}
MEMANG SEBUAH PERPISAHAN KADANG MELAHIRKAN DUKA DAN KEPILUAN, AKIBAT PROSES KEBERSAMAAN DALAM KEAKRABAN, NAMUN SEMUA INI HARUS KITA TERIMA SEBAGAI AKTIFITAS KEHIDUPAN DALAM KENISCAYAAN, YANG TERPENTING BAGI KITA SEMUA, BAGAIMANA KITA MENEMUI MASA YANG AKAN DATANG DENGAN HAL YANG LEBIH BERMAKNA DAN BERGUNA, KARENA SESUNGGUHNYA KITA BERJALAN DALAM TIGA DIMENSI KEHIDUPAN, MASA LALU SEBAGAI PENGALAMAN DAN KENANGAN, BILAMANA MASA LALU ITU BURAM DAN SURAM, MAKA HENDAKLAH KITA RENOVASI DENGAN KEBAIKAN DAN PERBAIKAN DIRI, MASA SEKARANG SEBAGAI REALITAS DAN KENYATAAN, BILAMANA AKTIVITAS KITA SEKARANG MEMBERI MASLAHAT KEPADA SEKITARNYA, HARUSLAH KITA PERTAHANKLAN DAN TINGKATKAN KUALITAS SERTA KUANTITASNYA. DAN MASA AKAN DATANG SEBAGAI HARAPAN SEKALIGUS TANTANGAN, JANGAN ADA GORESAN DUKA DAN PUTUS ASA DALAM KITA MENGHADAPI DAN MENATAPNYA

Kamis, 28 Oktober 2010

Wahyu dan Kenabian

Wahyu dan Kenabian menurut Al-Quran

Yang dapat dipahami dari ayat-ayat Al-Quran adalah bahwa ayat-ayat itu memandang Al-Quran sebagai kitab samawi yang diberikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. melalui wahyu. Sedang­ kan wahyu adalah perkataan samawi (nonmateri) dan tidak dapat dijangkau oleh indera-indera lahir dan akal, melainkan melalui pemahaman yang dikaruniakan oleh Allah kepada orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia dapat menerima perintah-perintah-Nya dari alam gaib yang tidak dapat diinderai oleh akal dan indera-indera yang lain. Penerimaan dan pelaksanaan perintah-perintah ini dan titah-titah Allah disebut "kenabian." Untuk memperjelas masalah ini, keterangan-keterangan awal ber­ikut ini adalah perlu:

1.  Petunjuk Universal untuk Manusia sebagai Tujuan Penciptaan
Dalam pembahasan terdahulu telah kami paparkan bahwa setiap yang ada di alam ini, yakni benda-benda hidup ataupun mati, mempunyai suatu tujuan yang hendak diwujudkannya sejak awal kejadiannya; ia telah diberi sarana-sarana tertentu untuk mewujudkannya; dan dengan sarana-sarana itu ia mencapai tuju­annya. Allah berfirman:

"Tuhan kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap­tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk." (QS 20:50)

"Yang telah menciptakan, kemudian menyempurnakan penciptaan-Nya. Dan yang menentukan kadar masing-masing serta memberi petunjuk. " (QS 87:2-3)

Kami juga telah memaparkan bahwa hukum-umum petunjuk ini mencakup semua manusia dan makhluk yang lain. Dalam hidupnya, manusia mempunyai tujuan tertentu yang diupayakan untuk dicapainya. Karena itu dia telah diberi sarana untuk men­capai tujuan itu. Keberhasilannya mencapai tujuan itu merupakan kesempurnaan dan kebahagiaannya, dan kegagalannya mencapai tujuan itu merupakan kesengsaraannya. Fitrah membimbingnya ke arah tujuan puncaknya. Allah berfirman:

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu, Kami jadikan ia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukkannya ke jalan yang lurus. Di antara mereka ada yang bersyukur dan ada yang kafir. " (QS 76:2-3)

2. Kelebihan Manusia dalam Menempuh Jalan Kehtidupannya
Kelebihan makhluk-makhluk hidup atas makhluk-makhluk mati ialah bahwa kegiatan makhluk hidup didasarkan pada penge­tahuan. Adapun manusia, ia memiliki kelebihan atas mereka, karena ia memiliki akal (kebijakan dan kecerdasan). Perbuatan­perbuatan yang dilakukan manusia didasarkan pada pertimbangan baik dan buruk, manfaat dan mudharat baginya. Dia berbuat setelah meyakini bahwa perbuatannya bermanfaat baginya. Dia mengikuti apa yang diketahuinya dan yang dinilainya mengandung kebaikan bagi dirinya, sehingga bila menurut akalrtya bermanfaat dan tidak membahayakan, maka diputuskannya untuk melakukan­nya, dan bila dipandangnya membahayakan dan tidak bermanfaat baginya, maka diputuskannya untuk tidak melakukannya.3)

3. Bagaimana Manusia Menjadi Makhluk Sosial?
Tidak diragukan lagi bahwa manusia selalu hidup berkelompok atau bermasyarakat. Bersama yang lain, dia bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Apakah kerja sama ini ber­sumber pada fitrahnya? Yang kita ketahui adalah bahwa manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan tertentu sehingga hal-hal ini mendorongnya untuk memenuhi kebutuhan­kebutuhannya itu dengan sarana-sarana yang dimilikinya. Di sinilah dia tidak menyadari kebutuhan-kebutuhan dan kehendak­kehendak orang lain.
Manusia menggunakan segala sesuatu yang dapat dijangkaunya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, seperti memanfaat­kan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan, termasuk daun, buah, akar dan kayunya, dan binatang-binatang serta hasil-hasil dari binatang itu. Apakah manusia seperti ini, yang menggunakan segala yang dapat dijangkaunya demi kepentingannya sendiri, dapat berperilaku lain, yaitu menghormati yang lainnya dan be­kerja sama dengan mereka serta memberikan sebagian keuntung­annya bagi mereka? Tidak! Manusia merasakan banyak kebutuhan hidup yang tidak dapat dipenuhinya sendiri. Dia berpikir bahwa dia membutuhkan sesamanya untuk membantunya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Tetapi dia sadar bahwa orang-orang lain juga memiliki ke­hendak seperti dia, dan mereka pun berusaha mewujudkan kehendak-kehendak itu sebagaimana dia juga berusaha mewujudkan kehendaknya. Di sinilah, ketika mengetahui kenyataan ini, manu­sia mengadakan kerja sama dengan sesamanya, sehingga rela mem­berikan sebagian keuntungannya untuk memenuhi kebutuhan dari sesamanya. Sebagai hasilnya, dia memperoleh bagian dari keuntungan-keuntungan mereka. Pada hakikatnya, dia masuk ke dalam suatu pasar yang terbuka setiap waktu dan di dalamnya kebutuhan-kebutuhan hidup dijual. Akibatnya, segala produk masyarakat bertumpuk. Tiap-tiap anggota masyarakat memperoleh bagiannya menurut neraca sosialnya. Artinya, menurut kadar nilai perbuatan yang dilakukannya terhadap masyarakat, dan dengan cara ini dia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

Hal di atas menunjukkan bahwa berdasarkan wataknya, dalam upaya mewujudkan kepentingan-kepentingan pribadinya, manu­sia memerlukan bantuan manusia lainnya. Hal ini memaksanya bekerja sama dengan manusia-manusia lain. Ini jelas sekali terpaparkan bila kita menelaah anak-anak. Seorang anak, bila ingin mendapatkan apa yang diinginkannya, akan menangis untuk maksud ini. Tapi begitu si anak bertambah usianya, semakin dekat dan mengenal masyarakat, maka secara bertahap dia akan meng­hentikan permintaannya seperti itu sampai dia benar-benar men­jadi anggota masyarakat, dan pada saat inilah dia akan melupakan tuntutan-tuntutannya yang berlebih-lebihan itu.

Bukti lain tentang hal ini ialah jika seseorang memperoleh kekuasaan yang melebihi kekuasaan masyarakatnya, maka dia akan mengabaikan kerja sama sosial. Dia akan berusaha dengan segala kemampuannya untuk memperbudak sesamanya tanpa memberi mereka imbalan apa pun. Allah mengisyaratkan tentang kerja sama tersebut dengan firman-Nya:

"Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,- agar sebagian mereka dapat menggunakan sebagian yang lain." (QS 43:32)

Ayat ini mengisyaratkan tentang kenyataan kerja sama, yang di dalamnya sebagian individu memiliki kelebihan atas sebagian lain dalam segi tertentu kehidupan, sehingga setiap individu mempunyai tingkat kehidupan yang berbeda. Masing-masing mendominasi yang lainnya dan memanfaatkan mereka untuk kepentingan­kepentingannya. Dengan demikian, semua anggota masyarakat sedemikian berjalin berkelindan dalam masalah-masalah sosial, sehingga mereka membentuk satu masyarakat. Allah berfirman:

"Sesungguhnya manusia itu sangat zalim. " (QS 14:34)

"Sesungguhnya manusia itu sangat zalim lagi bodoh. " (QS 33: 72)

Dua ayat ini mengisyaratkan naluri alamiah yang terdapat dalam diri manusia, yang dengannya dia melanggar hak-hak sesamanya dan kepentingan-kepentingan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar