}
MEMANG SEBUAH PERPISAHAN KADANG MELAHIRKAN DUKA DAN KEPILUAN, AKIBAT PROSES KEBERSAMAAN DALAM KEAKRABAN, NAMUN SEMUA INI HARUS KITA TERIMA SEBAGAI AKTIFITAS KEHIDUPAN DALAM KENISCAYAAN, YANG TERPENTING BAGI KITA SEMUA, BAGAIMANA KITA MENEMUI MASA YANG AKAN DATANG DENGAN HAL YANG LEBIH BERMAKNA DAN BERGUNA, KARENA SESUNGGUHNYA KITA BERJALAN DALAM TIGA DIMENSI KEHIDUPAN, MASA LALU SEBAGAI PENGALAMAN DAN KENANGAN, BILAMANA MASA LALU ITU BURAM DAN SURAM, MAKA HENDAKLAH KITA RENOVASI DENGAN KEBAIKAN DAN PERBAIKAN DIRI, MASA SEKARANG SEBAGAI REALITAS DAN KENYATAAN, BILAMANA AKTIVITAS KITA SEKARANG MEMBERI MASLAHAT KEPADA SEKITARNYA, HARUSLAH KITA PERTAHANKLAN DAN TINGKATKAN KUALITAS SERTA KUANTITASNYA. DAN MASA AKAN DATANG SEBAGAI HARAPAN SEKALIGUS TANTANGAN, JANGAN ADA GORESAN DUKA DAN PUTUS ASA DALAM KITA MENGHADAPI DAN MENATAPNYA

Senin, 25 Oktober 2010

Riwayat Syekh Nawawi bin Umar Al Bantany (Shohibuttafsir Al Munir)



Syekh Nawawi al-Bantani, tentu bukan sekedar sebuah nama. Ulama besar, enlighter yang dilahirkan di desa Tanara, Banten pada tahun 1230 H, itu memang sosok cerdas manusia Banten yang sejak memang kecil memiliki bakat intelektual. Pada masa kanak-kanaknya, beliau bersama dua saudara kandungnya, Tamim dan Ahmad, telah memperoleh pengetahuan dasar dalam Bahasa Arab, yakni Fiqh dan Tafsir, langsung dari ayahnya, Umar Ibnu Arabi.

Proses pendidikan lebih intensif diperolehnya dari Kyai Sahal (juga di Banten), kemudian Kyai Yusuf di Purwakarta, yang terkenal banyak menarik santri-santri dari Jawa. Terutama Jawa Barat dan Banten. Ketika usianya 15 tahun, Syekh Nawawi menunaikan ibadah haji, kemudian menetap selama tiga tahun di sana. Selama menetap di sana, beliau terpikat oleh dinamika kehidupan intelektual. Hal itu mengusik beliau untuk kembali lagi ke Mekkah, kemudian menetap di sana, sampai wafat.

Kecerdasan, kearifan dan bakat beliau dalam berkarya dan mengembangkan potensi dirinya sebagai ulama, membuat Syaikh Nawawi mampu mendorong produktivitasnya. Antara tahun 1830 sampai 1860, dibawah bimbingan Syaikh Khatib Sambas, Abdulgani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Nahrawi dan Abdulhamid Daghestani, Syaikh Nawawi muda berhasil menunjukkan potensinya karena antara tahun 1860-1870 selain mengisi waktu senggangnya untuk mengajar di Masjid al-Haram, beliau mulai menunjukkan produktivitas nya dalam menulis buku, meski baru pada fase kemudian (setelah tahun 1870) beliau sungguh intens menulis. Mulai dari karya-karyanya yang pendek yang berisi tentang pedoman-pedoman ibadah sampai tafsir Al-Qur’an, yang kemudian diterbitkan di Mesir pada tahun 1887.

Setidaknya 38 karya Syaikh Nawawi tercatat sebagai karya-karya penting yang menjadi refrensi studi Islam internasional (Y.A Sarkis, 1928). Agak berbeda dengan ulama-ulama yang lain, Syaikh Nawawi lebih banyak membuat memiliki spesifikasi menyempurnakan dan memperdalam, serta memperluas pemahaman atas karya-karya yang sudah ada sebelumnya, selain karya-karya orisinil beliau. Tinjauan yang kritis terhadap berbagai karya ulama pendahulunya, sangat terkenal. Paling tidak, sepuluh tinjauan kritis beliau kini menjadi rujukan. Antara lain:

Syarah al-Jurumiyah, berkaitan bengan tatabahasa Arab (1881) Lubab al-Bayan (1884), Dhariyat al-Yaqin yang berkaitan dengan doktrin-doktrin Islam, yang sebelumnya sudah dikupas oleh Syaikh Sanusi (1886), Fathul Mujib, yang merupakan tinjauan kritis dari Adurr al Farid yang merupakan buah pikiran dari Syaikh Nahrawi, gurunya; Syarah Isra’ Mi’raj karya al-Barzanji, Syarah tentang syair Al-Asmaul Husnah, Syarah Manasik Haji buah pikiran Syarbini, Syarah tentang Suluk al-Jiddah (1883) & Syarah Sullam al-Munajah (1884) karya Syaikh Hadrami, Tafsir Murah Labib (Al Munir) dan Syarah tentang syair maulid karya al-Barzanji yang sangat populer karena kerap dibaca setiap peringatan maulid nabi Muhammad SAW.


Tafsir Murah Labib, misalnya, terbilang karya beliau yang sangat mashur, karena dinilai sebagai karya yang berkualitas dan memuat hasil-hasil muzakarah (diskusi) terhadap berbagai persoalan penting, yang dilakukannya dengan ulama-ulama Al-Azhar. Itulah sebabnya beliau dijuluki Sayyid ulama al-Hijaz, atau pemimpin ulama Hijaz. Julukan itu disandang beliau, terutama karena kearifannya. Meski bilau sangat kuat dan tegas menegakkan tauhid dan akidah Islamiyah, beliau tidak menolak praktek-praktek tarekat, selama tarekat itu tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Melihat keseluruhan proses interaksi keilmuan dan dinamika intelektual yang melatari kajian-kajian Islam di pesantren, boleh jadi Syaikh Nawawi merupakan sumbu penting yang menjadi mediasi intelectual flow, kepada Kyai Mahfudz (1918) dan Kyai Khalil- Bangkalan (1923), yang kemudian mengalir dan berporos pada Hashim Ashari (1871 -1947) yang terkenal dengan Hadratus Syaikh pendiri Nahdlatul Ulama.

Dari Syaikh Nawawi, yang mengalir sepenuhnya hal-hal yang menyangkut aqidah islamiyah, yang tidak bersentuhan dengan masalah-masalah tarekat. Para pemimpin tarekat Qadariyah & Naqsabandiyah, dilihat dari genealogi intelektual, mengalir melalui Syaikh Abdul Karim yang juga berguru kepada Khatib Sambas. Syaikh Abdul karim merupakan resouces penting aliran tarekat atas Kyai Khalil Peterongan Jombang dan Kyai Mubarraq, yang juga memperoleh pendalaman aqidah islamiyah (ilmu tauhid) dari Syaikh Nawawi, melalui Kyai Khalil bangkalan Madura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar