Ahmad.
“Kufur” yang dimaksud dalam hadits ini bukan pengertian
keluar dari Islam. Bukan artinya; bila dua orang muslim saling bunuh, maka yang
membunuhnya menjadi kafir. Bukankah ”hukum bunuh” itu sendiri salah satu yang
disyari’atkan oleh Allah, misalkan terhadap para pelaku zina muhsan [yang telah
memliki pasangan], hukum qishas; bunuh dengan bunuh, memerangi kaum bughat
[orang-orang Islam yang memberontak], dan lain-lain. Apakah kemudian mereka
yang memberlakukan hukum bunuh tersebut telah menjadi kafir??!! Tentu tidak,
karena nyatanya jelas mereka sedang memberlakukan hukum Allah.
Oleh karenanya peperangan sesama orang Islam sudah terjadi
dari semenjak masa sahabat dahulu [lihat misalkan antara kelompok sahabat Ali
ibn Abi Thalib, sebagai khalifah yang sah saat itu, dengan kelompok Mu’awiyah],
dan kejadian semacam ini terus berlanjut hingga sekarang. Apakah kemudian
orang-orang mukmin yang berperang atau saling bunuh sesama mereka tersebut
menjadi kafir; keluar dari Islam??! Siapa yang berani mengkafirkan sahabat Ali
ibn Abi Thalib, Ammar ibn Yasir, az-Zubair ibn al-Awwam, Thalhah ibn Ubadillah,
Siti Aisyah [yang notabene Istri Rasulullah], dan para sahabat lainnya yang
terlibat dalam perang tersebut??!! Orang yang berani mengkafirkan mereka maka
dia sendiri yang kafir. Kemudian dari pada itu, dalam al-Qur’an Allah
berfirman:
Dalam ayat ini dengan sangat jelas disebutkan: “Apa bila ada dua kelompok mukmin saling membunuh….”. Artinya sangat jelas bahwa Allah tetap menyebut dua kelompok mukmin yang saling membunuh tersebut sebagai orang-orang mukmin; bukan orang kafir.
Yang ironis adalah ayat 44 QS. Al-Ma’idah ini oleh beberapa
komunitas yang mengaku gerakan keislaman seringkali dipakai untuk mengklaim
kafir terhadap orang-orang yang tidak memakai hukum Allah, termasuk klaim kafir
terhadap orang yang hidup dalam suatu negara yang tidak memakai hukum Islam.
Bahkan mereka juga mengklaim bahwa negara tersebut sebagai Dar Harb atau Dar al
Kufr. Klaim ini termasuk di antaranya mereka sematkan kepada negara Indonesia.
pertanyaannya; negara manakah yang secara murni memberlakukan hukum Islam??
Sayyid Quthub dalam karyanya “Fi Zhilal al-Qur’an”
menyatakan bahwa masa sekarang tidak ada lagi orang Islam yang hidup di dunia
ini, karena tidak ada satupun negara yang memakai hukum Allah. Menurutnya suatu
negara yang tidak memakai hukum Allah waluapun dalam masalah sepele maka
pemerintahan negara tersebut dan rakyat yang ada di dalamnya adalah orang-orang
kafir. Kondisi semacam ini menurutnya tak ubah seperti kehidupan masa jahiliyah
dahulu sebelum kedatangan Islam. Pernyataan Sayyid Quthub ini banyak terulang
dalam karyanya; Fi Zhilal al-Qur’an. Lihat misalkan j. 2, h. 590, dan h. 898/
j. 2, Juz 6, h. 898/ j. 2, h. 1057/ j. 2, h. 1077/ j. 2, h. 841/ j. 2, h. 972/
j. 2, h. 1018/ j. 4, h. 1945 dan dalam beberapa tempat lainnya. Juga ia sebutkan
dalam karyanya yang lain, seperti Ma’alim Fi al-Thariq, h. 5-6/ h. 17-18
Terakhir, saya kutip tulisan A. Maftuh Abegebriel yang
menyimpulkan bahwa kekeliruan dalam memahami QS. al-Ma’idah: 44 tersebut adalah
salah satu akar teologis dan politis dari berkembangnya gerakan radikal di
beberapa negara timur tengah, seperti gerakan Ikhwan al-Muslimin pasca
kepempinan dan wafatnya Syaikh Hasan al-Banna (Rahimahullah). Padahal di negara
Mesir, yang merupakan basis awal gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, belakangan
menolak keras kelompok yang dianggap ekstrim ini bahkan memejarakan orang-orang
yang terlibat di dalamnya. Faham Sayyid Quthub di atas seringkali dijadikan
“ajaran dasar” oleh banyak gerakan, seperti Syabab Muhammad, Jama’ah al-Takfir
Wa al-Hijrah, Jama’ah al-Jihad, al-Jama’ah al-Islamiyyah dan banyak lainnya.
\Muara semua gerakan tersebut adalah menggulingkan kekuasan
setempat dan mengklaim mereka sebagai orang-orang kafir dengan alasan tidak
memakai hukum Islam. [Lebih luas tentang ini baca di antaranya; A. Maftuh
Abegebriel, Fundamentalisme Islam; Akar teologis dan politis (Negara Tuhan; The
Thematic Incyclopaedia), h. 459-555]. karenanya oleh beberapa kalangan, Sayyid
Quthub dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali faham sekte
al-Baihasiyyah di atas.
Sekali lagi, anda jangan memahami ayat di atas secara
harfiyah. karena bila anda memahami secara harfiyah maka berarti sama saja anda
menanamkan “akar terorisme” pada diri anda…!!! Hati-hati…!!!
Sumber
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar